Mohon tunggu...
Ismi Faizah
Ismi Faizah Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis adalah proses menyembuhkan hati sedang membaca adalah proses membuka mata pikiran dan rasa

Read a lot write a lot

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rayuan Kembang Malam (Part 1)

12 Februari 2021   08:44 Diperbarui: 12 Februari 2021   08:59 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hidup di tengah-tengah kerasnya kota metropolitan tentu bukan perkara mudah. 

Mampu bertahan melalui hari demi hari dengan segudang kesusahan saja sudah syukur, apalagi masih bisa makan tiga kali sehari tentu nikmat yang luar biasa. 

Uang sakunya cukup untuk bertahan beberapa minggu ke depan. Entah untuk selanjutnya. Beruntung ia mendapat tumpangan tempat tidur di kontrakan kawan lama. Bisa menghemat sedikit pengeluaran. Terima kasih untuk sahabat yang berbaik hati untuknya. 

"Ikut gue aja yok, lo kan butuh kerjaan nih!" Dinda sibuk melipat baju lalu menatanya di almari. Gadis itu cukup rajin ternyata. Dulu seingatnya di rumah kebiasaan manja. Ah, memang hidup di tanah rantau sanggup mengubah seseorang belajar mandiri. 

"Ngak dulu deh, gue kan mau kerja tuh di pabrik mattel," tolak Adera. 

"Yakin lo? Anak mami kek elo mana bisa sih kerja berat gitu," dengan senyum meremehkan tangannya berganti menuang teh kedalam cangkir menyodorkan pada sahabatnya. 

"Makasih..lo juga kenapa sekarang mendadak sok rajin gitu? Ya pasti gue bisa lah," yakin Adera sembari  mengepalkan tangan. 

"Oke taruhan ya, pasti seminggu aja lo ga bakal betah gue jamin deh," jawab Dinda seratus kali lebih yakin. 

"Elo mah bukan malah nyemangatin gue, Din. Sahabat apaan lo," melempar bantal leher kearah Dinda. Orangnya sudah menghilang di balik pintu biru. 

"Bukan gitu kali Ra, ya gue yakin aja gitu kalo lo ngak bakal betah disana. Catet nih omongan gue," pungkas gadis berambut warna pirang sebagian itu. 

"Udah ah bentar gue mau nabung emas jangan ajak ngobrol," lanjutnya dari dalam kamar mandi. 

"Ihh jorok, mana gue lagi makan nih elah. Nabung emas mulu kaga kaya-kaya lo," tawa mereka bercampur menjadi satu. 

Begitulah kilas obrolan dua sahabat mewarnai pagi diminggu ketiga bulan november. 

Dua puluh satu hari sudah Adera merasakan menjadi penggangguran di tanah orang. Pahit manis getir seolah menyatu dalam perasaannya. 

Tetapi dia adalah gadis berwatak keras. Apapun yang dia inginkan harus bisa didapatkan apapun caranya. 

Sekali ia telah memutuskan maka segala resiko baik maupun buruk harus dilalui. 

Tidak ada kata mundur. Sesuatu yang telah dimulai harus diakhiri atau memang kisah sedihnya tanpa akhir.

Sekarang dia lebih bisa menerima. Tidak lagi meributkan perihal pekerjaan yang tak kunjung didapatkan. Pasrah. 

Bingo. Justru tawaran datang saat detik-detik terakhir dia hendak menyerah. 

Dua minggu lalu 

Peluh menghujani tubuhnya. Keringat mengalir di pelipis. Sudah beberapa tempat dia datangi dan hanya satu dua yang menawarkan lowongan pekerjaan. 

Inginnya tak banyak cukup pekerjaan yang bisa menyambung hidupnya. Asal dia bisa makan. Soal membeli barang-barang yang diinginkan entah itu sepatu, baju, tas, alat make up, skincare dan lain-lain bisa dipikir nanti. Sekarang urusan perut jauh lebih penting. 

Dari tempat laundry, toko baju, toko sepatu, toko mainan, tempat makan angkringan, warnet, sampai ditawarin jadi penjual Cappucino Cincau-pun pernah. 

Ada satu lagi yang agak keren kantor advokat. Namun apalah dia yang hanya lulusan Sekolah Menengah Atas dengan nilai pas-pasan bahkan mungkin dilihat dari ijazahnya saja mereka akan enggan. 

Perjuangan belum berakhir. Ia selalu yakin hanya orang-orang yang mau bersusah payah sajalah yang akan mendapat kejutan manis. 

Setiap hari disaat sahabatnya tidur-tiduran nyaman, dia akan berangkat meniti langkah tanpa henti. Dia harus mendapat pekerjaan. 

"Duh Ra, gue udah tawarin pekerjaan yang enak eh elo malah nyusahin diri sendiri," Dinda geleng-geleng kepala melihat Adera mematut diri di depan cermin. 

Yang jadi topik pembicaraan menengok. 

"Kita bahas nanti yaa, gue baru dapat kenalan nih di jalan kemaren. Kek gue  gini orangnya lagi cari-cari kerjaan,"
Menyisir rambut hitam lurus sepinggang. Alisnya terangkat bibirnya mengerucut. Tersenyum simpul matanya beberapa kali berkedip. 

"Gimana udah cantik belum gue?" Tanyanya semangat. 

Dinda tersenyum miring. 

"Percuma juga lo dandan cantik gitu, entar juga luntur tuh bedak. Udah minjem make up gue lagi, dih," canda Dinda. 

"Pelit amat sih Neng, ntar kalo gue dah kerja gue ganti tuh semua, sekalian kontrakan lo ini gue beli..hahahaha".

"Sombong lo, jangan belagu deh sana gih cepetan berangkat keburu siang. Nih bawa," Dinda memberi dua lembar uang seratus ribuan. Adera membelalakkan mata. 

"Banyak amat. Ga usah kali, Nda! Gue dikasih tumpangan gini aja udah syukur. Gue dah banyak kali ngrepotin elo. Duit gue tuh masih. Ga usah khawatirin gue," Gadis bermata bulat itu nyengir. 

"Dih, siapa yang khawatirin elo. Kebetulan aja dompet gue udah ga bisa nampung tu duit. Daripada berceceran mending kebawa elo," Dinda membelakangi Adera tanpa sahabatnya ketahui ia menyeka air mata. 

Adera menggigit pipi dalamnya, netranya hampir menitikkan air mata. Lalu ia menengadah agar air matanya tak deras mengalir. 

Sekeras apapun Dinda memanglah penyayang. Dibalik sikap cueknya dia amat sangat peduli. 

Gadis itu terlihat sempurna dari luar. Tinggi semampai proporsi tubuh yang pas. Kulit bersih, apalagi jika terkena polesan make up dia terlihat jauh lebih dewasa dan matang. Cantik dan sempurna

Namun, hanya dirinya yang tahu seberapa rapuh sahabat karibnya itu. Dia tahu bagaimana diam-diam Dinda menangis meski jarang sekali menampakkan di depannya. 

"Kok bengong sih Neng, ambil ya awas kalo ngak dipake," suara Dinda membuyarkan lamunannya. Sahabat kecilnya itu masih sibuk mengobrak-abrik isi almari. Entah apa yang dia cari sepertinya ia tak boleh ikut campur. 

"Tapi..." kalimatnya belum selesai langsung diputus.

"Ga usah bilang kebanyakan, mau aku tunjukin berapa duitku. Bisa bikin empuk ni kasur, tahu! ambil dan pake. Titik." seraya berucap Dinda bangkit dari duduknya berkacak pinggang menghadap Adera. 

"Iya, iya..tapi nanti kalo aku ada duit gue ganti ya. Lo jangan terlalu baik ama gue. Ntar gue nglunjak gue rampok lo," jawab Adera pergi berlalu. 

Dinda hanya tersenyum mana mungkin seorang Adera melakukannya. Ia tahu bagaimana gadis itu luar dan dalam. 

Petualangannya dimulai. Jalan kaki bukan hal yang baru lagi meski awalnya dia selalu mengeluarkan sumpah serapah. 

Jika saja ibunya tahu kesulitannya sekarang mungkin dia sudah diseret pulang. 

Akan tetapi hidup ini milik mereka yang siap mengambil keputusan. Dan Adera telah mengambil jalan ini. Tak seorangpun boleh mengganggunya. 

Hari ini waktunya dia akan membawa lagi lamaran pekerjaan ke sebuah pabrik bersama kenalannya kemarin. Cukup mudah syaratnya hanya ijazah dan fotocopy ktp. 

Tidak ada yang tahu sebelum dicoba bukan? Semoga saja rezekinya memang di tempat tersebut. Harapannya berkobar dia menjadi lebih bersemangat setelah mendapat teman seperjuangan. 

To be continued 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun