Tanah untuk itu harus diselamatkan. Sudah jelas bahwa kontribusi atas perusakan tanah atau bumi ini bukan melulu harus dibebankan kepada petani atau pembuat batu merah. Kontribusi utama justru datang dari para penikmatnya di luar kampung. Jika para konsumen terus bermasa bodoh terkait bagaimana tanah diperlakukan, maka petanipun tak akan benar-benar menyadari pentingnya menghargai tanah dengan perlakuan yang bijaksana. Tetapi pemodal seharusnya juga dapat berperan penting untuk perubahan cara kelola tanah ini. Pemodal adalah yang menjembatani antara produsen dan konsumen. Jika pemodal menyadari betul bagaimana ia bergantung kepada tanah dan petani maupun kepada para konsumen yang membeli produknya dalam jangka yang panjang, maka ia tentu tak akan berkontribusi menyakiti tanah.
Tentu saja saat ini sudah ada standar produksi yang ramah lingkungan. Tetapi standar itu masih acap diabaikan oleh pemodal, petani, dan tentu saja konsumen. Sayangnya, negara yang mengeluarkan aneka kebijakan ini belum dapat bersikap setegas-tegasnya untuk menegakkan aturan. Ada banyak penyakit birokrasi yang menggerogoti tubuh negara sehingga ia semakin melemah. Korupsi, Nepotisme, dan Kolusi masih menempati urutan teratas sebagai penyakit paling mematikan.
Kamu sendiri berdiri pada posisi sebagai petani, konsumen, pemodal, birokrat atau siapa? Anda bisa melakukan apa untuk menyelamatkan tanah-tanah yang kritis itu?
Maaf, mungkin ini tulisan dengan pertanyaan yang rumit di hari menjelang akhir tahun seperti ini![].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H