"Sudah, ini mau ke mana!" Suamiku menanyaiku dengan jengkel .
"Tadi kata bapaknya, sampai palang masih terus sampai aspal terakhir. Bilangnya sumber air apa, aku lupa!" Jawabku linglung.
"Ya sudah, kamu turun! Itu palangnya kamu buka kalau bisa!" Suamiku mulai ngamukÂ
Aku turun, dan palangnya ternyata bisa diputar dengan mudah, sehingga gampang dilalui mobil. Aku kembali naik ke mobil dan sepertinya kita memasuki gapura. Tapi tulisannya tidak terlihat karena gelap.Â
"Mungkin ini gapura masuk perkemahan!" Kataku menghibur diri. Tapi mengapa sepi sekali dan gelap? Tidak ada seorangpun dan tidak ada tanda-tanda kehidupan.Â
Sepi dan gelap. Hanya bayang-bayang gazebo yang terpaku dan membisu. Akhirnya mentok di depan kami sebuah bangunan yang besar, samar-samar seperti rumah, atau kantor yang tanpa penjaga.
Sunyi, gelap, tak tahu arah, tak tahu di mana, dan hanya berdua.
Akhirnya suamiku turun, dan mengambil senter. Sepertinya ini jalan buntu. Harusnya sudah sampai, tapi mengapa sepi sekali?
Bangunan besar sepi, di sampingnya ada jalan sepertinya. Tapi penuh bebatuan, bukan jalan aspal. Ada pagar tinggi dan tangga ke atas, membuatku merinding, seperti tembok makam. Dan gazebo-gazebo seperti rumah-rumah yang menaungi nisan. Detak jantungku semakin cepat. Mengingatkanku saat camper Van di Klepu, Ponorogo. Kami juga kesasar lewat jalan arah makam.Â