Hey there,Its been awhile, or I don’t know exactly when was the last time we blow each others mind. Its good to write again and I wish you could feel me out there, in another world and in another life. You know I try too hard then I give up too easily in the past. Sorry for not realized your attention. Here, today and tomorrow I will always remember our time. And this fiction dedicated to you.
Never thought you’re gone so fast.
Prak!
06.00 a.m terpampang di ponsel dan aku hanya bisa membantingnya di tempat tidur. Meskipun aku tahu sudah sebulan lebih seharusnya alarm di smartphone itu harus ku ganti jamnya, tapi aku tidak pernah menggantinya. Kini aku tidak perlu bangun pagi. Kini aku tidak perlu bergegas mengejar kuliah pagi, dan tak perlu menggerutu dini hari. Aku adalah mahasiswa semester akhir yang telah menyelesaikan semua mata kuliahku tanpa cela. Tidak ada satu mata kuliahpun yang berlabel nilai C. Ya, semua dosen pikir aku cukup pintar, padahal aku hanya cukup mengikuti rule setiap dosen. Dan sekarang, final paper sudah ku anggurin lebih dari sebulan. “Analisa semiotika terhadap komunikasi antar pribadi ayah dan anak dalam psikologi keluarga” Kata-kata itu adalah judul final paperku yang aku sendiri tidak tahu mengapa penelitianku berkiblat ke komunikasi antar pribadi. Ntah apa alasannya, aku juga tidak paham. Kadang, kau pikir kau mengerti dirimu sendiri, padahal di beberapa point kau malah sedang mencoba mengerti dirimu dan bahkan ketika kau mulai mengerti, kau ragu tentang siapa sebenarnya dirimu. Mungkin itu yang sedang menimpaku. Aku pun belum mengerti kenapa karya ilmiah yang menjadi kunci gelar sarjanaku sudah saban hari terbengkalai, sama seperti sepatu converseku yang tak kunjung jua dicuci. Bedanya sepatu itu sudah bertahun-tahun tak dicuci, tapi aku tak berharap sang skripsi mengijak usia tahunan. Bagiku itu ironi.
***
Aku Maxwel, orang-orang memanggilku Max dan nama Max cukup commonly used utk orang-orang yang bernama Maxwel, namun sudahlah. Itu tak mengapa, asal tidak dipanggil Paul, seperti yang dilakukan ibuku. Begonya, karena dia berharap ada seseorang seperti Paul McCartney, personil band kesukaannya The Beatles dikeluarga kami. Ya, karena hanya ada aku laki-laki di rumah.
I had single parent. And its mom. Namun, dia telah menghadap sang Pencipta setahun lalu. Sudahlah, aku tidak mau mengungkapkan detailnya mengapa karena itu cukup menyayat jiwa dan seluruh logika serta imajinasiku. Aku selalu diajarkan untuk mandiri sejak kecil oleh Mom. Sejak kepergian Mom, aku mencoba kerja part time sebagai photographer lepas untuk beberapa media online. Hasilnya cukup untuk membiayai sewa kamarku. Aku tidak tinggal di bersama keluarga sejak kuliah. Aku mendapat beasiswa di Princeton sedangkan Mom tinggal di Loiseland. Butuh 3 jam lewat jalur udara.
*****
Malam ini aku akan perform untuk pertama kali di Victoria Café & Gallery. Sejak sepinya orderan photo, aku berusaha mencari pekerjaan lain sambil memikirkan nasib final paperku yang sama sekali enggan ku sentuh. Lucky me, teman kampusku Ricky merekomendasikanku pada sang owner café yang tak lain adalah ayah Ricky untuk live acustic setiap Jumat sampai Sabtu. Walaupun harus perform dan menghibur pengunjung sampai tengah malam, Harry, begitu aku menyapa ayah Ricky, telah membuat kesepakatan soal fee dan nilainya sedikit lebih banyak ketimbang sebagai photographer lepas.
Aku cukup mahir memainkan gitar, dan aku tahu Ricky juga. Kadang aku mengajak dia untuk berduet. Di sini selain perform aku harus bersedia menghibur dengan mencoba menyanyikan lagu permintaan pelanggan atau bahkan bernyanyi bersama mereka.It was great to sing along with different kind of people every nite.