Ia menangis, batinnya tak kuat, rindu yang tertahan ingin segera ia tumpah ruahkan. Namun apalah daya, yang dirindui tak jua datang, bahkan tak akan pernah datang. Alam mereka memang telah berbeda. Ya, benar-benar telah berbeda. Ia tersungkur sembari menagis, menegadah lagi ke arah langit, tersungkur lagi menahan tangis. Ia terlihat sangat kacau.
***
“ Apa yang dia lakukan, bersujud kepada siapakah dia?” ucap Arif, warga yang heran melihat tingkah Muti’ah.
“ seperti itulah yang aku lihat semalam, benar kan kata ku. Dia adalah pemuja aura hitam!!!”
Melihat gelagat Muti’ah layaknya seorang yang sedang melakukan pemujaan, mereka menganggap bahwa dia adalah pengikut Syetan.
Sementara itu, Mak Na yang mendengar bahwa Muti’ah sedang dikerumuni oleh banyak warga di tepian jurang tampak sangat khawatir. Tergopoh-gopoh menuju ke tempat itu, kakinya yang sudah rentah tak memungkinkan lagi untuknya berlari, namun ia harus mengerahkan seluruh kekuatannya untuk bisa menggerakkan kakinya secepat mungkin untuk bisa menyelamatkan cucunya dari kerumunan warga.
***
Muti’ah masih menikmati tangisan rindunya, ia berharap dengan tangisannya, mungkin Mada bisa melihatnya dari atas sana, dan sudi untuk menghapus kerinduannya. Entah dengan cara apapun itu, ia tak begitu perduli yang ia inginkan hanya bertemu dengannya saja, tak ada yang lain.
Di sela tangisnya, ia mulai merasakan sesuatu yang aneh. Terdengar banyak derap langkah, terasa semakin mendekat dan mendekatinya, ia tak pernah sadar bahwa sebelumnya banyak warga yang mengikuti dan memperhatikan gerak-geriknya.
“ Muti’ah, Apa yang kau lakukan malam-malam begini!!!”
“ Apa lagi yang akan ia lakukan di tempat seperti ini kalau bukan melakukan pemujaan!!”