[caption caption="ilustasi: Kompas.com | Admin"][/caption]Desa ini bernama Cendana Hijau. Konon, nama itu diambil dari nama kediaman Presiden Paling Tiran yang pernah memerintah Republik ini. Sang Presiden tinggal di jalan Cendana, Jakarta.
Dulu, kawasan itu adalah kawasan paling elit yang hanya bisa dimasuki orang-orang penting lingkaran inti sang Tuan Tiran. Orang-orang yang kelak berkontribusi memerosotkan negara ini setelah gagal memetik kemakmuran bagi rakyatnya di setiap tahap pembangunan yang digagasnya sendiri.
Desa Cendana Hijau tidak terletak di Jakarta atau di sekitar Jakarta dan juga bukan di daratan Pulau Jawa. Desa ini desa transmigran, berada nyaris tepat di tengah Pulau Sulawesi. Letaknya berkisar 400 kilometer dari kota Makassar. Ia berada di kecamatan Wotu kabupaten Luwu Timur. Desa ini bertentangga dengan belasan atau puluhan desa-desa transmigran lainnya.
Memasuki desa ini kita bisa merasakan keramahan Urang-urang Sunda atau ketegasan Orang-orang Sasak dari Lombok.
“Kampung dengan beragam warna,” kata Kepala Desa, Jajang Wijayana.
Ia anak dari seorang transmigran dari Ciamis. Ayahnya, Wijayana juga kepala desa beberapa periode yang lalu. Sebenarnya ia tidak yakin bisa menjadi kepala desa, karena mayoritas penduduk desa ini adalah Orang Lombok. Tapi saat itu, tahun 2014, ada dua tokoh Lombok mencalonkan diri. Kang Jajang diuntungkan dengan perpecahan suara penduduk mayoritas ini.
Di antara keragaman budaya itu, saat ini setelah 40 atau 50 tahun yang lalu, ada dua tipe umum orang desa Cendana Hijau dalam melakoni hidup sehari-harinya. Khususnya hidup yang terkait Manusia dengan Tanah. Manusia-manusia ini menggantungkan hidup kepada tanah, namun sebagian besar orang-orangnya justru beramai-ramai menggerogoti daya hidup tanah.
Mereka adalah para petani kakao dan para pembuat bata merah.
Konon, 45 tahun yang lalu, berbondong-bondong orang dari negeri sabrang datang ke pelosok-pelosok Sulawesi. Orang-orang Jawa dan Sunda, Orang-orang Lombok dan Bali, dan kemudian orang-orang Bugis datang dan ditempatkan di hutan-hutan yang dihuni pepohonan, babi hutan, monyet sampai ular piton yang paling gemuk. Pemerintah dan para pengurusnya menyebut kedatangan itu sebagai Proyek Transmigrasi.
Pada tahun 1975, orang-orang Sunda dan Lombok datang nyaris bersamaan. Beratus-beratus keluarga dalam beberapa gelombang datang dan mulai membersihkan lahan-lahan yang diberikan negara kepada mereka. Modal mereka adalah parang dan kampak untuk menebas pepohonan dan membersihkan semak belukar. Kemudian setelah pohon-pohon tumbang mereka menggergaji batang-batang bangkai pohon itu dan mulai mendirikan rumah satu persatu sehingga membentuk permukiman dan juga membuka sawah atau kebun.
Hidup di awal transmigrasi adalah hidup yang berat dan penuh derita. Mereka yang tak tahan rintangan hidup di negeri yang jauh dari tanah lahirnya menyerah dan menjual lahan mereka. Mereka memilih pulang setelah menukar lembaran sertifikat tanah dengan lembaran atau kepingan uang. Satu persatu sertifikat tanah itu jatuh ke tangan para pendatang lokal berduit yang mayoritas berasal dari Tanah Bugis.
Beberapa tahun kemudian mereka pun tinggal bersama dan membangun relasi sosial dengan caranya masing-masing. Hidup berkelompok berdasarkan kesamaan etnis dan asal kampung tak bisa mereka hindari. Orang Bali yang beragama Hindu tinggal berkelompok dan terpisah dengan orang-orang Lombok maupun Sunda yang beragama Islam. Sementara orang-orang Bugis tinggal di manapun lahan itu dilepaskan. Harganya saat itu 100 ribu untuk satu sertifikat atau setara dengan 1 hektar sawah.
Rumah-rumah tumbuh membentuk permukiman. Bangunan demi bangunan untuk sekolah maupun untuk layanan kesehatan, kantor pos serta pasar juga mengiringi pertambahan jumlah penduduknya. Desa-desa yang dulunya adalah hutan belantara perlahan menjadi ramai oleh manusia.
Tak berselang lama, kurang lebih pertengahan atau akhir dekade tujuh puluhan, para petani sawah ini mendengar pamor tanaman kakao di Palopo. Cara perawatan tanaman yang mudah dengan hasil yang melimpah dan harga yang tinggi mulai menggoda penduduk desa ini untuk mengalihkan sawah-sawah mereka atau lahan-lahan mereka yang lain.
Saat itu, untuk bisa sampai ke kota Palopo orang-orang Wotu membutuhkan waktu lima hari. Jumlah jembatan untuk melewati sungai belum banyak dibangun dan air sungai kerap meluap jika hujan menderas. Orang-orang yang ke sana pulang ke desa membawa kabar baik. Mereka membawa bibit-bibit kakao beserta pengetahuan untuk memulai menanam dan mengelolanya.
Kabarnya, mereka belajar kepada petani-petani dari desa Noling, kabupaten Luwu. Orang-orang Noling tahu cara menanam dan merawat kakao karena mereka adalah eks combatan DI/TII. Konon, para laskar ini belajar dari petani-petani di Malaysia cara berkebun kakao. Awalnya, orang-orang Noling yang kebanyakan adalah laskar Kahar Mudzakkar panglima DI/TII Sulawesi Selatan dan Tenggara enggan menanamnya. Menanamnya bisa dicap oleh militer saat itu sebagai sisa-sisa pengikut DI/TII. Nanti setelah ada penyuluh pertanian pemerintah yang mengabarkan betapa baiknya menanam kakao mereka pun ramai-ramai menerapkan pengetahuan yang sebenarnya sudah lama mereka ketahui.
Mereka menuai keberhasilan. Saat itu tanah amat suburnya dan perlakuan atas tanaman amatlah organiknya. Panen yang melimpah membawa kekayaan atau kemakmuran.
Memasuki era 80-an, sebagian orang-orang Cendana Hijaupun akhirnya turut menanam kakao. Beberapa bahkan mengubah sawah mereka menjadi kebun kakao. Orang Bali, Sunda, dan Bugis adalah tiga etnis yang juga tertarik menanamnya. Tapi tidak bagi orang-orang Lombok. Mereka lebih tertarik memanfaatkan tanah mereka dengan mengolahnya menjadi tanah merah atau batu bata. Maklum, arus deras pembangunan di desa ini dan desa-desa sekitarnya membutuhkan berjuta-juta biji bata untuk mendirikan gedung pemerintah, kantor koramil, sekolah, rumah sakit, kantor pos dan sebagainya.
Orang-orang yang menghamba kepada pertumbuhan selalu butuh menambah batu bata dan orang-orang Lombok lihai mencampur adonan air dan tanah liat, mencetaknya dan kemudian membakarnya. Mereka menikmati hidup dari tanah, sebagaimana petani kakao menikmati hidup juga dari tanah. Tetapi banyak petani kakao tidak bisa menikmati aneka rasa cokelat atau menyeduh secangkir cokelat panas. Persis dengan beberapa pekerja bata merah yang justru rumahnya hanya berdinding papan atau anyaman bambu.
Belasan tahun kemudian, sejak era Habibie 1999 lewat bersamaan dengan harga kakao yang melangit, kakao mulai berpenyakitan, diserang berbagai jenis hama dan para petani mulai dan semakin keras menganiaya tanah-tanah tempatnya bergantung hidup. Orang-orang Bali, Bugis, dan Sunda terus menerus membeli berton-ton pupuk dan pestisida kimia untuk meracuni paru-paru kampung dan paru-parunya sendiri.
Sementara orang-orang Lombok mengoyak-oyak tubuh tanah, mulai dari yang paling subur di permukaan (top soil) sampai tulang belulang berwujud bebatuan yang tak mungkin lagi dicetak dan ditumbuhi tanaman. Tanah pun menganga terpanggang matahari dan disirami hujan atau dihujani sampah-sampah yang setiap hari mereka produksi dari rumah dan tubuh mereka.
Pemerintah daerahpun tak kalah seru dalam berkontribusi merusak tanah-tanahnya sendiri. Melalui program pupuk dan pestisida kimia bersubsidi para birokrat menghimpun petani dalam berbagai kelompok tani dan membiarkan mereka menanti limpahan racun tanah dan tanaman yang ia produksi atau beli dari berbagai korporasi di seantero dunia selama berpuluh tahun ini. Pemerintah tak memberi pengetahuan bahaya dari ketagihan meracuni tanah bagi masa depan pertanian rakyat. lagi pula, kabarnya, orang-orang berpendidikan tinggi di kampus-kampus ternama dan lembaga-lembaga penelitian internasional turut merekomendasikan aneka jenis racun itu. Mereka memang sudah begitu tinggi kedudukannya, bukan hanya pada satu menara gading tetapi sudah di beberapa menara gading.
Orang-orang Lombok pembuat bata merah pun diuntungkan oleh pilihan negara ini membangun bangsa dengan mengandalkan bangunan-bangunan dan pagar-pagar batu yang membutuhkan barisan batu-bata yang dibuat dengan membakar berjuta pepohonan yang diambil dari hutan entah di mana. Orang-orang kampung selalu saja terjebak untuk larut menuruti nasihat atau ‘paksaan’ dari orang-orang yang bermimpi mengubah keadaan menjadi lebih baik di luar sana.
Tanahpun semakin kepayahan di tengah nafsu orang-orang yang mendambakan rumah dan istana yang mentereng, aneka penganan dari cokelat yang mewah dan penuh gengsi. Petani kakao dan pembuat batu merah mengikuti nafsu-nafsu itu dan lalu seperti tak mau berhenti meracuni dan membakar tanah. Jika itu tidak dilakukan, hampir mustahil orang-orang ini bisa bertahan hidup. Ilmu mereka sepertinya hanya mumpuni soal tanah dan tanaman berikut bagaimana meracuni dan membakarnya. Kemampuan perlakuan secara organik terhadap tanah dan tanaman nyaris menjadi mantra yang kehilangan kemujaraban.
Lebih miris lagi kalau petani mengucapkannya dengan bergumam atau bahkan sudah tak percaya sama sekali. Padahal jika petani mau dan ada pihak yang bersedia bersamanya untuk sekian waktu yang agak panjang, mereka sesungguhnya punya seperangkat pengetahuan dan dapat menguak permasalahan seputar tanah, tanaman dan rumah tangganya sampai merumuskan langkah-langkah untuk mengatasinya berdasarkan kemampuan yang ada pada diri mereka sendiri. Sayangnya, kekuatan ini berserakan dan menunggu ada pihak yang kiranya mampu merekatkannya satu persatu.
Di luar mereka, ada beratus-ratus orang sekampung bergantung kepada pola produksi yang mereka lakoni dan ribuan atau jutaan orang di luar kampung mereka. Kakao kering membutuhkan truk-truk pengangkut plus para sopir dan kernetnya, pabrik-pabrik pengolahan kakao dan para pegawai maupun buruhnya, pabrik-pabrik produsen cokelat berikut pegawai dan buruhnya, toko-toko minimarket sampai hypermarket yang menjajakan berbagai jenis rasa cokelat oleh berjuta penjaga tokonya, dan tak hanya itu juga beribu kapal dan pesawat pengangkut cokelat dan membawanya ke berbagai belahan dunia. Mereka saling menghidupi dalam rantai produksi dan pemasaran yang panjang ini.
Sepanjang orang-orang di Benua Eropa, Amerika dan Australia serta orang-orang kota di Republik ini masih ingin menikmati manisnya rasa cokelat tanpa kepedulian, maka jangan harap penyiksaan atas tanah berhenti di desa ini dan desa-desa sekitarnya. Beruntung Indonesia masih tak separah negara Pantai Gading dan beberapa negara di Afrika yang juga memproduksi buah kakao. Konon, untuk memacu produksi pohon kakao, anak-anak dari desa-desa miskin diperdagangkan dan hidup di tanah-tanah perkebunan yang jauh dari kampung mereka dalam situasi kerja paksa yang melelahkan.
Di Cendana Hijau, ada delapan kelompok tani. Setiap kelompok memiliki sedikitnya 20 sampai 40 petani. Total luas lahan untuk tanaman kakao mencapai 256,25 hektar. Itu baru kelompok tani kakao, belum termasuk kelompok tani sawah dan palawija, kelompok ternak, dan kelompok petambak. Menurut seorang petani kakao asal Bugis, bukan hanya petani kakao rakus akan pupuk kimia, para petambak bahkan jauh lebih rakus menabur pupuk kimiawi di tambak-tambak mereka.
Besaran pupuk yang mereka butuhkan dalam sekali tabur adalah 76,1 ton untuk Urea, 152,5 ton untuk pupuk NPK, berates ton untuk pupuk jenis lain seperti kapur dan berkilo-kilo liter cairan pestisida atau herbisida. Dalam setahun mereka setidaknya melakukannya paling sedikit tiga kali. Mereka memang juga membutuhkan pupuk organik yang ramah terhadap tanah, tetapi tingkat kepercayaan mereka terhadap sentuhan organik sudah jauh menurun.
“Memang tidak ada kalah kalau pupuk dari toko,” begitu kata seorang petani di sana.
Ada anekdot di kalangan petani kakao yang sudah menjadi pengetahuan umum.
“Kalau bukan Pundakmu yang keras, buah kakaomu yang keras!”
Maksudnya, jika engkau rajin memanggul tangki semprotan kimia untuk meracuni pepohonan kakao-mu sampai pundakmu mengeras karena terbiasa menahan beban tangki, maka kakaomu terhindar hama dan penyakit dan akan lembek dan berharga mahal. Namun, jika pundakmu tetap lembek akibat kurang memanggul tangki untuk penyemperotan, maka buah-buah kakaomulah yang mengeras dan tak berharga.
Orang-orang pun semakin pandai meracuni tanah dan mulai kehilangan rasa bersalah.
Di desa ini, para pembuat bata merah ada 60 keluarga keturunan Lombok. Setiap keluarga setidaknya memiliki 1 - 2 hektar lahan atau tepatnya tanah yang siap dicetak dan dibakar. Jika mereka membeli kebun dari warga lain, tak peduli kebun itu berisi pohon durian, kakao berproduksi, kelapa dalam yang menyegarkan, atau aneka pepohonan buah-buah mulai dari rambutan sampai durian, mereka akan membabatnya. Dan kayu-kayunya akan menjadi bahan bakar perdana bagi tanah-tanah yang sebelumnya menghidupi pepohonan. Betapa mirisnya pohon-pohon ini membakar rahim-rahimnya sendiri.
Orang-orang ini semakin pandai memoles dan membakar tanah dan mulai terbiasa dengan kubangan yang terus bertambah.
Dalam keadaan tanah yang terluka parah ini, maka apakah salah jika kemudian orang-orang muda desa akhirnya memilih pergi dari desa?
Di suatu sore beberapa bulan yang lalu, saya sengaja duduk di samping sebuah gerobak penjual pisang molen Mas Joko. Ya, ia dari Pulau Jawa, Kebumen. Ayahnya juga datang sebagai transmigran. Warungnya tepat menghadap ke alun-alun. Di lapangan ramai orang bermain bola. Tetapi nyaris seluruhnya adalah anak-anak berusia sekolah dasar atau SMP. Orang-orang muda sepertinya tidak berkumpul di sini.
Menurut Mas Joko, sebagian dari mereka bekerja di salah satu pabrik pengelola biji kakao di desa ini. Perusahaan ini termasuk raksasa produsen cokelat dunia. Para petani memasok biji kakao dan mereka mengolahnya menjadi bubuk cokelat di pabriknya yang lain. Tak semua bekeraja di pabrik. Rupanya, sebagiannya lagi sedang membibit karena bekerja membibit kakao saat ini sangat menguntungkan. Banyak kampung dari Sulawesi Barat, Tengah dan Tenggara memesan kepada para petani dan orang-orang tua menyuruh orang-orang muda yang mau membibit.
Bibit langsung [dengan biji] maupun bibit sambung [dengan teknik sambung pucuk]. Perpolibek bisa dihargai 3500 - 5000 rupiah. Pengetahuan menanam kakao meluas ke seantero desa dan tanah-tanah semakin terancam. Permintaan bibit kakao semakin bertambah. Truk-truk datang setiap sore mengangkut ribuan anakan pohon kakao.
Mungkinkah ini ada kaitannya dengan otak dagang Jusuf Kalla yang mulai mengalkulasi limpahan fulus di sektor cokelat ini? Tentu saja terkait. Di Sulawesi Tenggara, dalam waktu dekat akan beroperasi perusahaan produsen cokelat yang merupakan bagian dari kerajaan bisnis sang wakil presiden Republik ini.
Sebagian besar orang muda sepertinya memang tak tertarik lagi hidup dari tanah. Tetapi banyak dari mereka sesungguhnya adalah juga “penganiaya dengan seragam yang berbeda”. Mereka mungkin lebih tertarik menjadi tentara atau polisi, dokter atau bidan, detailer obat atau penagih hutang, politikus kotor atau koruptor yang sebenarnya juga diperintah oleh para pemodal besar. Lepas dari sekolah menengah atas, mereka akan berduyun-duyun mengantri peluang kerja di kota seperti orang-orang tua mereka di desa menanti datangnya berton-ton racun dan proyek-proyek infrastruktur.
Tanah-tanah sekarat dalam panasnya racun dan api.
Tanah bagaimanapun adalah modal bagi petani untuk menikmati keluasan makna hidupnya. Tapi tanah seharusnya bukan sekadar rahim untuk melahirkan segala kebutuhan manusia. Tanah juga adalah alat untuk membangun kesadaran manusia untuk melindungi kelangsungan hidup alam semesta.
Tanah untuk itu harus diselamatkan. Sudah jelas bahwa kontribusi atas perusakan tanah atau bumi ini bukan melulu harus dibebankan kepada petani atau pembuat batu merah. Kontribusi utama justru datang dari para penikmatnya di luar kampung. Jika para konsumen terus bermasa bodoh terkait bagaimana tanah diperlakukan, maka petanipun tak akan benar-benar menyadari pentingnya menghargai tanah dengan perlakuan yang bijaksana. Tetapi pemodal seharusnya juga dapat berperan penting untuk perubahan cara kelola tanah ini. Pemodal adalah yang menjembatani antara produsen dan konsumen. Jika pemodal menyadari betul bagaimana ia bergantung kepada tanah dan petani maupun kepada para konsumen yang membeli produknya dalam jangka yang panjang, maka ia tentu tak akan berkontribusi menyakiti tanah.
Tentu saja saat ini sudah ada standar produksi yang ramah lingkungan. Tetapi standar itu masih acap diabaikan oleh pemodal, petani, dan tentu saja konsumen. Sayangnya, negara yang mengeluarkan aneka kebijakan ini belum dapat bersikap setegas-tegasnya untuk menegakkan aturan. Ada banyak penyakit birokrasi yang menggerogoti tubuh negara sehingga ia semakin melemah. Korupsi, Nepotisme, dan Kolusi masih menempati urutan teratas sebagai penyakit paling mematikan.
Kamu sendiri berdiri pada posisi sebagai petani, konsumen, pemodal, birokrat atau siapa? Anda bisa melakukan apa untuk menyelamatkan tanah-tanah yang kritis itu?
Maaf, mungkin ini tulisan dengan pertanyaan yang rumit di hari menjelang akhir tahun seperti ini![].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H