Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Benarkah Generasi Muda saat ini Bermental Tempe, Bising di Media tanpa Aksi?

9 Oktober 2024   08:32 Diperbarui: 9 Oktober 2024   08:32 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya selalu merasa kagum ketika melihat betapa cepatnya generasi muda saat ini bergerak dari keluhan menjadi aksi nyata. Di dunia yang serba digital ini, keluhan-keluhan yang dilontarkan di media sosial sering kali menjadi pemicu perubahan. Ambil contoh kasus krisis iklim. 

Berapa banyak kita mendengar tuntutan akan kebijakan yang lebih ramah lingkungan? Melalui media sosial, aktivisme generasi muda seperti Greta Thunberg menjadi semakin kuat, diikuti dengan gerakan global seperti Fridays for Future yang kini mendapat perhatian luas.

Di Indonesia, kita tidak ketinggalan. Saya ingat betul ketika aksi #ReformasiDikorupsi meledak di media sosial pada tahun 2019. Ketika beberapa revisi undang-undang dianggap merugikan rakyat, generasi muda Indonesia bereaksi cepat. Mereka tidak hanya mengeluhkan situasi, tetapi juga turun ke jalan, mengorganisir demonstrasi besar-besaran, menyuarakan perubahan. 

Gerakan ini dimulai dari media sosial, di mana diskusi, kritik, dan ajakan untuk aksi bersama tersebar. Ini menunjukkan bahwa generasi muda bukan sekadar mengeluh, tetapi mereka juga berani bertindak.

Perbandingan dengan Generasi Sebelumnya

Jika dibandingkan dengan generasi saya atau bahkan generasi sebelumnya, kemampuan untuk mengorganisir diri dan memobilisasi dukungan melalui media sosial jelas merupakan perbedaan besar. 

Dulu, untuk menyuarakan keluhan atau memulai gerakan sosial, kita memerlukan media tradisional, seperti televisi, koran, atau radio, yang terbatas dalam jangkauan dan aksesibilitas. Kini, dengan sekali klik, ribuan orang dapat terlibat dalam diskusi dan berpartisipasi dalam gerakan sosial.

Meski demikian, saya sadar bahwa perubahan ini juga menimbulkan gesekan antara generasi. Beberapa rekan saya yang lebih tua sering merasa bahwa generasi muda terlalu lantang dalam menyuarakan pendapat mereka, seakan-akan tidak menghargai norma-norma tradisional. 

Di sinilah istilah "mental tempe" muncul. Namun, saya melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Generasi muda yang aktif di media sosial bukan berarti tidak hormat atau lemah. Justru, mereka berani mengambil langkah yang generasi sebelumnya mungkin tidak punya kesempatan untuk melakukannya.

Stigma dan Stereotipe

Dalam percakapan sehari-hari, saya sering mendengar bagaimana generasi muda dianggap sebagai "generasi rebahan" atau "generasi instan"—cenderung malas dan hanya mencari kesenangan tanpa usaha. Stereotipe ini membuat saya berpikir, apakah kita sebagai generasi yang lebih tua lupa bahwa kondisi hidup mereka saat ini berbeda dengan zaman kita dulu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun