Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Doom Spending: Jebakan Konsumtif di Tengah Resesi - Kisah Pribadi

2 Oktober 2024   10:56 Diperbarui: 2 Oktober 2024   13:17 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di masa ekonomi yang tidak stabil, banyak orang mencari pelarian dari tekanan yang menghimpit. Salah satu bentuk pelarian yang paling umum adalah belanja impulsif atau yang kini populer dengan istilah doom spending. 

Fenomena ini tidak hanya memengaruhi individu dari segi keuangan, tetapi juga menimbulkan dampak negatif pada kesehatan mental. 

Berdasarkan pengalaman pribadi saya, doom spending adalah masalah yang rumit dan penuh jebakan, terutama di tengah resesi. 

Dalam artikel ini, saya akan menceritakan pengalaman saya terjebak dalam pola konsumtif ini, serta menggali lebih dalam penyebab dan cara mengatasinya.

Sebagai seorang yang pernah terjebak dalam lingkaran doom spending, saya sangat memahami betapa sulitnya melawan godaan untuk terus berbelanja. Ketika pandemi COVID-19 melanda, saya merasa hidup saya berubah drastis. 

Kegiatan harian menjadi terbatas, dan kecemasan tentang masa depan meningkat tajam. Ketidakpastian ekonomi, kekhawatiran akan kesehatan, serta hilangnya interaksi sosial mendorong saya mencari pelarian. Sayangnya, pelarian yang saya pilih adalah belanja impulsif.

Berawal dari sekadar membeli barang-barang kecil secara online, kebiasaan ini berkembang menjadi kebutuhan untuk terus membeli hal-hal yang sebenarnya tidak saya butuhkan. 

Awalnya, belanja terasa seperti hiburan yang sederhana. Namun, dalam waktu singkat, saya mulai merasa terjebak dalam siklus yang tidak sehat: saya membeli barang-barang untuk merasa lebih baik, tetapi rasa puas itu cepat hilang dan digantikan oleh kecemasan baru.

Setiap kali saya melihat saldo rekening menipis, saya dilanda rasa bersalah dan stres. Namun, seolah menjadi lingkaran setan, saya kembali berbelanja sebagai pelarian dari perasaan tersebut. 

Saat menyadari betapa besar dampak doom spending ini terhadap kesehatan mental dan kondisi keuangan saya, saya mulai mencari cara untuk mengatasi kebiasaan buruk ini.

Apa Itu Doom Spending?

Doom spending, atau belanja impulsif yang dipicu oleh kecemasan, adalah fenomena di mana seseorang membeli barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan sebagai bentuk pelarian dari stres, ketidakpastian, dan ketidaknyamanan emosional. 

Istilah ini semakin sering digunakan, terutama di masa pandemi dan resesi global, di mana ketidakpastian ekonomi dan sosial membuat banyak orang merasa cemas dan tidak berdaya.

Kondisi ini diperburuk oleh kemudahan akses belanja online, di mana hanya dengan beberapa klik, seseorang dapat memesan barang dari ponsel atau komputer tanpa berpikir panjang. Iklan-iklan yang ditargetkan melalui media sosial juga memperparah situasi, mendorong orang untuk membeli produk yang mungkin tidak mereka butuhkan, namun "terlihat menarik" pada saat itu.

Mengapa Doom Spending Terjadi?

Ada beberapa faktor yang menyebabkan doom spending terjadi, baik dari segi psikologis, sosial, maupun ekonomi:

1. Psikologi Konsumen
- Teori Dissonance Kognitif

Menurut teori ini, individu akan merasa tidak nyaman jika ada ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku mereka. 

Misalnya, ketika seseorang tahu bahwa mereka tidak seharusnya berbelanja berlebihan, tetapi tetap melakukannya, mereka mengalami disonansi kognitif. 

Untuk mengurangi ketidaknyamanan ini, mereka mencari pembenaran, seperti menganggap belanja sebagai cara untuk "merawat diri sendiri" di tengah tekanan hidup.
 
- Hedonic Treadmill

Manusia cenderung cepat beradaptasi dengan kondisi baru, termasuk dalam hal mendapatkan kebahagiaan dari barang-barang baru. Ini berarti bahwa kepuasan yang diperoleh dari membeli sesuatu hanya bersifat sementara. Akibatnya, orang merasa perlu terus membeli barang baru untuk tetap merasa bahagia, meskipun efeknya hanya berlangsung singkat.

2. Faktor Sosial dan Budaya
- Tekanan Sosial Media

Media sosial memiliki peran besar dalam mendorong perilaku konsumtif. Melalui platform seperti Instagram, TikTok, atau Facebook, pengguna sering kali melihat orang lain yang tampak hidup dalam kemewahan, yang mendorong mereka untuk mengikuti gaya hidup serupa. 

Fenomena ini dikenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out), yaitu ketakutan akan ketinggalan tren atau kesempatan yang membuat seseorang lebih terdorong untuk membeli sesuatu agar tetap relevan.

- Iklan yang Menyesatkan

Industri periklanan sangat pandai memanipulasi emosi konsumen. Iklan sering kali dirancang untuk memanfaatkan ketidakamanan atau kebutuhan sosial konsumen, menciptakan perasaan bahwa produk tertentu akan meningkatkan status sosial atau memberikan kebahagiaan yang abadi.

3. Kondisi Ekonomi
- Ketidakpastian Ekonomi

Dalam situasi ekonomi yang tidak stabil, orang merasa cemas tentang masa depan mereka, yang pada akhirnya memicu perilaku konsumtif sebagai bentuk pelarian. Orang mungkin merasa bahwa membeli sesuatu sekarang lebih baik daripada menunggu dan menghadapi kemungkinan harga yang lebih tinggi atau ketidakmampuan untuk membeli di masa mendatang.

- Inflasi dan Krisis Ekonomi

Kenaikan harga barang-barang pokok dan kebutuhan sehari-hari mempengaruhi daya beli masyarakat. Namun, ironisnya, inflasi justru dapat mendorong orang untuk berbelanja lebih banyak, dengan alasan bahwa harga barang akan terus naik sehingga lebih baik membeli sekarang sebelum harganya semakin mahal.

Dampak Doom Spending

Doom spending memiliki banyak dampak negatif, baik bagi individu maupun masyarakat luas. Berikut adalah beberapa dampaknya:

- Utang Menumpuk

Salah satu konsekuensi langsung dari doom spending adalah terjebaknya seseorang dalam utang. Ketika belanja dilakukan secara berlebihan tanpa perencanaan keuangan yang baik, utang kartu kredit dan pinjaman pribadi bisa menjadi semakin sulit dikendalikan.
 
- Stres dan Kecemasan

 Alih-alih meredakan kecemasan, doom spending sering kali memperburuk kondisi emosional. Setelah rasa puas sementara berlalu, seseorang bisa merasakan rasa bersalah dan cemas karena pengeluaran yang tidak perlu.
 
- Penurunan Kualitas Hidup

Ketika terlalu banyak uang dihabiskan untuk barang-barang yang tidak penting, individu mungkin kehabisan dana untuk kebutuhan pokok seperti makanan, pendidikan, atau perawatan kesehatan. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menurunkan kualitas hidup.

Cara Mengatasi Doom Spending

Mengatasi doom spending membutuhkan pendekatan yang komprehensif, baik dari diri sendiri maupun lingkungan sosial. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil:

- Meningkatkan Literasi Keuangan

 Memahami konsep keuangan dasar seperti penganggaran, menabung, dan investasi dapat membantu seseorang membuat keputusan finansial yang lebih bijak.

- Membangun Kebiasaan Menabung

 Kebiasaan menabung secara teratur dapat memberikan rasa aman dan mengurangi kecenderungan untuk melakukan pembelian impulsif. Dengan menabung, seseorang bisa lebih tenang menghadapi masa depan tanpa harus merasa perlu membeli sesuatu sebagai pelarian dari stres.

- Mencari Alternatif Hiburan

Alih-alih berbelanja untuk menghilangkan kebosanan atau stres, coba eksplorasi hobi baru seperti membaca, berolahraga, atau berkumpul dengan teman-teman.

- Mencari Dukungan Sosial

Berbicara dengan keluarga atau teman yang mengerti situasi Anda bisa sangat membantu. Bahkan, beberapa orang mungkin perlu berkonsultasi dengan terapis untuk mengatasi masalah kecemasan atau stres yang mendasari perilaku konsumtif.

Doom spending bukan hanya masalah individu, tetapi juga fenomena sosial yang mencerminkan ketidakstabilan ekonomi dan tekanan hidup yang dihadapi masyarakat saat ini. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan perubahan dari berbagai sisi: individu, masyarakat, dan pemerintah.

Saran untuk Pemerintah

- Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat

Pemerintah perlu memperbaiki akses terhadap layanan kesehatan mental dan pendidikan keuangan bagi masyarakat agar individu dapat mengelola stres dan keuangan mereka dengan lebih baik.
 
- Regulasi yang Ketat Terhadap Periklanan

Periklanan yang manipulatif sering kali menjadi pemicu doom spending. Pemerintah perlu menerapkan regulasi yang lebih ketat untuk melindungi konsumen, terutama dalam hal pinjaman online dan promosi barang-barang konsumtif.

Saran untuk Masyarakat

- Membangun Kesadaran Finansial

 Masyarakat perlu lebih sadar tentang dampak doom spending dan pentingnya mengelola keuangan dengan bijak.

- Membangun Komunitas yang Mendukung Gaya Hidup Minimalis

 Komunitas yang mendukung gaya hidup sederhana dan berkelanjutan dapat membantu individu untuk mengurangi kebiasaan konsumtif dan fokus pada kualitas hidup yang lebih baik.

Doom spending adalah tantangan yang nyata di tengah ketidakpastian ekonomi. Namun, dengan pemahaman yang lebih baik tentang penyebab dan dampaknya, serta strategi yang tepat, kebiasaan buruk ini bisa diatasi. Literasi keuangan, dukungan sosial, dan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental merupakan kunci untuk keluar dari jebakan konsumtif ini.

#DoomSpending

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun