Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Petualangan Seru Seram Mencekam Menuju Lokasi Camper Van Jamus, Ngawi

4 September 2024   21:16 Diperbarui: 5 September 2024   15:19 1760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menurut petunjuk penduduk yang kami tanya, setelah palang ini kami masih harus terus, gelap dan sepi (dokpri)

Ini adalah kali keempat Aku dan suamiku menghadiri acara Camper Van Wiro Taman, CVI Jatim.

Kali ini acaranya di Ngawi, Camping Ground Jamus, Desa Girikerto, Kecamatan Sine, Kabupaten Ngawi.

Dengan estimasi waktu sekitar 3 jam, kami berangkat dari rumah selepas dhuhur. Sedikit lambat, pukul 13.33 kami berangkat. Perjalanan cukup lancar, tapi sampai di jalan Maospati -Ngawi, ternyata jalan terlewat, akhirnya kami berbalik arah, dan mulai membuka google maps.

Sampai di Paron sudah terdengar Azan Ashar, sehingga kami berhenti dulu untuk menunaikan shalat. Dari google Maps, perjalanan masih sekitar 1 jam 31 menit. Sekitar pukul 16.35 kita sudah bisa sampai di lokasi jika perjalanan lancar.

Siap melanjutkan perjalanan setelah shalat ashar di Paron(dokpri)
Siap melanjutkan perjalanan setelah shalat ashar di Paron(dokpri)

Bismillahi tawakaltu ...kami melanjutkan perjalanan. Tapi sampai di Ketonggo, ternyata ada perbaikan jalan, sehingga diberlakukan buka tutup jalan satu sisi yang sangat memakan waktu. 

Sementara waktu terus berjalan. Senja mulai membayang. Sekitar satu jam lebih kami terjebak dalam rute perbaikan jalan. Semoga perjalanan selanjutnya lancar, dan sebelum gelap sudah sampai lokasi.

Selepas Pasar Jogorogo, mulai banyak tanjakan dan turunan berliku yang mengandalkan kekuatan dan kesehatan rem. 

Suamiku yang masih kesal dengan kemacetan akibat perbaikan jalan emosinya mulai terganggu, sementara aku sendiri dag-dig-dug setiap kali melewati tanjakan dan turunan ekstrim.

Saat suasana mulai meremang, kami melewati jalan yang ditutup separuh, tapi bisa dilewati mobil. Ternyata sampai ke tempat orang yang punya hajad. Kami dipandu untuk parkir. Ya, Allah. Malah dikira tamunya orang punya hajad.

Akhirnya suami turun, dan bilang kalau mau ke Jamus. Dan ditunjukkan jalan, disuruh berbalik dan belok ke jalan sempit dengan tanjakan dan turunan yang sangat ekstrim. Seperti nya itu jalan setapak yang biasa dilewati saat pergi ke sawah di pegunungan.

Mental suami semakin down, dan semakin sering mengeluh dan mengumpat dengan kata-kata kasar. Aku diam saja, seperti nya itu cara paling bijak untuk memberi dukungan moral dan mempertahankan kesehatan mental.

Capek, sementara tanda-tanda sampai lokasi belum terlihat. Sedang tanjakan dan turunan semakin banyak, dan matahari perlahan mulai menjauh.

Akhirnya sampai juga di portal menuju Lokasi Wisata Kebun teh Jamus. Tamu wajib lapor.

Saat suami berkata peserta Camper Van, ternyata petugas langsung tahu dan paham.

"Mampiro", Pak?"

"Iya, betul!"

"Terus saja ikuti jalan ini, nanti sampai parkiran, di situ lokasinya!"

"Oke, Pak. Siap! Terima kasih." Suamiku kembali bersemangat, aku juga. Meski agak ragu saat jalan yang kami lewat sempit dan gelap mulai membayang.

"Buka lapangan Jamus, Dek!" Kata suamiku 

Kubuka google maps, dan ternyata tinggal beberapa menit. Lega rasanya.

Tapi saat sampai lapangan, ternyata lapangan kosong, tidak ada tanda-tanda acara camper Van. Sedikit paranoid, jangan-jangan salah jadual atau tidak ada peserta yang datang.

Mobil terus melaju, sampai suara azan bergema, tapi tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan keramaian atau suasana perkemahan. Sedikit ragu untuk terus atau berbalik, sementara lapangan Jamus sudah terlewati.

Sampai di tikungan yang menanjak dan melingkar, suamiku menghentikan mobil, dan aku keluar. Hidungku yang sensitif mencium bau kamvas rem. Membuatku panik, sebab rute masih menikung dan menanjak.

Suamiku membuka kap mobil dan mendinginkan mesin. Sementara aku kembali membuka google maps. Kali ini kutemukan camping ground di dekat mata air sumber Lanang, di lokasi kebun teh.  Tapi masih sekitar 8 km. Dan waktu tempuh 45 menit. Aku lupa kalau saat itu sedang berhenti, kemungkinan 45 menit adalah waktu tempuh dengan jalan kaki. 

Nggak mungkin kan 8 km ditempuh dalam waktu 45 menit dengan mobil. Kecuali kecepatan nya sekitar 10 km/jam.

Tapi saat itu pikiran ku mulai terganggu dan kehilangan akal sehat, jadi menelan mentah-mentah informasi dari google. Malah sempat terpikir kalau medannya berat. Agak ngeri juga sebenarnya.

Melirik ke atas jalan naik cukup ekstrim, waktu tempuh masih sekitar 1 jam, hari mulai gelap, dan tidak terlihat ada masjid. Bau kamvas rem, tambah tidak paham Medan dan suasana sangat sepi. Tentunya karena waktu Maghrib tiba, jadi tidak ada orang atau kendaraan melintas.

"Kita shalat dulu saja sambil menunggu mesinnya dingin!" Kata suamiku.

"Bu, masjidnya sebelah mana?" Tanya suamiku pada seorang ibu yang kebetulan keluar dari sebuah rumah di tepi jalan tempat kita berhenti.

"Di atas, Pak!" Jawabnya. 

"Kalau yang di bawah dekat-dekat sini nggak ada, Bu?"

"Nggak ada. Dekat kok,Pak. Setelah naik, itu belok sedikit, terus di turunan sudah sampai di masjid!"

Suamiku terdiam. Mengukur kekuatan mobil sampai ke atas dengan kemiringan di atas 45 derajad.

"Kalau tempat kemah masih jauh, Bu?"

"Itu naik, terus saja ikuti jalan. Sampai di palang, masih terus. Pokoknya paling atas sampai aspal terakhir!"

Wajah suamiku memucat, dan seperti biasanya menyalahkan aku.

"Ini gara-gara menuruti kamu!" Katanya marah setengah putus asa. Aku hanya melongo, dan nyaris ikut terbawa emosi. Menuruti apa dan yang mana? Bisikku dalam hati. 

Tapi aku diam saja, dan ikut masuk ke mobil untuk melanjutkan perjalanan meski sambil was-was. Sepertinya diam dan berdoa adalah langkah paling bijak bagiku.

Alhamdulillah tanjakan bisa dilalui dengan mulus, tapi masjid yang kami cari tidak kelihatan. Jalan mulai sepi dan gelap seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan, sementara kami sama sekali tidak paham medan dan tidak tahu tujuan yang tepat. Bulu kuduk mulai meremang.

Mobil melaju pelan. Akhirnya sampai di palang yang sepertinya portal masuk ke suatu wilayah. Karena cuma terbuka separuh, suamiku mengarahkan mobil berbelok ke tempat yang cukup lapang, tapi suasana sangat sepi. Sepi sekali tidak ada yang bisa ditanyai.

 Sementara suara panduan google maps yang menyuruh berbelok membuat kami semakin panik. Dalam gelap, susah membedakan antara jalan atau tanah kosong, bahkan jurang.

Di depan ada lampu-lampu hias mirip perkampungan. Tapi sepi sekali, nyaris tidak ada suara manusia. Seperti perkampungan mati.

"Sudah, ini mau ke mana!" Suamiku menanyaiku dengan jengkel .

"Tadi kata bapaknya, sampai palang masih terus sampai aspal terakhir. Bilangnya sumber air apa, aku lupa!" Jawabku linglung.

"Ya sudah, kamu turun! Itu palangnya kamu buka kalau bisa!" Suamiku mulai ngamuk 

Aku turun, dan palangnya ternyata bisa diputar dengan mudah, sehingga gampang dilalui mobil. Aku kembali naik ke mobil dan sepertinya kita memasuki gapura. Tapi tulisannya tidak terlihat karena gelap. 

Masuk gapura tapi tulisannya kurang jelas terbaca(dokpri)
Masuk gapura tapi tulisannya kurang jelas terbaca(dokpri)

"Mungkin ini gapura masuk perkemahan!" Kataku menghibur diri. Tapi mengapa sepi sekali dan gelap? Tidak ada seorangpun dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. 

Sepi dan gelap. Hanya bayang-bayang gazebo yang terpaku dan membisu. Akhirnya mentok di depan kami sebuah bangunan yang besar, samar-samar seperti rumah, atau kantor yang tanpa penjaga.

Sunyi, gelap, tak tahu arah, tak tahu di mana, dan hanya berdua.

Mentok di sebuah bangunan. Gelap dan sunyi, tanpa tanda kehidupan. Jalan buntu kah?(Dokpri)
Mentok di sebuah bangunan. Gelap dan sunyi, tanpa tanda kehidupan. Jalan buntu kah?(Dokpri)

Akhirnya suamiku turun, dan mengambil senter. Sepertinya ini jalan buntu. Harusnya sudah sampai, tapi mengapa sepi sekali?

Bangunan besar sepi, di sampingnya ada jalan sepertinya. Tapi penuh bebatuan, bukan jalan aspal. Ada pagar tinggi dan tangga ke atas, membuatku merinding, seperti tembok makam. Dan gazebo-gazebo seperti rumah-rumah yang menaungi nisan. Detak jantungku semakin cepat. Mengingatkanku saat camper Van di Klepu, Ponorogo. Kami juga kesasar lewat jalan arah makam. 

Mungkin bukan takut, tapi ngapain malam-malam kami hilir mudik di makam? Itu yang sempat terlintas di pikiranku.

Mungkin begini kata hatiku. Eh...(Dokpri)
Mungkin begini kata hatiku. Eh...(Dokpri)

"Kita balik saja!" Akhirnya suamiku kembali mengajak masuk mobil dan kembali.

"Pulang?" Tanyaku. Tapi suamiku diam saja. Aku segera kirim WA ke si bungsu agar tidak menyusul. Tadinya rencana si bungsu mau ikut nyusul, karena ada hal yang harus diselesaikan, jadi tidak bisa pergi bersama -sama.

"Kenapa?" Tanya si bungsu.

"Kesasar. Mungkin mau balik saja!" Jawabku 

Sementara kami sudah sampai di palang kembali.

Palang batas yang justru membingungkan (dokpri)
Palang batas yang justru membingungkan (dokpri)

Terlihat dua orang anak naik motor, entah dari arah mana. Selatan, atau timur. Ternyata Utara. Dan entah kemana, sayangnya kami tidak menghentikan nya untuk bertanya. Aku benar-benar dalam kebingungan sepertinya.

"Kita kembali saja, shalat dulu di masjid. Kalau di masjid biasanya kan ada orang yang bisa kita tanyai. Kalau nggak ada, tunggu sampai isya, pasti ada!" Kataku.

Tapi suamiku tidak sependapat dan menghentikan mobilnya. Berbalik kembali ke masjid di ujung tanjakan cukup melelahkan, apalagi kalau nantinya harus balik lagi ke sini. Lebih baik langsung dicari sendiri. Mungkin begitu  pikirnya.

Kemudian mengontak temannya di grup camper Van. Padahal sudah dari tadi kusarankan tanya di grup, pasti pada paham, tapi suamiku nggak mau.

"Seperti nya ini sudah sampai parkiran. Tapi kenapa tidak ada orang?" Tanya suamiku pada diri sendiri.

"Kita ikuti arah 2 anak yang tadi naik motor itu saja Mas. Sepertinya dari arah sana!" Kataku. Paling tidak, pastinya itu arah ke perkampungan, kita bisa bertemu orang dan bertanya arah yang benar.

"Ya, sudah. Nih senternya. Kamu yang cari jalan, nanti kamu terangi!"

Kenapa baru sekarang terlihat kalau itu sebuah perkemahan. Dan kenapa tadi tidak ada suara sama sekali?(Dokpri)
Kenapa baru sekarang terlihat kalau itu sebuah perkemahan. Dan kenapa tadi tidak ada suara sama sekali?(Dokpri)

Kuambil senter dari tangan suami, dan turun dari mobil menuju arah 2 anak yang tadi lewat, sementara suamiku naik mobil mengikuti Aku.

"Lho, Mas . Itu kan kemah, banyak lampu. Dan ramai orang ngobrol dan berteriak!" Kataku takjub. Kira-kira 100 m dari tempat ku berdiri, terlihat banyak kemah didirikan dan kerlap kerlip lampu. Juga ramai suara orang. 

"Iya, Mas. Betul! Itu pasti camper Van!" Teriakku girang dan takjub. Sekaligus heran, kenapa tadi waktu berhenti di sini sangat sepi dan tidak terlihat kemah, cuma beberapa lampu warna warni terlihat yang kukira lampu agustusan. 

"Apakah kami disuruh mampir  dulu, masuk gapura ke bangunan besar yang entah apa dengan suasana sepi mirip makam?

Apakah disuruh ijin untuk masuk wilayah ini, sesuai dengan namanya "Mampiro" di gedung tadi? Tempat apa itu?"

Besok kalau sudah terang kita lihat ya, tempat apa yang sebenarnya kita kunjungi tadi dalam gelap. Sabar di artikel selanjutnya, ya.

Sekarang kita tonton dulu video petualangan kita untuk menemukan lokasi camper Van.

Sumber: YouTube @Isti Yogiswandani channel 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun