"Sombong lo, jangan belagu deh sana gih cepetan berangkat keburu siang. Nih bawa," Dinda memberi dua lembar uang seratus ribuan. Adera membelalakkan mata.Â
"Banyak amat. Ga usah kali, Nda! Gue dikasih tumpangan gini aja udah syukur. Gue dah banyak kali ngrepotin elo. Duit gue tuh masih. Ga usah khawatirin gue," Gadis bermata bulat itu nyengir.Â
"Dih, siapa yang khawatirin elo. Kebetulan aja dompet gue udah ga bisa nampung tu duit. Daripada berceceran mending kebawa elo," Dinda membelakangi Adera tanpa sahabatnya ketahui ia menyeka air mata.Â
Adera menggigit pipi dalamnya, netranya hampir menitikkan air mata. Lalu ia menengadah agar air matanya tak deras mengalir.Â
Sekeras apapun Dinda memanglah penyayang. Dibalik sikap cueknya dia amat sangat peduli.Â
Gadis itu terlihat sempurna dari luar. Tinggi semampai proporsi tubuh yang pas. Kulit bersih, apalagi jika terkena polesan make up dia terlihat jauh lebih dewasa dan matang. Cantik dan sempurna
Namun, hanya dirinya yang tahu seberapa rapuh sahabat karibnya itu. Dia tahu bagaimana diam-diam Dinda menangis meski jarang sekali menampakkan di depannya.Â
"Kok bengong sih Neng, ambil ya awas kalo ngak dipake," suara Dinda membuyarkan lamunannya. Sahabat kecilnya itu masih sibuk mengobrak-abrik isi almari. Entah apa yang dia cari sepertinya ia tak boleh ikut campur.Â
"Tapi..." kalimatnya belum selesai langsung diputus.
"Ga usah bilang kebanyakan, mau aku tunjukin berapa duitku. Bisa bikin empuk ni kasur, tahu! ambil dan pake. Titik." seraya berucap Dinda bangkit dari duduknya berkacak pinggang menghadap Adera.Â
"Iya, iya..tapi nanti kalo aku ada duit gue ganti ya. Lo jangan terlalu baik ama gue. Ntar gue nglunjak gue rampok lo," jawab Adera pergi berlalu.Â