Air mata itu tercurah dengan derasnya, membanjiri hatinya yang gersang. Dieratkan lagi genggaman foto di tangannya, ia mengatupkan mata, merentangkan tanganya, membiarkan tiupan angin membawa dirinya, senyum getirnya kembali tersungging seraya berucap “ selamat tinggal Mak, inilah keputusan yang tiada akan pernah ku sesali”
Tiupan angin kencang dengan segera menghempaskan tubuh Muti’ah ke dasar jurang yang curam, dasar yang tak pernah terjamah tangan manusia, tiada yang pernah tahu makhluk apa saja yang tinggal di dasar itu.
Muti’ah benar-benar pergi. Pergi membawa kerinduan yang akan ia tumpahkan. Pergi membawa kasih yang ia pertahankan. Tak perduli apa yang dikatakan orang, baginya mencintai Mada adalah kepastian, entah bagaimanapun cara ia mencintai Mada, yang pasti hatinya benar-benar telah terbelenggu kepada pria tersebut.
Malam itu memang menjadi akhir elegi kasih mereka. Namun ia adalah awal dimana kebahagiaan mulai mereka rajut, dimana tak akan ada lagi yang bisa memisahkannya, tak terkecuali apapun itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H