Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Ditolak di Negeri Para Guru

7 Januari 2025   20:09 Diperbarui: 7 Januari 2025   20:09 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Di negeri para guru. Sumber gambar Pixabay.com/FreeFunArt

Ditolak di Negeri Para Guru

 (Oleh Irfan HT)

"Aku seakan najis di mata mereka. Aku guru namun jugalah abu. Sekali tiup, hilang. Sudah lama aku dilarang menjadi guru."

Jam 12.00 aku persis di bawah terik matahari. Panas memoles kulitku yang coklat menjadi lebih mengkilap. “Sialan!” ucapku dalam hati.

Kulangkahkan kaki tergesa-gesa. Jilatan matahari memaksa cepat. Biasanya aku berjalan santai saja. Sudah dua kali motorku mogok. Sepasang kaki pun akhirnya menjadi andalan. Sesekali mataku menatap jam tangan di sebelah kiri. Cepat sekali rasanya jarum jam bergerak. "Tamu sekolah pasti sudah menunggu," ujarku dalam hati.

Badanku berkeringat membasahi kemeja putih yang kupakai. “Lengkap sudah derita hari ini,” tambahku, “kalau gak karena istri, gak sudi aku panas-panasan. Dasar pimpinan edan!”

Angin berhembus tiba-tiba. Berkas dalam map yang kubawa pun tersapu. Lembaran bermaterai tersibak dan sebagian koyak. Rasa kesalku semakin menjadi. “Dasar pimpinan edan! Entah kapan dia dimutasi dari sekolah itu.” Tanganku mengumpulkan satu persatu berkas dan memasukkan kembali ke dalam map kukepit di ketiak kiri.

“Kan sudah kubilang apa? Untuk apa kau menjadi guru? Gaji kecil! Makian istriku tadi pagi masih terngiang.

Langkah makin kupercepat. Emosi yang kupendam kulampiaskan di kedua betis yang mulai membengkak. Tanjakan menuju sekolah hampir separuh jalan lagi kulalui.

“Sudahlah, Sat, fokus saja beternak sapimu. Ngapain urusi sekolah yang gak ada uangnya? Teringat ucapan kawan-kawanku di warung kopi setiap sore.

Aku ingin berteriak kencang tapi tanjakan ini belum selesai masih 500 meter lagi. Jangankan berteriak, napasku saja tersengal. Sesak di dada mulai menyerang. Aku berhenti sejenak dan membungkukkan badan memegang kedua lutut yang gemetar.

Saat membungkuk inilah seperti ada yang membisikku. “Teruslah berjalan Satria, jangan berhenti. Kau harus jadi guru yang terpanggil! Ucapan ini sedikit menenangkan. Kupandang kanan dan kiri tak ada orang. “Jangan-jangan setan,” kataku. Mataku sudah lelah dan badanku lesu. “Orang-orang di sekolah pasti sudah bubar,” pikirku. “Tapi setan gak mungkin mengajarkan kebaikan,” timbangku lagi, “apa iya bisikan malaikat? Wong aku sudah menjadi orang jahat sekarang ini.”

Kupaksakan langkah yang tinggal beberapa meter sampai ke pintu gerbang sekolah. Tiba-tiba kepalaku pusing dan semua benda yang kulihat seperti berbayang tiga, empat atau sepertinya lebih. Aku sempoyongan dan akhirnya jatuh ke dalam kubangan air di depan gerbang sekolah. Aku masih sadar. Ini adalah lobang yang sama saat jatuh sebelumnya. Berarti sudah dua kali aku masuk ke dalam lobang ini. Otakku sudah tak mampu berpikir lagi. Aku pingsan.

***

“Pak Satria, Pak Satria…,” teriak suara seorang lelaki di telingaku.

“Tolong, tolong…!” suara wanita terdengar menyusul.

Badanku lunglai tiada daya. Mata tak bisa kubuka namun aku masih bisa mendengar walaupun samar.

“Tuh kan, kata gue juga apa. Ada balasan untuk orang yang zalim,” terdengar salah satunya menyeletuk. Ingin sekali aku melihat wajahnya. Gampang sekali moncongnya bicara aku zalim.

“Iya sih, apa lagi yang mau dikejar. Hidup kan sementara gak dibawa mati, “sahut temannya.

Betul-betul aku ingin menampar kedua orang itu. Seenak jidatnya menuduh orang. Sudahlah tak membantu, menuduh lagi. Apa karena membeli lahan 2 petak tak jauh dari sekolah? Itu kan uang kepala sekolah. Katanya itu uangnya sendiri. Aku hanya disuruh membeli dan balik nama pakai namaku.  Sepeser pun uang itu tak ada masuk ke kantongku. Hanya seratus ribu saja. Itu pun masuk ke dompet istriku. Ya untuk beli beras 2 liter dan 10 butir telur ayam. Lagian tidak imbang uang yang diberikan dengan kerusakan motorku. Ganti busi dan bersihkan karburator saja sudah berapa. Banjir kerap menggenangi jalanan. Aku pun harus meninggalkan motor yang mogok di bengkel.  Belum ada uang membetulkannya. Benar-benar sial orang-orang semua menuduhku. Hidupku jadi makin susah saja.

Aku ingin teriak namun tak mampu. Bibir seakan ada yang melakban. Otot rahang seperti digembok. Lidahku tertarik ke dalam kerongkongan.

Kedua orang tadi tak kudengar lagi suaranya. Siapa mereka? Aku penasaran. Benar-benar tega.

***

Aku terbangun dari kubangan. Mataku terbuka. Tanganku pun sudah bisa bergerak begitu juga kaki. Karena lama berbaring aku agak sulit berdiri. Pusing di kepala masih ada sedikit. Aku menengok ke langit. Sudah sore hampir magrib. Tapi aku bingung. Aku tidak berada di depan gerbang sekolah. Aku ada di depan sebuah bangunan megah bak istana. Seketika hari berubah siang saat warna bangunan itu berpendar. Pancaran berwarna emas tersebar ke seluruh pelosok. Takjubnya, banyak orang-orang berlalu lalang keluar masuk bangunan indah itu. Pakaiannya jubah berwarna emas. Memakai alas kaki dari buku-buku tebal yang ditautkan seutas tali melilit sampai ke betis.

Cahaya dari bangunan itu seakan punya magnet yang menarik orang untuk mendekat. Sedikit sempoyongan aku memaksa ke dalam. Di dalam bangunan itu, orang-orang berjubah berkumpul. Mereka saling bercerita satu sama lain. Suasana terlihat begitu akrab. “Siapa gerangan mereka ini?” Aku makin penasaran.

“Inilah negeri para guru!” ujar seorang lelaki tiba-tiba mengagetkanku. Kulihat sekilas pria itu dan kembali menatap kerumunan orang-orang berjubah di hadapanku. “Lantas mana yang guru dan mana yang murid?” tanyaku, “karena semua berjubah emas dengan beralas kaki buku.”

“Tidak ada murid disini.  Semua adalah guru!” jawabnya.

“Apa yang mereka sedang bicarakan?”

“Mereka belajar untuk menjadi orang jahat sesuai dengan yang diinginkan.”

Aku bingung. Terdiam sejenak.

“Lihat di pojok sana!”

Aku melihat seseorang lelaki besar.

“Dia belajar menjadi diri sendiri. Dia menjadi guru bagi dirinya sendiri.”

“Apa yang dia pelajari?”

“Pencuri. Dia belajar bagaimana menjadi pencuri yang hebat.”

“Apa pentingnya belajar hebat untuk menjadi jahat?”

“Kalau tidak penting kenapa dia ada di sini. Pergilah! Tanyakan langsung!”

Aku melangkahkan satu kaki, seketika lelaki itu mencegatku. “Hei, pakai terompahmu!” sambil telunjuknya mengarah ke sepasang alas kaki tepat di sebelah kakiku. Aku mengambilnya. Kusentuh lembaran kertas yang terikat tali. Kubuka lembar per lembar dalam buku itu. Alangkah kagetnya, “bukankah ini kitab suci?” Aku tak bisa menginjaknya.

“Kau tak bisa masuk kalau begitu,” ujar si lelaki, “cepat pergi! Sebentar lagi malam tiba. Waktu di negeri ini berjalan sangat cepat.”

Aku pun tak berpikir panjang lagi. Rasa penasaran mendorongku segera memakaikan terompah di kedua kakiku.

Kuberjalan menyusuri pinggiran keramaian karena tidak percaya diri dengan seragam yang kupakai. Ya pakaian resmi di sekolah.

Aku berjalan cepat menuju lelaki besar  yang ditunjuk si pria di gerbang tadi.

“Permisi…”

“Tak usah bicara. Aku sudah tahu apa maksudmu.”

“Kok...?”

“Kau mau tahu kenapa? Aku sudah belajar sekian tahun untuk menjadi pencuri tapi belum mendapatkan jurus untuk menyamar. Nyatanya aku selalu ketahuan.

“Kenapa kau tidak bergabung dengan orang-orang lain di sana? Bukankah disini orang-orang ingin belajar?” ucapku sok bijak.

“Mereka sudah mahir. Mereka sudah bisa berbagi ilmu.”

Mereka memang siapa?

“Pembunuh.”

Badanku gemetar ketakutan. Kulihat wajah-wajah orang yang berkumpul itu. Semua tertawa lepas dan melempar senyum pada siapapun.

“Terus, siapa yang ada di gerbang tadi?”

“Dia penipu.”

Aku kaget. Mataku mencari-cari lelaki di gerbang tadi. Kukejar tapi tidak kelihatan lagi. Dia sudah pergi.

Saat akan kembali ke dalam bangunan megah itu, kakiku terjengkal tangga dan akhirnya salah satu terompah terlepas. Aku terjatuh ke lantai marmer dan berguling-guling kemudian tak sadarkan diri.

***

“Pak Satria! Bangun pak!” Samar-samar aku melihat sekumpulan orang-orang menggoyang-goyangkan bahuku.  Aku duduk dengan tangan diborgol. Aku memberontak. Namun percuma, aku tak bisa menggerakkan tubuh. Aku juga tetap tak mampu bicara. “Tolong! Kenapa aku diborgol?” Kuteriak kencang namun aku hanya bisa bicara pada diriku sendiri. Tak ada yang bisa mendengar.

Kutatap salah satu pria di hadapanku. Ya pria hitam berpeci yang kubenci. Dia kan yang telah memaksaku untuk menandatangani surat perjanjian itu. Dia mengancam tidak akan mengangkatku sebagai pegawai negeri yang telah lama kuimpikan.

Lihat wajah anak dan istriku. Semua geram padaku. Seperti tak sudi melihatku lagi. Aku seakan najis di mata mereka. Aku guru namun jugalah abu. Sekali tiup, hilang. Sudah lama aku dilarang menjadi guru.

“Masukkan ke mobil karena berkasnya sudah lengkap!” perintah seseorang yang berseragam coklat.  

Aku pasrah. Mataku tak bisa mengeluarkan air mata. Aku korban dari orang-orang jahat. Aku tak terima dikambinghitamkan.

“Kembalikan aku ke negeri para guru! Tolong, siapapun, kembalikan aku ke sana! Kumohon, tolong…!”

Aku menjatuhkan bangku kayu bersama badanku yang lemas. Aku menggulingkan badan agar bisa kembali ke negeri para guru. Kubenturkan kepalaku ke dinding supaya pusing. Lagi dan lagi usahaku sia-sia. Seakan-akan aku tak diijinkan masuk ke negeri para guru itu.

Aku akhirnya pasrah. Berada dalam ruangan kelas dan ditunggui oleh para tamu yang telah lama menunggu.

Kulihat mata istriku genit melirik sambil senyum pada si pria hitam yang kubenci. Ternyata mereka berkomplot.

“Dasar Iblis kalian!”

Dua petugas bertopi dan masker memasukkanku ke dalam mobil tahanan.  Sebelum membanting pintu mobil, mereka membuka topi dan masker.

“Aku sudah lulus dari negeri para guru. Trik jitu tipu-tipu sudah kukuasai,” ucap salah satu.

“Aku pun sudah mahir mencuri,” timpal di sebelahnya.

Ternyata kedua pria itu adalah orang-orang yang kutemui di negeri para guru. Aku menghentak-hentakkan badanku di jok mobil. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini. Aku bukan pelaku kejahatan. Aku hanya belum bisa membahagiakan keluargaku. Aku jahat karena itu.

“Tolong aku!”

“Tolong lepaskan…!”

Kerongkonganku serasa putus. Suara tak bisa keluar. Hanya getar saja. Seperti getarnya tanganku mengepal amarah. Tapi entah kepada siapa aku sebenarnya harus marah. Aku pun sadar masih menjadi seorang murid belumlah menjadi guru (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun