Kapamalian ini pada awal persebarannya dimulai secara lisan yakni dari mulut ke mulut, dan dari generasi ke generasi, secara turun-temurun. Jadi, dapat diartikan bahwa 'kapamalian' adalah tradisi lisan warisan 'karuhun Sunda' yang bersifat anonim dan turun-temurun.Â
Ya, anonim karena hingga saat ini tidak dapat diketahui siapa nama dari orang pertama yang menciptakan ungkapan tersebut. Layaknya sifat mayoritas tradisi lisan di nusantara. Pada umumnya memiliki sifat anonim.
Sebagai informasi, karena kapamalian ini bersifat larangan, tabu, dan pantangan. Maka dalam setiap kapamalian diawali dengan kata 'ulah' artinya 'jangan, dilarang, tidak boleh' dalam bahasa Indonesia.
Kapamalian dalam masyarakat Sunda ternyata banyak sekali. Belum terdokumentasi dengan baik dan masih berceceran di kalangan masyarakat. Bahkan ada beberapa kapamalian yang terkadang juga tidak akrab di telinga masyarakat Sunda itu sendiri.
Berikut adalah beberapa contoh kapamalian dan artinya. Saya rangkum dari berbagai sumber khusus untuk Kompasianer tercinta.
Contoh-contoh kapamalian dan artinya
1.Kapamalian hubungannya dengan sikap kita terhadap benda mati.
a. Ulah nambulan uyah, pamali bisi potong peujit. Artinya jangan menggunakan garam sebagai camilan, akan mengakibatkan usus kita patah atau rusak.Â
Menurut hemat saya, pamali memakan garam sebagai camilan, secara kesehatan dapat diterima dan logis. Karena jangankan dipakai langsung sebagai camilan. Jika dalam satu hari kita terlalu banyak makan makanan yang asin. Bahkan dalam jangka waktu lama, maka akan mengakibatkan turunnya kualitas kesehatan.Â
Diantaranya: darah tinggi, cairan menumpuk di sekitar jantung dan paru-paru, serangan jantung, dan stroke. Oleh karena itu, ada baiknya di masa kini juga kita dapat menerapkan larangan karuhun tersebut. Karena, masih terasa relevan dan bermanfaat bagi kehidupan.
b. Ulah cicing dina lawang panto, pamali bisi hs meunang jodo. Artinya jangan duduk di depan pintu, akibatnya akan susah mendapat jodoh. Pamali ini juga berterima dengan logika.Â