Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dilema Calon Pengantin Batak Kala Pandemi Covid-19

21 Agustus 2020   08:34 Diperbarui: 22 Agustus 2020   05:44 2418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Pesta Pernikahan Adat Batak | Dokumentasi pribadi (18.8.18)

Tiga hal yang pertama kali terlintas dalam pikiran saya sebagai boru Batak ketika mendengar 'Pesta Pernikahan Adat Batak' adalah, meriah, lama, mahal.

Memang sih, namanya pesta pernikahan -- mau adat atau nuansa apapun - pastilah suasananya meriah. Dan mahal atau tidaknya, ya relatif karena bisa diatur keperluannya (atau gengsinya) sedemikian rupa, supaya sesuai budget yang disiapkan. 

Tapi soal waktu, pesta pernikahan adat Batak sudah pasti memakan waktu yang lama. Bila dihitung sejak pemberkatan hingga selesai acara adat, kurang lebih memakan waktu sekitar 10 jam. 

Bagi mempelai dan keluarganya, tentu lebih lama lagi karena persiapan mereka bisa dimulai sejak subuh. Mulai dari merias pengantin, hingga mempersiapkan acara Marsibuha Buhai.

Secara singkat, Marsibuha Buhai merupakan acara bagi kedua keluarga mempelai, yang dimulai dengan penjemputan mempelai wanita di rumahnya, penyerahan Dengke (hidangan ikan arsik) lalu dilanjutkan dengan acara makan (sarapan) bersama sambil memohon berkat supaya acara pada hari itu dapat berjalan dengan lancar.

Setelah Marsibuha Buhai, maka acara dilanjutkan dengan pemberkatan secara agama. Biasanya acara pemberkatan ini berlangsung kurang lebih satu hingga satu setengah jam saja, supaya waktu pelaksanaan acara adat bisa mencukupi.

Lain lagi keriuhan yang terjadi di gedung pesta. Sebelum memasuki gedung, para tamu adat umumnya berkumpul dan berkerumun di depan pintu masuk sambil mempersiapkan sejumlah Dengke yang diletakkan di nampan besar dan Tandok berwarna-warni berisi beras sebagai hantaran. 

Ketika protokol memanggil kelompok marga tertentu sesuai urutan, maka masuklah rombongan tersebut sambil membawa Dengke dan manghutti Tandok (menjunjung di atas kepala). 

Momen masuknya barisan rombongan tamu yang disambut oleh penari adat Batak dengan diiringi kemeriahan alat musik Batak ini, selalu menjadi momen favorit saya di acara pesta pernikahan adat Batak.

Keluarga mempelai menyambut rombongan Tulang | Dokumentasi pribadi (18.8.18)
Keluarga mempelai menyambut rombongan Tulang | Dokumentasi pribadi (18.8.18)
Setelah seluruh rombongan tamu yang di depan tadi berada di dalam gedung, barulah kedua mempelai beserta keluarga masuk ke dalam gedung, yang tentunya diiringi penari Batak dan kelompok parmusik tadi.

Singkat cerita, usai santap siang, barulah acara adat dilaksanakan satu per satu hingga acara Mangulosi (pemberian ulos dari para tamu kepada kedua mempelai). 

Keseluruhan acara adat ini bisa berlangsung lama tergantung beberapa hal. Misalnya, banyaknya tamu yang hadir, dan berapa banyak dan berapa lama orang yang mandokhatta (memberikan nasihat atau petuah).

Keramaian, kemeriahan dan lamanya waktu yang pasti akan kita temui dalam acara pesta pernikahan adat Batak ini, pastinya tidak boleh muncul di saat pandemi seperti sekarang ini, bukan? Pertanyaannya, kira-kira bagaimana pelaksanaan seluruh rangkaian acara pernikahan adat Batak ini ketika (terpaksa) digelar saat masa pandemi Covid-19 seperti sekarang?

Dilema Para Vendor Pernikahan

Sudah merupakan kondisi yang nyata bahwa beberapa kelompok bisnis yang paling terdampak akibat adanya pandemi adalah pariwisata (hotel dan tour-travel) dan MICE (meeting, incentive, conference, exhibition). 

Maka sudah dipastikan pelaku usaha di bidang pesta pernikahan juga terdampak. Mulai dari transportasi, wedding organizer, katering, dekorasi, kelompok musik, hampers & suvenir, penjahit, make-up artist, percetakan undangan dan lainnya.

Para pelaku usaha ini mulai was-was, mengetatkan ikat pinggang, hingga memutar otak bagaimana supaya bisnisnya tetap bisa bertahan hingga pandemi berakhir. Pasalnya banyak klien yang akhirnya menunda hingga membatalkan acara pernikahan karena himbauan Social Distancing dari pemerintah. Padahal para vendor pastinya sudah mulai memesan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk hajatan klien-nya tersebut.

Tak sedikit pengusaha yang mau tak mau harus merumahkan karyawannya atau ganti haluan bisnis untuk sementara waktu, demi bisa makan.

Bahkan usai PSBB dilonggarkan pun, mereka masih terseok-seok harus menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 dalam operasional usahanya. Misal pengusaha penyewaan gedung pesta yang harus mengurangi kapasitas ruangannya hingga 50%, bahkan lebih. 

Padahal sebuah gedung pesta adat batak mampu menampung ratusan hingga ribuan orang. Jika kapasitas ruangan dibatasi, maka pengusaha katering juga berkurang orderannya, dan seterusnya. Tapi yah, daripada tidak ada pendapatan sama sekali kan?

Dilema Para Calon Pengantin Batak

FYI, pesta pernikahan adat Batak di Jakarta umumnya diadakan hari Sabtu karena hari libur, sehingga para tamu tidak merasa keberatan harus mengikuti acara yang memakan waktu hampir seharian itu. Dan dalam satu tahun, kurang lebih hanya ada 52 hari Sabtu. 

Jadi terbayang kan bagaimana susahnya dan ketatnya para calon pengantin Batak itu dalam bersaing memperebutkan gedung pernikahan yang mampu menampung banyak orang dan menyediakan fasilitas pesta adat Batak? 

Saking susahnya mem-booking gedung pesta, maka tidak heran persiapan pesta pernikahan adat Batak umumnya paling minimum satu tahun sebelum hari H. Belum lagi harus booking penjahit, kelompok musik, katering, make-up artist, dokumentasi dan raja parhatta (semacam MC adat).

Sejak pandemi merebak dan himbauan physical dan social distancing diterapkan, para pasangan yang telah merencanakan pesta pernikahan sejak jauh hari pun mulai kalang kabut. Pasalnya mereka pastilah sudah memesan dan membayarkan down payment (DP) kepada vendor-vendor pernikahan untuk di tanggal pilihan mereka.

Kini setelah PSBB dilonggarkan dan kegiatan yang melibatkan banyak orang mulai diperbolehkan digelar kembali, penyelenggara acara tetap harus menaati protokol kesehatan  sedemikian rupa. Mereka pun terjebak di antara dua pilihan. 

Tetap lanjut tapi risikonya acara harus di-setting ulang dengan penyesuaian disana-sini sehingga mungkin suasananya akan terasa kurang afdol. Atau menunda acara dengan risiko kehilangan uang DP dan memulai persiapan dari awal lagi setelah pandemi selesai supaya bisa lebih bebas.  Pastinya, ada kemungkinan juga biaya akan semakin besar di kemudian hari.

Simulasi pesta adat pernikahan Batak saat pandemi | Sumber: gobekasi.id
Simulasi pesta adat pernikahan Batak saat pandemi | Sumber: gobekasi.id
Dua bulan terakhir ini, ada dua kerabat saya yang menggelar pesta pernikahan adat Batak. Awalnya saya berpikir, mengapa mereka tidak menunda pesta adat hingga setelah pandemi berakhir? Tapi apapun alasannya, tentu keputusan tersebut telah diambil atas dasar kesepakatan dan perundingan keluarga dari kedua belah pihak.

Demi memenuhi protokol kesehatan, gedung pesta harus dikurangi kapasitasnya hingga 50%. Dengan demikian, tamu yang diundang pun dibatasi sehingga kelompok marga yang diundang harus benar-benar menyeleksi siapa saja yang harus datang. Apalagi jika mereka memiliki peranan penting dalam acara adat.

Waktu pelaksanaan adat pun dibatasi. Sebagai contoh, salah satu gedung pesta menetapkan waktu acara dimulai pukul 9 pagi dan selesai pukul 2 siang. Tidak boleh lebih atau pemilik gedung bisa terkena sanksi. Tentu lumayan sulit melaksanakan acara adat yang biasanya memakan waktu lebih dari enam jam, kini harus dilaksanakan secepat mungkin.

Selain itu tidak ada lagi ada acara penyambutan tamu yang membawa Dengke dan Tandok, karena Dengke dan Tandok tersebut sudah lebih dulu ditata di satu tempat, dan penyambutan hanya dilakukan oleh perwakilan.

Dan yang namanya pesta adat Batak, belumlah lengkap kemeriahannya jika tidak ada Manortor dan saweran. Biasanya saat acara adat berlangsung, di sudut ruangan tertentu ada kelompok tamu yang asyik berjoget sambil diiringi suara musik Gondang yang membahana, tertawa-tawa sambil menunggu kerabat yang membawa segepok uang untuk disawer. Momen ini lumayan membuat suasana pesta selalu meriah. Tapi sayangnya, bisa jadi sekarang tidak nampak lagi kemeriahan itu.

Dokumentasi pribadi (18.8.18)
Dokumentasi pribadi (18.8.18)
Makanan dan minuman yang biasanya dihidangkan secara prasmanan, kini juga telah berubah menjadi nasi kotak. Padahal para tamu biasanya bebas mengambil makanan yang sudah terhidang di meja. Belum lagi snack berupa kue, lapet, kacang, kopi, teh, dan minuman ringan lainnya yang dihidangkan saat menjelang sore. 

Entah apakah Inang-Inang itu masih bisa membungkus daging, ikan arsik dan Lapet untuk dibawa pulang. Kalian yang sering mengikuti pesta adat Batak, pasti paham apa yang saya maksud? Hehe..

Dan yang paling miris adalah acara pemberian Ulos (Mangulosi). Kalau biasanya Mangulosi dilakukan dengan menyelimuti kedua mempelai dengan Ulos, kini Ulos hanya diberikan begitu saja dalam kondisi terlipat. 

Tentunya tak boleh pula ada acara berpelukan dan cipika-cipiki. Entah bagaimana pelaksanaannya ketika pemberian Ulos Hela (Ulos yang diberikan orangtua mempelai wanita), padahal biasanya momen ini adalah momen yang mengharukan.

Tamu yang diberi kesempatan Mandokhatta (berbicara) pun dibatasi jumlah dan waktunya. Padahal, di saat Mangulosi inilah para tamu memuaskan diri untuk memberikan nasihat berumah tangga kepada kedua mempelai.

Acara Mangulosi (Ulos Hela) | Dokumentasi pribadi (18.8.18)
Acara Mangulosi (Ulos Hela) | Dokumentasi pribadi (18.8.18)
Sisi Positif Pesta di Tengah Pandemi

Terlepas dari pertimbangan khusus masing-masing pasangan dan keluarga, saya termasuk orang yang beranggapan lebih baik menunda pesta adat. Pesta adat loh ya, bukan pemberkatan. 

Bagi saya walaupun pesta adat Batak ini kadang terkesan bertele-tele saking lamanya (kalau orang bilang, kebanyakan ngomong), menurut saya ada beberapa prosesi yang kalau disesuaikan dengan protokol kesehatan justru penghayatannya akan terasa kurang. Salah satu contohnya ya prosesi Mangulosi tadi.

Itulah mengapa, menurut saya lebih baik menunda pesta adat karena pada dasarnya pesta adat merupakan resepsi / syukuran. Yang penting sah dulu kan? Banyak juga loh, pasangan Batak yang baru menggelar pesta adat setelah memiliki anak karena dulunya terkendala biaya atau karena salah satunya belum diberi marga / boru. Jadi tidak ada bedanya dengan menunda pesta adat karena pandemi.

Tapi kalau dipikir-pikir, (terpaksa) melaksanakan pesta adat di masa pandemi seperti sekarang, juga ada sisi positifnya sih. Misalnya:

Biaya Berkurang

Ini dengan catatan kalau vendor-vendornya bisa dinegosiasi untuk mengurangi biaya loh ya. Waktu sewa gedung yang dipersingkat harusnya bisa mengurangi biaya sewa gedung, parmusik dan dokumentasi. Pengurangan kapasitas gedung harusnya bisa mengurangi jumlah katering dan tanda mata.

Acara tidak bertele-tele

Pembatasan waktu pemakaian gedung pastinya akan diawasi ketat karena pemilik / pengelola gedung tentunya tidak ingin dikenakan sanksi. Ini ada baiknya juga karena acara adat bisa dipadatkan sedemikian rupa dan membuat tamu yang tadinya doyan berpidato lama-lama, mau tak mau harus sadar waktu dan berbicara seperlunya. Jadi tidak ada lagi acara bayar tambahan waktu sewa gedung karena acara yang molor.

Jadi kalau menurut kamu nih, mengadakan pesta pernikahan adat Batak di kala pandemi seperti ini yay or nay?

Cherio!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun