Kata politik berasal dari kata "politic" Â (Bahasa Inggris), yang merujuk pada sifat pribadi atau perbuatan. Istilah politik sendiri sudah dikenal dan berkembang pada masa Yunani Kuno. Istilah politik pertama kali dikenalkan oleh Plato dalam bukunya yang berjudul Politeia yang pula dikenal dengan kata "Republik". Pendapat Plato kemudian berkembang melalui karya Arisoteles, yang dikenal dengan "Politica" (Nambo & Pahuluhulawa, 2005).
Merujuk pada pendapat yang diutarakan Arisoteles, untuk mendefinisikan apa itu politik, setidaknya ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, politik membahas tentang negara atau disebut dengan polis (badan masyarakat), yang menekankan pada bentuk ideal suatu negara.Â
Kedua, politik akan bersinggungan dengan kekuasaan. Ketiga, politik juga membahas tentang keberadaan warga negara sebagai sebuah entitas penting dalam kehidupan bernegara. Entitas yang dimaksud adalah sebuah entitas yang memiliki keseragaman keseragaman nilai dan tujuan sehingga penciptaan tujuan akan mudah untuk dilakukan(Setialaksana et al., 2019).
Daron Acemoglu dan James Robinson, dalam bukunya yang berjudul Mengapa Negara Gagal. Politik adalah sebuah proses ketika segenap warga negara sedang berusaha menerapkan perangkat hukum atau peraturan yang akan mengatur kehidupan berbangsa.Â
Argumen lain datang dari Machiavelli dalam bukunya The Prince, dia mengartikan politik sebagai sebagai aktivitas dan metode untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan absolut.
Jika menilik pada sistem politik Majapahit dan Pajajaran, keduanya menerapkan politik gaya monarki konstituental, dimana raja sebagai kepala negara dengan menempatkan parlemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam monarki parlemen, kekuasaan, eksekutif dipegang oleh kabinet (Mahapatih) dan bertanggung jawab kepada kabinet atau Mahapatih.Â
Fungsi raja hanya sebagai kepala negara yang kedudukannya tidak dapat diganggu gugat. Seorang raja Majapahit, diberi kewenangan untuk menunjuk seorang Mahapatih. Walaupun Majapahit dan Pajajaran mengangut sistem monarki konstituental, pengaruh raja pada kerajaan sama kuatnya dengan Mahapatih, yang kekuasaannya bersifat absolut.
Keabsolutan seorang raja sangat diperlukan untuk mengatur negaranya, karena jika seorang raja tidak memiliki pengaruh kuat pada pemerintahannya, dirinya akan mudah dipengaruhi orang-orang yang memiliki kepentingan lain, selain negaranya. Kadar keabsolutan seorang raja haruslah merujuk pada orientasi kesejahteraan rakyat dan negaranya. Jika tidak, hak absolut seorang pemimpin atau raja, akan menjadi penyakit institusi politik yang merusak perekonomian dan kesejahteraan rakyat (Acemoglu & Robinson, 2017).
Hayamwuruk menggunakan hak absolutnya dengan baik. Dirinya mampu menata pemerintahannya dengan apik dan efisien, tak heran pada masa pemerintahannya, Majapahit menjadi negara adidaya di Asia Tenggara, bahkan disegani oleh China. Keabsolutan raja Majapahit, setelah Hayamwuruk mangkat, perlahan bergeser. Raja tidak lagi beroentasi kesejahteraan rakyat dan negaranya, namun bergeser kearah kepentingan pejabat dan pribadi raja, begitupun dengan Mahapatihnya. Majapahit dipimpin oleh raja-raja dan Mahapatih yang kurang cakap.
Karena tidak adanya raja yang cakap memerintah selepas Hayam Wuruk. Majapahit yang terkenal negara adidaya jatuh kedalam pergolakan politik berupa perebutan tahta tiada hendi. Perwarisan tahta yang tidak berjalan mulus menyebabkan peperangan silih berganti.Â
Keadaan politik kerajaan menjelang keruntuhannya dapat dikatakan amuradul tak teratur. Antar anggota keluarga kerajaan saling bertikai satu sama lain, memperebutkan pengaruh keluarga dalam kerjaaan.Â