Mohon tunggu...
ishak salim
ishak salim Mohon Tunggu... -

Peneliti Sosial - Politik Active Society Institute, Makassar Alumni Institute of Social Studies, The Netherlands

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kakao, Cokelat dan Beberapa Pertanyaan yang Rumit

29 Desember 2015   00:01 Diperbarui: 4 April 2017   16:43 2536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun kemudian mereka pun tinggal bersama dan membangun relasi sosial dengan caranya masing-masing. Hidup berkelompok berdasarkan kesamaan etnis dan asal kampung tak bisa mereka hindari. Orang Bali yang beragama Hindu tinggal berkelompok dan terpisah dengan orang-orang Lombok maupun Sunda yang beragama Islam. Sementara orang-orang Bugis tinggal di manapun lahan itu dilepaskan. Harganya saat itu 100 ribu untuk satu sertifikat atau setara dengan 1 hektar sawah.

Rumah-rumah tumbuh membentuk permukiman. Bangunan demi bangunan untuk sekolah maupun untuk layanan kesehatan, kantor pos serta pasar juga mengiringi pertambahan jumlah penduduknya. Desa-desa yang dulunya adalah hutan belantara perlahan menjadi ramai oleh manusia.

Tak berselang lama, kurang lebih pertengahan atau akhir dekade tujuh puluhan, para petani sawah ini mendengar pamor tanaman kakao di Palopo. Cara perawatan tanaman yang mudah dengan hasil yang melimpah dan harga yang tinggi mulai menggoda penduduk desa ini untuk mengalihkan sawah-sawah mereka atau lahan-lahan mereka yang lain.

Saat itu, untuk bisa sampai ke kota Palopo orang-orang Wotu membutuhkan waktu lima hari. Jumlah jembatan untuk melewati sungai belum banyak dibangun dan air sungai kerap meluap jika hujan menderas. Orang-orang yang ke sana pulang ke desa membawa kabar baik. Mereka membawa bibit-bibit kakao beserta pengetahuan untuk memulai menanam dan mengelolanya.

Kabarnya, mereka belajar kepada petani-petani dari desa Noling, kabupaten Luwu. Orang-orang Noling tahu cara menanam dan merawat kakao karena mereka adalah eks combatan DI/TII. Konon, para laskar ini belajar dari petani-petani di Malaysia cara berkebun kakao. Awalnya, orang-orang Noling yang kebanyakan adalah laskar Kahar Mudzakkar panglima DI/TII Sulawesi Selatan dan Tenggara enggan menanamnya. Menanamnya bisa dicap oleh militer saat itu sebagai sisa-sisa pengikut DI/TII. Nanti setelah ada penyuluh pertanian pemerintah yang mengabarkan betapa baiknya menanam kakao mereka pun ramai-ramai menerapkan pengetahuan yang sebenarnya sudah lama mereka ketahui.

Mereka menuai keberhasilan. Saat itu tanah amat suburnya dan perlakuan atas tanaman amatlah organiknya. Panen yang melimpah membawa kekayaan atau kemakmuran.

Memasuki era 80-an, sebagian orang-orang Cendana Hijaupun akhirnya turut menanam kakao. Beberapa bahkan mengubah sawah mereka menjadi kebun kakao. Orang Bali, Sunda, dan Bugis adalah tiga etnis yang juga tertarik menanamnya. Tapi tidak bagi orang-orang Lombok. Mereka lebih tertarik memanfaatkan tanah mereka dengan mengolahnya menjadi tanah merah atau batu bata. Maklum, arus deras pembangunan di desa ini dan desa-desa sekitarnya membutuhkan berjuta-juta biji bata untuk mendirikan gedung pemerintah, kantor koramil, sekolah, rumah sakit, kantor pos dan sebagainya.

Orang-orang yang menghamba kepada pertumbuhan selalu butuh menambah batu bata dan orang-orang Lombok lihai mencampur adonan air dan tanah liat, mencetaknya dan kemudian membakarnya. Mereka menikmati hidup dari tanah, sebagaimana petani kakao menikmati hidup juga dari tanah. Tetapi banyak petani kakao tidak bisa menikmati aneka rasa cokelat atau menyeduh secangkir cokelat panas. Persis dengan beberapa pekerja bata merah yang justru rumahnya hanya berdinding papan atau anyaman bambu.

Belasan tahun kemudian, sejak era Habibie 1999 lewat bersamaan dengan harga kakao yang melangit, kakao mulai berpenyakitan, diserang berbagai jenis hama dan para petani mulai dan semakin keras menganiaya tanah-tanah tempatnya bergantung hidup. Orang-orang Bali, Bugis, dan Sunda terus menerus membeli berton-ton pupuk dan pestisida kimia untuk meracuni paru-paru kampung dan paru-parunya sendiri.

Sementara orang-orang Lombok mengoyak-oyak tubuh tanah, mulai dari yang paling subur di permukaan (top soil) sampai tulang belulang berwujud bebatuan yang tak mungkin lagi dicetak dan ditumbuhi tanaman. Tanah pun menganga terpanggang matahari dan disirami hujan atau dihujani sampah-sampah yang setiap hari mereka produksi dari rumah dan tubuh mereka.

Pemerintah daerahpun tak kalah seru dalam berkontribusi merusak tanah-tanahnya sendiri. Melalui program pupuk dan pestisida kimia bersubsidi para birokrat menghimpun petani dalam berbagai kelompok tani dan membiarkan mereka menanti limpahan racun tanah dan tanaman yang ia produksi atau beli dari berbagai korporasi di seantero dunia selama berpuluh tahun ini. Pemerintah tak memberi pengetahuan bahaya dari ketagihan meracuni tanah bagi masa depan pertanian rakyat. lagi pula, kabarnya, orang-orang berpendidikan tinggi di kampus-kampus ternama dan lembaga-lembaga penelitian internasional turut merekomendasikan aneka jenis racun itu. Mereka memang sudah begitu tinggi kedudukannya, bukan hanya pada satu menara gading tetapi sudah di beberapa menara gading.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun