Muti’ah kesal dengan Mak Na, suara tegurannya tiap ia akan memadu rindu dengan bintangnya menghancurkan kesyahduan pertemuan mereka.
Tanpa sepengetahuan Mak Na, ia pergi jauh keluar rumah menuju alam bebas, tepat dibawah rindangnya pohon besar dekat dengan tepian jurang yang curam, ia menempatkan diri, menghabiskan malam menyambut datangnya kekasih. Tak ada lagi suara usil Mak Na disana, yang terdengar hanyalah suara-suara binatang malam. Syahdu, sepi.
Kiranya Mak Na telah mengetahui kelakuan cucu satu-satunya itu. Berkali-kali Mak Na menasihatinya agar menghentikan kelakuan tersebut. Mak Na pun kian khawatir, tingkah laku Muti’ah semakin hari jauh dari kewarasan. Nasihat yang selalu keluar dari tutur bijaknya, tak sekalipun ia pernah menghiraukannya, karena disanalah Muti’ah menemukan hidup barunya. Di bawah naungan pohon besar itu, cukup dengan ia berdiam diri, mendongakkan kepalanya kearah langit sambil cekikikan sesuka hatinya, seolah berkomunikasi dengan bintang hatinya. Sungguh, Ia telah benar-benar mengira bintang disana adalah jelmaan dari Mada, kang mas yang begitu dicintainya.
***
“sudahah nak, hentikan tingkah mu ini, lama-lama orang akan menganggap mu tak waras”
“ biar orang mengangapku tak waras, ini hidup ku Mak, yang pentin aku bisa bertemu lagi dengan Mas Mada ”
Mak Na membelalakkan mata, menepuk-nepuk pipinya, tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
“ Nak, ingat agamamu, jika kau begini terus, bisa-bisa kau menyalahi agamamu Nak, terlalu dalam kau memuja bintang itu, menghayal kalau-kalau dia adalah Mada”
“ Bintang itu memang Mada Mak, Kau sendiri yang mengatakan itu pada ku”
Mak Na kembali tercengang. menerka-nerka kapan ia mengajari Muti;ah perilaku seperti ini. Beberapa tahun silam, ya, Mak Na kini mengingtnya. Bagaimana mungkin Muti’ah masih mengingat dongeng lama pelipur rasa rindu akan orang tuanya dahulu. Terlebih Muti’ah mempercayai hal itu, hingga terlanjur parah seperti sekarang ini.
***