Mohon tunggu...
ishak salim
ishak salim Mohon Tunggu... -

Peneliti Sosial - Politik Active Society Institute, Makassar Alumni Institute of Social Studies, The Netherlands

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kakao, Cokelat dan Beberapa Pertanyaan yang Rumit

29 Desember 2015   00:01 Diperbarui: 4 April 2017   16:43 2536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang-orang pun semakin pandai meracuni tanah dan mulai kehilangan rasa bersalah.

Di desa ini, para pembuat bata merah ada 60 keluarga keturunan Lombok. Setiap keluarga setidaknya memiliki 1 - 2 hektar lahan atau tepatnya tanah yang siap dicetak dan dibakar. Jika mereka membeli kebun dari warga lain, tak peduli kebun itu berisi pohon durian, kakao berproduksi, kelapa dalam yang menyegarkan, atau aneka pepohonan buah-buah mulai dari rambutan sampai durian, mereka akan membabatnya. Dan kayu-kayunya akan menjadi bahan bakar perdana bagi tanah-tanah yang sebelumnya menghidupi pepohonan. Betapa mirisnya pohon-pohon ini membakar rahim-rahimnya sendiri.

Orang-orang ini semakin pandai memoles dan membakar tanah dan mulai terbiasa dengan kubangan yang terus bertambah.

Dalam keadaan tanah yang terluka parah ini, maka apakah salah jika kemudian orang-orang muda desa akhirnya memilih pergi dari desa?

Di suatu sore beberapa bulan yang lalu, saya sengaja duduk di samping sebuah gerobak penjual pisang molen Mas Joko. Ya, ia dari Pulau Jawa, Kebumen. Ayahnya juga datang sebagai transmigran. Warungnya tepat menghadap ke alun-alun. Di lapangan ramai orang bermain bola. Tetapi nyaris seluruhnya adalah anak-anak berusia sekolah dasar atau SMP. Orang-orang muda sepertinya tidak berkumpul di sini.

Menurut Mas Joko, sebagian dari mereka bekerja di salah satu pabrik pengelola biji kakao di desa ini. Perusahaan ini termasuk raksasa produsen cokelat dunia. Para petani memasok biji kakao dan mereka mengolahnya menjadi bubuk cokelat di pabriknya yang lain. Tak semua bekeraja di pabrik. Rupanya, sebagiannya lagi sedang membibit karena bekerja membibit kakao saat ini sangat menguntungkan. Banyak kampung dari Sulawesi Barat, Tengah dan Tenggara memesan kepada para petani dan orang-orang tua menyuruh orang-orang muda yang mau membibit.

Bibit langsung [dengan biji] maupun bibit sambung [dengan teknik sambung pucuk]. Perpolibek bisa dihargai 3500 - 5000 rupiah. Pengetahuan menanam kakao meluas ke seantero desa dan tanah-tanah semakin terancam. Permintaan bibit kakao semakin bertambah. Truk-truk datang setiap sore mengangkut ribuan anakan pohon kakao.

Mungkinkah ini ada kaitannya dengan otak dagang Jusuf Kalla yang mulai mengalkulasi limpahan fulus di sektor cokelat ini? Tentu saja terkait. Di Sulawesi Tenggara, dalam waktu dekat akan beroperasi perusahaan produsen cokelat yang merupakan bagian dari kerajaan bisnis sang wakil presiden Republik ini.

Sebagian besar orang muda sepertinya memang tak tertarik lagi hidup dari tanah. Tetapi banyak dari mereka sesungguhnya adalah juga “penganiaya dengan seragam yang berbeda”. Mereka mungkin lebih tertarik menjadi tentara atau polisi, dokter atau bidan, detailer obat atau penagih hutang, politikus kotor atau koruptor yang sebenarnya juga diperintah oleh para pemodal besar. Lepas dari sekolah menengah atas, mereka akan berduyun-duyun mengantri peluang kerja di kota seperti orang-orang tua mereka di desa menanti datangnya berton-ton racun dan proyek-proyek infrastruktur.

Tanah-tanah sekarat dalam panasnya racun dan api.

Tanah bagaimanapun adalah modal bagi petani untuk menikmati keluasan makna hidupnya. Tapi tanah seharusnya bukan sekadar rahim untuk melahirkan segala kebutuhan manusia. Tanah juga adalah alat untuk membangun kesadaran manusia untuk melindungi kelangsungan hidup alam semesta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun