Saya tidak termasuk dalam golongan yang gemar mencap generasi muda sebagai "mental tempe". Sejujurnya, saya pernah mendengar kalimat itu beberapa kali dari rekan kerja yang lebih tua, bahkan dari tetangga.Â
Mereka sering kali mengeluh tentang bagaimana anak-anak muda saat ini dianggap tidak tahan banting, cepat mengeluh, dan cenderung malas. Namun, seiring dengan waktu, saya semakin paham bahwa stigma ini muncul bukan hanya karena perbedaan usia, tetapi juga karena perbedaan akses informasi dan cara mereka mengolahnya.
Di era digital yang kita jalani sekarang, generasi muda memiliki cara pandang yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya. Perubahan ini tidak dapat dihindari, terlebih dengan adanya perkembangan teknologi dan media sosial yang telah mengubah cara kita berkomunikasi, berinteraksi, dan membentuk pandangan sosial.
Media Sosial: Panggung Suara Generasi Muda
Siapa di antara kita yang belum mendengar nama platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter? Rasanya hampir mustahil untuk menemukan seseorang di bawah usia 30 yang tidak memiliki setidaknya satu akun di salah satu dari media sosial tersebut.Â
Bahkan, saya sendiri yang merasa sudah agak "tua" sering kali tidak ingin ketinggalan tren di media sosial. Di sinilah kita bisa melihat fenomena yang menarik. Generasi muda tidak lagi hanya menjadi konsumen informasi, tetapi mereka juga menjadi produsen sekaligus penggerak perubahan sosial.
Dalam hitungan detik, sebuah ide, pendapat, atau bahkan kritik bisa tersebar ke ribuan hingga jutaan orang. Melalui platform seperti Twitter dan TikTok, generasi muda dapat dengan cepat menyampaikan pandangan mereka, mengkritisi kebijakan pemerintah, atau bahkan menyuarakan ketidakpuasan terhadap layanan publik.Â
Saya mengingat betul salah satu contoh gerakan yang sangat populer, yaitu #BlackLivesMatter. Meskipun gerakan ini dimulai di Amerika Serikat, berkat kekuatan media sosial, dukungan dari seluruh dunia bisa terkumpul hanya dalam hitungan hari. Indonesia pun turut berpartisipasi dengan tagar #BlackLivesMatter sempat menduduki trending topic di Twitter.
Statistik menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam kehidupan generasi muda. Menurut laporan We Are Social tahun 2023, di Indonesia saja, 191,4 juta orang (69% dari total populasi) menggunakan media sosial, dengan usia 16-24 tahun menjadi pengguna terbesar. Angka ini menunjukkan betapa dominannya peran media sosial sebagai panggung utama bagi generasi muda untuk menyuarakan pendapat mereka.
Dari Keluhan Menjadi Aktivisme
Saya selalu merasa kagum ketika melihat betapa cepatnya generasi muda saat ini bergerak dari keluhan menjadi aksi nyata. Di dunia yang serba digital ini, keluhan-keluhan yang dilontarkan di media sosial sering kali menjadi pemicu perubahan. Ambil contoh kasus krisis iklim.Â
Berapa banyak kita mendengar tuntutan akan kebijakan yang lebih ramah lingkungan? Melalui media sosial, aktivisme generasi muda seperti Greta Thunberg menjadi semakin kuat, diikuti dengan gerakan global seperti Fridays for Future yang kini mendapat perhatian luas.
Di Indonesia, kita tidak ketinggalan. Saya ingat betul ketika aksi #ReformasiDikorupsi meledak di media sosial pada tahun 2019. Ketika beberapa revisi undang-undang dianggap merugikan rakyat, generasi muda Indonesia bereaksi cepat. Mereka tidak hanya mengeluhkan situasi, tetapi juga turun ke jalan, mengorganisir demonstrasi besar-besaran, menyuarakan perubahan.Â
Gerakan ini dimulai dari media sosial, di mana diskusi, kritik, dan ajakan untuk aksi bersama tersebar. Ini menunjukkan bahwa generasi muda bukan sekadar mengeluh, tetapi mereka juga berani bertindak.
Perbandingan dengan Generasi Sebelumnya
Jika dibandingkan dengan generasi saya atau bahkan generasi sebelumnya, kemampuan untuk mengorganisir diri dan memobilisasi dukungan melalui media sosial jelas merupakan perbedaan besar.Â
Dulu, untuk menyuarakan keluhan atau memulai gerakan sosial, kita memerlukan media tradisional, seperti televisi, koran, atau radio, yang terbatas dalam jangkauan dan aksesibilitas. Kini, dengan sekali klik, ribuan orang dapat terlibat dalam diskusi dan berpartisipasi dalam gerakan sosial.
Meski demikian, saya sadar bahwa perubahan ini juga menimbulkan gesekan antara generasi. Beberapa rekan saya yang lebih tua sering merasa bahwa generasi muda terlalu lantang dalam menyuarakan pendapat mereka, seakan-akan tidak menghargai norma-norma tradisional.Â
Di sinilah istilah "mental tempe" muncul. Namun, saya melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Generasi muda yang aktif di media sosial bukan berarti tidak hormat atau lemah. Justru, mereka berani mengambil langkah yang generasi sebelumnya mungkin tidak punya kesempatan untuk melakukannya.
Stigma dan Stereotipe
Dalam percakapan sehari-hari, saya sering mendengar bagaimana generasi muda dianggap sebagai "generasi rebahan" atau "generasi instan"—cenderung malas dan hanya mencari kesenangan tanpa usaha. Stereotipe ini membuat saya berpikir, apakah kita sebagai generasi yang lebih tua lupa bahwa kondisi hidup mereka saat ini berbeda dengan zaman kita dulu?
Teknologi telah mempermudah banyak aspek kehidupan, dari pekerjaan hingga hiburan. Jika dulu saya harus berusaha keras mencari buku referensi di perpustakaan, kini generasi muda dapat mengakses informasi dari smartphone mereka dalam hitungan detik.Â
Namun, bukan berarti kemudahan ini membuat mereka lebih malas. Sebaliknya, mereka justru menghadapi tantangan yang lebih kompleks, seperti informasi berlebihan (information overload), tekanan sosial, dan standar kesuksesan yang sering kali tidak realistis.
Kenapa Generasi Tua Merasa Terganggu?
Sebagai generasi yang tumbuh di masa transisi dari dunia analog ke digital, saya bisa memahami mengapa sebagian generasi tua merasa terganggu dengan kebisingan yang dihasilkan oleh generasi muda di media sosial.Â
Mereka melihat kritik, tuntutan, dan keluhan yang sering muncul sebagai bentuk ketidakhormatan terhadap sistem atau aturan yang sudah ada. Namun, saya merasa perlu untuk merefleksikan bahwa kebisingan ini sebenarnya adalah tanda dari proses perubahan yang sedang terjadi. Perubahan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri dengan dunia yang terus berkembang.
Suara Perubahan atau Hanya Ribut Belaka?
Tentu saja, tidak semua suara yang muncul di media sosial adalah suara yang konstruktif. Kita tidak bisa menutup mata terhadap penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan informasi yang menyesatkan.Â
Dalam beberapa kesempatan, saya merasa miris melihat bagaimana generasi muda terkadang terjebak dalam lingkaran disinformasi. Namun, di sisi lain, saya juga melihat banyak inisiatif positif yang muncul dari media sosial.
Gerakan-gerakan seperti #SaveKPK, #TolakOmnibusLaw, hingga gerakan-gerakan lingkungan lokal seperti #SelamatkanLaut, semua menunjukkan bahwa media sosial bisa menjadi alat yang kuat untuk perubahan sosial. Generasi muda, dengan segala keterbukaannya terhadap teknologi, mampu memanfaatkan platform ini untuk menciptakan dialog yang kritis, membangun kesadaran kolektif, dan menuntut perubahan.
Tantangan di Masa Depan
Namun, di balik potensi besar media sosial, tantangan juga muncul. Salah satunya adalah polarisasi. Saya sering kali mendapati bahwa media sosial memperkuat perbedaan pandangan di antara kelompok-kelompok masyarakat.Â
Algoritma platform sosial sering kali memperlihatkan konten yang sesuai dengan pandangan kita, sehingga membatasi eksposur terhadap sudut pandang yang berbeda. Ini bisa menghambat dialog yang sehat dan menciptakan jurang pemisah antar kelompok.
Ketergantungan pada media sosial juga menjadi tantangan lainnya. Saya pernah berbincang dengan anak-anak muda yang mengaku sulit lepas dari smartphone mereka, bahkan merasa cemas jika tidak memeriksa media sosial dalam beberapa jam. Ini mengindikasikan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan bisa berdampak pada kesehatan mental dan produktivitas.
Langkah ke Depan
Lalu, bagaimana kita menghadapi tantangan ini? Saya percaya bahwa literasi digital menjadi kunci utama. Masyarakat, khususnya generasi muda, perlu dibekali keterampilan untuk memverifikasi informasi dan mengenali hoaks.Â
Dialog antar generasi juga harus terus dibangun, menciptakan ruang diskusi yang inklusif antara generasi tua dan muda. Dan yang paling penting, kita perlu mendukung inisiatif positif yang muncul dari generasi muda.
Generasi muda bukan sekadar "mental tempe". Mereka adalah generasi yang penuh harapan, ide, dan potensi. Sebagai bagian dari generasi yang lebih tua, saya merasa perlu untuk lebih mendukung mereka, bukan merendahkan. Dengan memberikan ruang untuk berkreasi, kita bisa membantu mereka menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H