Saya selalu merasa kagum ketika melihat betapa cepatnya generasi muda saat ini bergerak dari keluhan menjadi aksi nyata. Di dunia yang serba digital ini, keluhan-keluhan yang dilontarkan di media sosial sering kali menjadi pemicu perubahan. Ambil contoh kasus krisis iklim.Â
Berapa banyak kita mendengar tuntutan akan kebijakan yang lebih ramah lingkungan? Melalui media sosial, aktivisme generasi muda seperti Greta Thunberg menjadi semakin kuat, diikuti dengan gerakan global seperti Fridays for Future yang kini mendapat perhatian luas.
Di Indonesia, kita tidak ketinggalan. Saya ingat betul ketika aksi #ReformasiDikorupsi meledak di media sosial pada tahun 2019. Ketika beberapa revisi undang-undang dianggap merugikan rakyat, generasi muda Indonesia bereaksi cepat. Mereka tidak hanya mengeluhkan situasi, tetapi juga turun ke jalan, mengorganisir demonstrasi besar-besaran, menyuarakan perubahan.Â
Gerakan ini dimulai dari media sosial, di mana diskusi, kritik, dan ajakan untuk aksi bersama tersebar. Ini menunjukkan bahwa generasi muda bukan sekadar mengeluh, tetapi mereka juga berani bertindak.
Perbandingan dengan Generasi Sebelumnya
Jika dibandingkan dengan generasi saya atau bahkan generasi sebelumnya, kemampuan untuk mengorganisir diri dan memobilisasi dukungan melalui media sosial jelas merupakan perbedaan besar.Â
Dulu, untuk menyuarakan keluhan atau memulai gerakan sosial, kita memerlukan media tradisional, seperti televisi, koran, atau radio, yang terbatas dalam jangkauan dan aksesibilitas. Kini, dengan sekali klik, ribuan orang dapat terlibat dalam diskusi dan berpartisipasi dalam gerakan sosial.
Meski demikian, saya sadar bahwa perubahan ini juga menimbulkan gesekan antara generasi. Beberapa rekan saya yang lebih tua sering merasa bahwa generasi muda terlalu lantang dalam menyuarakan pendapat mereka, seakan-akan tidak menghargai norma-norma tradisional.Â
Di sinilah istilah "mental tempe" muncul. Namun, saya melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Generasi muda yang aktif di media sosial bukan berarti tidak hormat atau lemah. Justru, mereka berani mengambil langkah yang generasi sebelumnya mungkin tidak punya kesempatan untuk melakukannya.
Stigma dan Stereotipe
Dalam percakapan sehari-hari, saya sering mendengar bagaimana generasi muda dianggap sebagai "generasi rebahan" atau "generasi instan"—cenderung malas dan hanya mencari kesenangan tanpa usaha. Stereotipe ini membuat saya berpikir, apakah kita sebagai generasi yang lebih tua lupa bahwa kondisi hidup mereka saat ini berbeda dengan zaman kita dulu?