Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Ditolak di Negeri Para Guru

7 Januari 2025   20:09 Diperbarui: 7 Januari 2025   20:09 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Di negeri para guru. Sumber gambar Pixabay.com/FreeFunArt

Aku ingin berteriak kencang tapi tanjakan ini belum selesai masih 500 meter lagi. Jangankan berteriak, napasku saja tersengal. Sesak di dada mulai menyerang. Aku berhenti sejenak dan membungkukkan badan memegang kedua lutut yang gemetar.

Saat membungkuk inilah seperti ada yang membisikku. “Teruslah berjalan Satria, jangan berhenti. Kau harus jadi guru yang terpanggil! Ucapan ini sedikit menenangkan. Kupandang kanan dan kiri tak ada orang. “Jangan-jangan setan,” kataku. Mataku sudah lelah dan badanku lesu. “Orang-orang di sekolah pasti sudah bubar,” pikirku. “Tapi setan gak mungkin mengajarkan kebaikan,” timbangku lagi, “apa iya bisikan malaikat? Wong aku sudah menjadi orang jahat sekarang ini.”

Kupaksakan langkah yang tinggal beberapa meter sampai ke pintu gerbang sekolah. Tiba-tiba kepalaku pusing dan semua benda yang kulihat seperti berbayang tiga, empat atau sepertinya lebih. Aku sempoyongan dan akhirnya jatuh ke dalam kubangan air di depan gerbang sekolah. Aku masih sadar. Ini adalah lobang yang sama saat jatuh sebelumnya. Berarti sudah dua kali aku masuk ke dalam lobang ini. Otakku sudah tak mampu berpikir lagi. Aku pingsan.

***

“Pak Satria, Pak Satria…,” teriak suara seorang lelaki di telingaku.

“Tolong, tolong…!” suara wanita terdengar menyusul.

Badanku lunglai tiada daya. Mata tak bisa kubuka namun aku masih bisa mendengar walaupun samar.

“Tuh kan, kata gue juga apa. Ada balasan untuk orang yang zalim,” terdengar salah satunya menyeletuk. Ingin sekali aku melihat wajahnya. Gampang sekali moncongnya bicara aku zalim.

“Iya sih, apa lagi yang mau dikejar. Hidup kan sementara gak dibawa mati, “sahut temannya.

Betul-betul aku ingin menampar kedua orang itu. Seenak jidatnya menuduh orang. Sudahlah tak membantu, menuduh lagi. Apa karena membeli lahan 2 petak tak jauh dari sekolah? Itu kan uang kepala sekolah. Katanya itu uangnya sendiri. Aku hanya disuruh membeli dan balik nama pakai namaku.  Sepeser pun uang itu tak ada masuk ke kantongku. Hanya seratus ribu saja. Itu pun masuk ke dompet istriku. Ya untuk beli beras 2 liter dan 10 butir telur ayam. Lagian tidak imbang uang yang diberikan dengan kerusakan motorku. Ganti busi dan bersihkan karburator saja sudah berapa. Banjir kerap menggenangi jalanan. Aku pun harus meninggalkan motor yang mogok di bengkel.  Belum ada uang membetulkannya. Benar-benar sial orang-orang semua menuduhku. Hidupku jadi makin susah saja.

Aku ingin teriak namun tak mampu. Bibir seakan ada yang melakban. Otot rahang seperti digembok. Lidahku tertarik ke dalam kerongkongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun