Wanita itu berdiri di sana, di relung sunyi tak bertepi. Menatap lekat rimbunan malam yang pekat, bercumbu mesra desir angin dengan senyum getir. Entah sudah berapa waktu yang sudah ia habiskan disana. Menatap langit, nanar, matanya tertuju pada bintang yang berkedip di langit sana, pikirannya kosong, menerawang jauh entah kemana. Tampak dari raut wajahnya mengisyaratkan kegelisahan, jiwanya tersandera sajak-sajak luka. Wanita itu masih tertegun, mengenang percikan luka dalam palung hatinya.
Matanya memerah, Nampak buliran putih dan bening tumpah ruah dari pelipis matanya. “kehidupan kini hanya memberiku luka, tiada lagi kedamaian apalagi kebahagiaan.” Ucapnya tertatih. Ia merutuki nasib dirinya, hancur sudah angan-anganya untuk melangsungkan pernikahan dengan Mada, sang kekasih tercinta. Pernikahan yang sudah dirancang sedemikian apiknya terpaksa gagal lantaran sang kekasih mengalami kecelakaan dan merenggut nyawa tepat ketika ia akan berangkat menuju pelaminan.
Muti’ah bersandar pada bamboo penyangga rumah yang sudah mulai lapuk, teringat kata Mak Na beberapa tahun silam, “ orang yang meninggal dunia tak selamanya meninggalkan kita ia akan menjelma menjadi sebuah bintang dan selalu menemani kita dengan sinar hangatnya. Pupil mataya sibuk mencari manakah bintang yang paling terang sinarnya. sebab kata Mak Na, Bintang yang paling terang sinarnya ialah bintang yang baru menjadi sebuah bintang. Yah, bintang baru reinkarnasi dari manusia yang baru saja meninggal. Muti’ah menemukannya, Bintang itu terasa semakin mendekat, dekat dan semakin mendekati dirinya. Ia yakin bintang itu adalah jelmaan dari sang terkasih. Muti’ah tersenyum, ternyata kekasihnya masih setia pada dirinya meski sudah berada dalam alam yang berbeda. Hati Muti’ah terasa damai, ia menemukan kenyamanan ketika memandang bintang itu.
“Kau tak pergi mas, aku tahu itu”
***
Muti’ah menyukai rutinitas barunya, kala matahari telah kembali ke peraduannya, ia akan bergegas keluar menuju pelataran rumahnya sembari menunggu kehadiran kang mas yang sangat dicintainya. Malang nian nasibnya untuk malam ini, langit menggelap, mendung dengan begitu pekatnya mengahalangi pertemuannya dengan sang terkasih. Ia marah, tuhan sudah memisahkan alam mereka, namun mengapa ketika mereka sekarang telah bertemu lagi, tuhan seakan mencoba memisahkan mereka lagi.
Rutinitas tersebut telah mengubah jati diri Muti’ah. Ia tak tampak seperti Muti’ah yang dahulu. Tak seperti dahulu yang sangat suka dengan kegiatan sosial, kini seakan dirinya menutup diri dari ruang sosial. Tiap hari ia tak akan keluar dari rumahnya terkecuali ketika malam telah datang. Ia akan duduk termangu di pelataran rumahnya, menatap nanar langit malam yang bertaburan bintang, bernostalgia dengan masa-masa indahnya bersama Mada, kekasihnya yang nyaris menjadi imam hidupnya.
“ Nduk, masuklah kau, hari sudah gelap”
“ Tak Mak, aku tak mau. Aku disini saja, nak jumpa Mas Mada”
“ Apalah yang kau harapkan lagi, dia sudah meninggalkan dunia kita, tak mungkin bisa kau bertemu dengannya”
“ sudahlah Mak, Biarkan aku menikmati pertemuan ku dengan kang mas”