Mohon tunggu...
Irhamna Fauzulazhim R
Irhamna Fauzulazhim R Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Universitas Siliwangi

Pemburu Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

5 Faktor Kejatuhan Peradaban Jawa (Majapahit dan Padjajaran) menurut Teori Keruntuhan Jared Diamond

8 April 2022   15:50 Diperbarui: 8 April 2022   16:04 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jared Diamond / Sumber: worldwildlife.org

Sebuah peradaban, pasti akan menghadapi kehancuran atau keruntuhan. Kehancuran yang ada pada sebuah peradaban, sebelumnya akan ditandai oleh beberapa faktor-faktor, sebelum kehancuran itu benar-benar terjadi pada suatu peradaban. 

Manusia tidak bisa mencegah atau menghentikan terjadinya kehancuran suatu bangsa atau peradaban, manusia hanya bisa memperlambat dan menutup sementara faktor-faktor penyebab-nya. Sejatinya kehancuran peradaban, merupakan hukum alam yang tidak bisa lawan oleh manusia.

Menurut Jared Diamond, seorang ilmuan dan pengarang buku ilmiah (Collapse)  asal Amerika, mengatakan ada 5 point penyebab keruntuhan suatu bangsa. Kelima faktor tersebut saling berhubungan satu sama lainnya. Kelima faktor itu adalah:

1. Pengaruh Manusia Terhadap Alam

Alam merupakan salah satu faktor penunjang berdirinya sebuah peradaban. Manusia yang dibekali akal fikiran, mencoba dengan berbagai macam cara untuk hidup dan beradaptasi dengan lingkungan tempat mereka tinggal. Oleh manusia, alam dijadikan sumber dari kehidupan mereka. Dari alam, manusia akan mendapatkan makanan, pakaian, memproduksi alat senjata dari besi dan perunggu, dan juga membangun rumah untuk tinggal.

Jika point yang dikemukakan oleh Jared Diamond, disambungkan dengan keruntuhan Majapahit, akan adanya sebuah kecocokan. Majapahit merupakan sebuah kerajaan dengan tipe agraris semi komersil, dengan ibu kota kerajaan terletak di Trowulan, Mojokerto. 

Kondisi alam di sekitar kerajaan memiliki tanah yang cukup subur, yang memungkinkan Majapahit memperoleh hasil alam yang melimpah. Negarakertagama pupuh 88, menyebutkan bahwa Raja Wilwatika (Majapahit) memerintahkan para pemimpin desa untuk merawat sawah dan ladang, dan dikerjakan secara baik.

 Dalam Kakawin Siwatrikalpa baid ke-6, penyair menggambarkan secara detail sawah-sawah yang terhampar di Majapahit. Di sebelah barat terdapat bukit yang dipunggungnya, penuh dengan sawah-sawah. Halaman-halaman saling berdekatan, rapi berjajar, pohon-pohon nyiur semuanya berselimut kabut (Andrisijanti, 2014).

Kedua keterangan kedua kakawih tersebut didukung, oleh catatan Ma Huan, seorang China Muslim yang ikut bersama armada Cheng Ho, memberitakan bahwa Majapahit merupakan kerajaan penghasil beras yang dapat dipanen dua kali dalam setahun. Selain itu buah pisang, semangka, manggis, dan kelapa menjadi komuditas alam yang dihasilkan oleh Majapahit (Sen, 2010). Ma Huan sendiri datang ke Majapahit sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1413 Masehi dan 1431 Masehi. Dari kedatangan ini, Ma Huan tahu betul kondisi alam Majapahit.

Kondisi tanah yang subur, sehingga menghasilkan komuditas alam yang melimpah. Membuka peluang untuk Majapahit untuk terlibat dalam perdagangan. Hasil bumi dari sekitar kerajaan diangkut ke berbagai tempat untuk diperdagangkan, begitupun sebaliknya. Mengingat letak geografis Majapahit berada jauh dari laut, maka distribusi barang perdagangan dilakukan dengan cara pelayaran mengikuti aliran sungai Brantas, yang bermuara di Laut Jawa. 

Dengan adanya aktifitas perdagangan di pinggiran sungai, maka masyarakat Majapahit membangun pelabuhan-pelabuhan yang digunakan sebagai tempat transaksi barang dagangan. Menurut Prasasti Canggu yang ditulis pada tahun 1280 Saka (1358 M), di Majapahit terdapat 34 pelabuhan di sepanjang Sungai Brantas. Pemanfaatan aliran sungai sebagai jalur perdagangan inilah yang membuat perekonomian Majapahit menjadi maju (Sanjoyo, 2019).

Ketika perang saudara meletus di tubuh internal kerajaan Majapahit, sepeninggal Raja Hayam Wuruk. Banyak ladang dan sawah milik warga, ditinggalkannya karena kebanyakan dari penduduk yang melarikan diri dari kejamnya pertempuran. 

Selain itu, akibat dari perang saudara yang melanda Majapahit, mengakibatkan pelabuhan-pelabuhan sepi, karena para pedagang takut menjadi korban ketika perang meletus. Hal ini menyebabkan, banyaknya dari masyarakat yang mengalami kelaparan, wabah penyakit, kelaparan, dan kematian masal. Lontar Calon Arang (11b), menggambar- kan dengan jelas, kondisi masyarakat pada saat itu. Mayat bertumpuk di dalam kuburan. 

Sangking banyaknya mayat yang bergelimpangan, tidak ada selanya di kuburan dengan batas parit. Mayat-mayat banyak bergelimpangan di jalan, ladang, dan bahkan ada yang membusuk di rumahnya. Banyak mayat-mayat itu, kemudian dimakan oleh hewan-hewan liar.

Walaupun Lontar Calon Arang menceritakan kisah berlatar belakang di Kerajaan Daha yang dipimpin Raja Airlangga. Namun si penulis kitab Lontar Calon Arang, sebenarnya menggambarkan kondisi masyarakat Majapahit, dimasa-masa akhirnya. 

Perlu diketahui juga, Lontar Calon Arang ini ditulis sekitar abad ke-16, yang mana pada abad tersebut, kekuasaan Majapahit berada di ujung jurang kehancuran. Kondisi alam yang rusak akibat konflik dan politik Kerajaan Majapahit, mengakibatkan semakin lemahnya kekuasaan Majapahit pada masa itu, mau itu dalam segi sosial dan juga ekonomi.

2. Pengaruh Alam

Menurut Jared Diamond, pengaruh alam terhadap kelangsungan suatu peradaban sangat berpengaruh. Suatu peradaban bisa saja hancur, karena kondisi alam yang tidak memungkinkan untuk peradaban itu hidup. Sejarah Jawa telah membuktikan, bagaimana banyak dari peradaban Jawa yang runtuh karena pengaruh alam yang tidaklah bersahabat.

Jika melihat kondisi alam pulau Jawa. Di pulau Jawa, terdapat banyak sekali pemicu terjadinya bencana alam yang bisa menghancurkan peradaban di atasnya. Bencana alam yang sering kali terjadi adalah banjir dan gunung berapi, karena kondisi geografis Jawa yang terdapat banyak sekali gunung dan sungai-sungai. 

Untuk gunung berapi, di pulau Jawa terdapat 38 gunung yang membentang dari Timur ke Barat. Gunung merapi tertinggi di Jawa adalah Gunung Semeru (3,676 m) dan terdapat gunung berapi paling aktif di Jawa yaitu Gunung Merapi (2,968 m) serta Gunung Kelud. 

Satu sisi gunung yang ada di Jawa, membawa berkah tersendiri untuk masyarakat Jawa. Karena dengan adanya gunung berapi, membuat tanah-tanah di Jawa menjadi subur. Namun disisi lain, gunung berapi ini akan mengakibatkan malapetaka untuk peradaban yang berdiri di atasnya. Sebelum kerajaan Majapahit berdiri, peradaban sebelumnya pernah merasakan dahsyatnya gunung berapi, peradaban itu dibangun oleh Kerajaan Mataram Kuno.

Mataram Kuno runtuh akibat letusan gunung berapi yang terjadi pada tahun 1006 Masehi, selain karena perebutan tahta yang terjadi di internal kerajaan. Karena letusan gunung berapi, Mpu Sindok memindahkan ibukota Mataram Kuno atau Medang dari Mataram menuju Tamwlang. 

Seorang ahli geologi Belanda, bernama Reinout Willen van Bemmelen, dengan berani mengatakan dalam bukunya yang berjudul The Geologi of Indonesia (1949 M), bahwa letusan dahsyat yang terjadi pada tahun 1006, tidak hanya meruntuhkan Kerajaan Mataram Kuno, tetapi juga mengubur Candi Borobudur yang terletak sekitar 30 kilometer dari Gunung Merapi.

Nasib yang sama terjadi dipenghujung masa kekuasaan Majapahit di tanah Jawa. Pada tahun 1980 Masehi, dilakukan sebuah penelitian geologis oleh pihak ITB (Institut Teknologi Bandung). Penelitian ini menghasilkan sebuah teori, bahwa runtuhnya Majapahit itu salah satunya disebutkan karena ledakan gunung api yang disertai banjir besar. 

Mereka menerka, kemungkinan besar gunung yang meletus pada saat itu adalah gunung Welirang atau Anjasmoro. Lahar yang dihasilkan meluncur kearah Utara dan Barat Laut, melalui kali Gembolo dan anak-anak Sungai Brantas lainnya yang ujungnya berasal dari gunung Welirang (Safitri, 2015). 

Selain lahar dari gunung Anjasmoro, material lainnya seperti batu-batu besar tumpas persis ke daerah pusat Kerajaan Majapahit, seperti yang terjadi dengan penduduk di sekitar gunung Phoveus yang ada di Italia.

Bencana alam yang terjadi masa Majapahit, emang sering terjadi, bahkan jauh sebelum Majapahit menghadapi keruntuhannya. Dalam kitab Negarakertagama pupuh I bait 4, mengabarkan pada saat raja Hayam Wuruk, tepatnya pada tahun 1256 Saka (1334 Masehi), terjadi ketika Gunung Kelud meletus.

 Bencana gunung meletus pada masa Majapahit, juga berada di dalam kitab Pararaton; bagian VII (1233 Saka/1310 Masehi), bagian IX (1298 Saka/ 1376 Masehi), bagian XVII (1378/ 1456 Masehi).

Selain karena gunung meletus, Majapahit runtuh karena pendangkalan aliran sungai Brantas, khususnya dibagian deltanya dan kali Porong. Bersamaan dengan itu, garis pantai menjadi maju dan menghambat lalulintas air sehingga hubungan Majapahit dengan dunia luar tersumbat, sedangkan pada masa itu jalur perdagangan berpusat pada pantai dan pinggir sungai (Safitri, 2015).

Teori diatas tidak sepenuhnya salah, namun jika mengatakan bahwa Majapahit runtuh karena bencana alam itu rasanya kurang tepat. Bencana alam memang bisa membuat kacau Majapahit, namun tidak cukup kuat untuk meruntuhkan Majapahit seketika itu juga. 

Bencana alam bisa termasuk kedalam salah satu faktor penyebab Majapahit menjadi melemah dan akhirnya runtuh. Dengan adanya bencana alam, membuat perekonomian dan kegiatan sosial masyarakat Majapahit menjadi terhenti dan bahkan mati. 

Dengan adanya penyendatan perekonomian dan kegiatan sosial, membuat pemasokan negara menipis, sehingga akan mengakibatkan kemiskinan dan kelaparan.

3. Hubungan Sekutu Dengan Tetangga

Hubungan sekutu dengan tetangga, dapat mendukung peradaban itu sendiri. Dan apabila hubungan sekutu tersebut hilang, akan membuat peradaban tersebut rentan terhadap keruntuhan (Collapse). 

Dalam kasus Majapahit sendiri, di akhir-akhir masa pemerintahannya, rupanya Majapahit memiliki sedikit gangguan dengan sekutu-sekutunya, mau itu di dalam pulau Jawa ataupun sekutu yang ada di luar Jawa seperti di Sumatra, Kalimantan, dan Malaya.

Pada masa awal pendiriannya, Majapahit masih berupa pemerintahan daerah dengan wilayah yang masih relatif kecil dan sempit. Pada masa Tribuwana, perlahan secara pasti, pemerintahan Majapahit yang asalnya berupa kerajaan kecil berubah menjadi kerajaan yang berbasis internasional, dengan wilayah kekuasaannya yang amat luas. 

Kesuksesan Tribuwana, kemudian dilanjutkan dan bahkan semakin berkembang masa Hayam Wuruk, putra dari Tribuwana. Keberhasilan kedua penguasa Majapahit tersebut, tidak lepas dari jasa mahapatih yang memiliki misi politik skala internasional atau yang lebih dikenal dengan Sumpah Palapa.

Menurut catatan Negarakertagama, ada sekitar 79 negara yang ada di bawah pemerintahan Majapahit. Membentang dari hampir seluruh wilayah Indonesia Modern, hingga ke perbatasan Myanmar. Keberhasilan ini ditorehkan oleh Gajah Madha dalam waktu yang relatif singkat. 

Efek dari perluasan wilayah, selain berpengaruh pada kekuasaan politik dan eksitensi negara, perluasan wilayah ini berpengaruh pada hubungan sekutu dengan tetangga, bisa dibilang tetangga ini adalah negara central dari sebuah persekutuan. Melihat Majapahit adalah negara dengan bentuk federasi, dimana beberapa wilayah taklukannya diberikan kewenangan mengatur diri mereka sendiri, dengan kepala pemerintahannya disebut raja wilayah.

Hubungan antara negara bawahan dengan pemerintahan pusat, bisa diikat dengan pengaruh Raja dan Mahapatih yang kuat. Para negara bawahan, memiliki kepercayaan bahwa pemerintahan di Trowulan bisa membawa keuntungan dan manfaat untuk daerahnya, mau itu ekonomi, politik, dan bahkan militer. 

Setelah dua tokoh kunci kejayaan Majapahit mangkat, perlahan kekuatan politik perlahan menurun drastis. Lemahnya kekuasaan raja, bisa dilihat dari kondisi politik internal pemerintah Majapahit yang terus saja bertikai karena tidak adanya sosok pemeimpin yang benar-benar kuat. 

Pengaruh Majapahit perlahan mulai hilang, disusul dengan kepercayaan negara bawahan Majapahit, yang tidak percaya lagi dengan pemerintah pusat di Trowulan.

Karena sosok raja yang diagungkan oleh pemerintah bawahannya, memiliki watak yang lemah. Banyak dari para pemimpin daerah, menuntut kebebasan kepada pemerintahan pusat, tanpa harus terikat dengan Majapahit lagi. 

Dengan merdekanya wilayah-wilayah bawahan Majapahit, berdampak pada segala aspek dalam tubuh pemerintahan Majapahit. Sebagai contohnya, pemerintahan akan kehilangan sumber pemasukan dari para pedagang yang berdagang di pelabuhan-pelabuhan mereka. 

Selain itu juga, Majapahit akan menjadi negara lemah tanpa adanya sekutu yang bisa diajak kerjasama. Hal ini terbukti, ketika Raden Fattah menyerang Trowulan. Pemerintahan Majapahit saat itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak adanya kekuatan yang bisa membantu mereka, dengan kondisi ekonomi yang surut akibat terputusnya pendapatan dari perdagangan.

4. Hubungan Permusuhan Dengan Tetangga

Sekitar abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Nusantara perlahan surut. Berbarengan dengan itu, di wilayah Nusantara dan Asia Tenggara, sedang maraknya berdiri kesultanan-kesultanan yang asalnya berada di bawah pengaruh kerajaan Hindu-Budha. Mereka memanfaatkan kekuatan kerajaan Hindu-Budha yang lemah, untuk mendapatkan kemerdekaannya.

Kesultanan Malaka berdiri pada akhir abad ke-14 dan berjaya pada awal abad ke-15, di wilayah bekas jajahan Majapahit yaitu di pulau Malaya. Kerajaan Majapahit yang sedang sekarat, rupanya tidak mampu mencegah dan menekan pengaruh Kesultanan Malaka. 

Pada awal abad ke-15, Kesultanan Malaka yang baru lahir mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatra. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainya di Nusantara satu persatu mulai melepaskan diri dari pangkuan pemerintahan pusat di Trowulan.

Nasib yang serupa terjadi di kekuasaan Pajajaran, tetangga dari Majapahit di pulau Jawa. Pajajaran yang berkuasa di hampir seluruh wilayah Jawa Barat, menghadapi bahaya yang besar dari penguasa daerah yang tidak puas dengan kinerja Raja Pajajaran yang buruk. 

Sama seperti Majapahit, Pajajaran tidak mampu mencegah dan menekan pengaruh pemimpin lokal yang semakin besar. Cirebon misalnya, yang memproklamirkan diri menjadi sebuah wilayah yang independent. 

Berkembangnya Kesultanan Cirebon yang kemudian disusul berdirinya Kesultanan Banten, menjadi ancaman serius untuk Pajajaran, yang oleh raja harus segera diberantas. Namun nyatanya di lapangan, raja tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah hal itu. Kelemahan raja Pajajaran dan raja Majapahit, untuk menghentikan konflik dengan tetangganya (Pemerintah Wilayah), mengakibatkan kedua kerajaan ini terpaksa runtuh dan digantikan oleh pemerintah lain yang lebih digdaya dan kuat.

5. Faktor Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Point kelima ini merupakan point yang paling berpengaruh, dan bahkan sangat mempengaruhi point-point sebelumnya. Melihat kondisi peradaban Jawa, terhitung dari masuk dan berkembangnya ajaran Islam di Jawa, hingga keruntuhannya. Kerajaan Majapahit dan Pajajaran, rupanya tidak bisa mengatasi masalah yang ada di dalam internal pemerintahannya mau itu masalah politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.

Kata politik berasal dari kata "politic"  (Bahasa Inggris), yang merujuk pada sifat pribadi atau perbuatan. Istilah politik sendiri sudah dikenal dan berkembang pada masa Yunani Kuno. Istilah politik pertama kali dikenalkan oleh Plato dalam bukunya yang berjudul Politeia yang pula dikenal dengan kata "Republik". Pendapat Plato kemudian berkembang melalui karya Arisoteles, yang dikenal dengan "Politica" (Nambo & Pahuluhulawa, 2005).

Merujuk pada pendapat yang diutarakan Arisoteles, untuk mendefinisikan apa itu politik, setidaknya ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, politik membahas tentang negara atau disebut dengan polis (badan masyarakat), yang menekankan pada bentuk ideal suatu negara. 

Kedua, politik akan bersinggungan dengan kekuasaan. Ketiga, politik juga membahas tentang keberadaan warga negara sebagai sebuah entitas penting dalam kehidupan bernegara. Entitas yang dimaksud adalah sebuah entitas yang memiliki keseragaman keseragaman nilai dan tujuan sehingga penciptaan tujuan akan mudah untuk dilakukan(Setialaksana et al., 2019).

Daron Acemoglu dan James Robinson, dalam bukunya yang berjudul Mengapa Negara Gagal. Politik adalah sebuah proses ketika segenap warga negara sedang berusaha menerapkan perangkat hukum atau peraturan yang akan mengatur kehidupan berbangsa. 

Argumen lain datang dari Machiavelli dalam bukunya The Prince, dia mengartikan politik sebagai sebagai aktivitas dan metode untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan absolut.

Jika menilik pada sistem politik Majapahit dan Pajajaran, keduanya menerapkan politik gaya monarki konstituental, dimana raja sebagai kepala negara dengan menempatkan parlemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam monarki parlemen, kekuasaan, eksekutif dipegang oleh kabinet (Mahapatih) dan bertanggung jawab kepada kabinet atau Mahapatih. 

Fungsi raja hanya sebagai kepala negara yang kedudukannya tidak dapat diganggu gugat. Seorang raja Majapahit, diberi kewenangan untuk menunjuk seorang Mahapatih. Walaupun Majapahit dan Pajajaran mengangut sistem monarki konstituental, pengaruh raja pada kerajaan sama kuatnya dengan Mahapatih, yang kekuasaannya bersifat absolut.

Keabsolutan seorang raja sangat diperlukan untuk mengatur negaranya, karena jika seorang raja tidak memiliki pengaruh kuat pada pemerintahannya, dirinya akan mudah dipengaruhi orang-orang yang memiliki kepentingan lain, selain negaranya. Kadar keabsolutan seorang raja haruslah merujuk pada orientasi kesejahteraan rakyat dan negaranya. Jika tidak, hak absolut seorang pemimpin atau raja, akan menjadi penyakit institusi politik yang merusak perekonomian dan kesejahteraan rakyat (Acemoglu & Robinson, 2017).

Hayamwuruk menggunakan hak absolutnya dengan baik. Dirinya mampu menata pemerintahannya dengan apik dan efisien, tak heran pada masa pemerintahannya, Majapahit menjadi negara adidaya di Asia Tenggara, bahkan disegani oleh China. Keabsolutan raja Majapahit, setelah Hayamwuruk mangkat, perlahan bergeser. Raja tidak lagi beroentasi kesejahteraan rakyat dan negaranya, namun bergeser kearah kepentingan pejabat dan pribadi raja, begitupun dengan Mahapatihnya. Majapahit dipimpin oleh raja-raja dan Mahapatih yang kurang cakap.

Karena tidak adanya raja yang cakap memerintah selepas Hayam Wuruk. Majapahit yang terkenal negara adidaya jatuh kedalam pergolakan politik berupa perebutan tahta tiada hendi. Perwarisan tahta yang tidak berjalan mulus menyebabkan peperangan silih berganti. 

Keadaan politik kerajaan menjelang keruntuhannya dapat dikatakan amuradul tak teratur. Antar anggota keluarga kerajaan saling bertikai satu sama lain, memperebutkan pengaruh keluarga dalam kerjaaan. 

Keos dan masalah internal terjadi, seperti; Perang Paregreg pada 1405-1406, terjadinya pertentangan keluarga kerajaan yang membuat Majapahit mengalami masa kekosongan pemimpin pada tahun 1466-1500 Masehi. Semua itu diakibatkan, politik negara yang kurang kuat, dan pada akhirnya mengakibatkan kerajaan Majapahit mengalami kemunduran.

Politik yang tidak stabil, akan merembet ke sektor lainnya. Ekonomi negara yang akan terguncang atau terkena imbas paling dulu dari kisruh politik negara. Seorang raja atau prabu yang acuh terhadap urusan negara dan memilih untuk memperkaya diri sendiri, akan menciptakan jurang sosial antara istana dengan rakyatnya. 

Ditambah lagi kepercayaan istana (Hindu) yang menganut sistem kasta, menambah lebarnya jurang pemisah ini. Tingkat kemakmuran suatu negara bisa diukur dari institusi ekonomi yang ada berikut dengan tata hukum atau perundangan yang memengaruhi mekanisme ekonomi dan intensif yang tersedia bagi segenap rakyat. Namun jika politik negara sedang kacau, hingga terjadi perang, mekanisme ekonomi yang sudah ada semuanya akan macet (Acemoglu & Robinson, 2017).

Semua ini akan menciptakan masalah dalam negara, seperti yang sudah disebutkan point 1-4 sebelumnya. Para oligarki istana yang berebut kekuasaan akan semakin kaya, sementara rakyat jelata dan pedagang kecil harus merugi karena lapak dagang dan bertani mereka hancur karena perang yang terus bergejolak tiada henti. Hal ini terbukti bisa mendatangkan petaka besar untuk negara, seperti yang terjadi pada masa Prabu Sang Ratu Dewata yang terkenal sebagai raja paling hedon di Kerajaan Pajajaran.

Kondisi yang sekarat karena keos politik istana dan gaya hidup para bangsawan yang hedon, diperparah lagi dari serangan kerajaan baru yang lahir dari keos yang ada. 

Katakanlah kerajaan baru itu adalah Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak, yang berhasil mengambil alih peradaban di tanah Jawa. Serangan kedua negara baru itu, membuat ekonomi kedua negara digdaya (Pajajaran dan Majapahit) menjadi lumpuh, karena pelabuhan-pelabuhan penting mereka sudah dikuasai oleh Cirebon dan Demak.

Kelima faktor yang dikemukakan oleh Jared Diamond, sangat berpengaruh dalam keruntuhan sebuah bangsa. Rupanya Majapahit dan Pajajaran yang sedang sekarat, memiliki kelima aspek tersebut, sehingga pada saat Kerajaan Demak dan Cirebon menyerang, kedua kerajaan besar di Jawa tersebut akhirnya runtuh.

SUMBER:

  1. Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2017). Mengapa Negara Gagal (D. Adhivijaya, Ed.). PT. Alex Media Komputindo.
  2. Andrisijanti, I. (2014). MAJAPAHIT (Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota). Kepel Press.
  3. Nambo, A. B., & Pahuluhulawa, M. R. (2005). MEMAHAMI TENTANG BEBERAPA KONSEP POLITIK (Suatu Telaah dari Sistem Politik). Mimbar, 21(2), 262--285.
  4. Safitri, S. (2015). TELAAH GEOMORFOLOGI KERAJAAN MAJAPAHIT. Jurnal Criksetra, 4(7).
  5. Sanjoyo, M. P. (2019). CANGGU: PELABUHAN SUNGAI MASA MAJAPAHIT ABAD XIV-XVI.
  6. Sen, T. T. (2010). Cheng Ho Penyebaran Islam dari China ke Nusantara. PT. Kompas Media Nusantara.
  7. Setialaksana, N., Saputra, K. A., & Gustaman, R. F. (2019). Pendidikan Pancasila. Media Priangan Abadi Publishing House.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun