Adu Baca di Pameran Senjata
(Oleh: Irfan HT)
"Jangan marah dulu, Tuan," ketus Rakushi untuk menenangkan jenderal yang siap-siap menekan tombol peledak di tongkat komandonya.
Pimpinan militer itu menatap sinis ke arah Rakushi. Tongkat komando diacungkan tanda marah karena kehebatan militernya diremehkan.
Semua pengunjung pameran panik dengan sikap nekat pimpinan militer itu. Lelaki yang kelihatan sangar menjadi sangat menakutkan. Dia berdiri di samping sebuah rudal berlukiskan ikan hiu dengan gigi runcingnya.
"Kami tegaskan, rudal ini sudah terpasang dengan bom nuklir. Produk ini sudah pengalaman dalam menjalankan tugasnya. Jadi tak usah ragu untuk memesan pada kami," ujar sang jenderal.
Saat pria berseragam militer itu menjelaskan tentang senjata pemusnah massal andalan negaranya, Rakushi mengacungkan tangan untuk bertanya, "Bagaimana Tuan yakin kemampuan bom yang sekarang lebih dahsyat dari yang dulu?"
Pertanyaan Rakushi inilah yang memancing ketersinggungan sang jenderal. Karena raut wajah kurang bersahabat, Rakushi pun tak nyaman lagi berlama-lama di sana.
 "Orangnya gak asik, kita pindah aja yuk!," ajak Rakushi pada pengunjung yang lain.
Rakushi dan rekan-rekannya adalah utusan setiap negara yang diundang secara khusus untuk menghadiri pameran dunia senjata pemusnah massal. Acara itu dilaksanakan selama 1 hari di sebuah pulau yang lokasi dan kegiatannya dirahasiakan.
 "Sebentar!" tegur sang jenderal.
Semua berhenti tiba-tiba. Tak ada yang berani melangkah karena takut menyinggung perasaan pria yang masih memegang tongkat komando itu.
"Saya minta maaf. Finansial negara kami sedang bermasalah berat dan saya mendapat banyak tekanan," terangnya dengan tegas, "Ayolah kalian beli senjata ini. Kalian pasti membutuhkannya suatu saat."
"Bagaimana dengan har___har___harganya?" tanya salah satu pengunjung dengan suara terbata-bata.
"Harganya tertera di rudal. Silahkan dilihat," balasnya. Tanpa banyak pertanyaan, transaksi berlangsung dengan si penanya barusan. Sepertinya dia ketakutan untuk menolak.
Rakushi bertepuk tangan disusul pengunjung lainnya. Mereka bukan memuji sikap royal si pembeli melainkan senang karena rasa panik pun reda. Sang jenderal sudah meletakkan kembali tongkat komandonya di atas meja. Jika salah langkah, seisi pulau bisa meledak.
Semua pengunjung kemudian beralih ke stan lain. Tempat itu agak unik karena dihiasi oleh lampu-lampu hias berwarna-warni. Nuansa militer tidak terlalu menonjol. Sambutan hangat wanita penjaga stan memakai rok mini semakin menarik minat orang untuk datang.
Setiap pengunjung disediakan secangkir kopi oleh si wanita. Aroma wangi kopi membuat mereka semakin antusias. Decak kagum pun terdengar dari bisikan para lelaki di depan stan itu.
Rakushi tidak tertarik dengan kopi. Dia sibuk memperhatikan beberapa hamster yang dikurung dalam kandang kecil. Di samping hamster, ada balon yang terhubung dengan sebuah wadah besar penampung kopi. Sebilah pipa berukuran kecil juga tersambung dari balon ke tabung transparan.
"Apa fungsi kopi yang terhubung pada balon di atasnya?"Â tanya Rakushi.
Tak ada balasan. Wanita cantik penjaga stan mengambil beberapa ekor hamster dari kandangnya. Dia memindahkan binatang-binatang lucu berwarna putih itu ke dalam tabung transparan. Mereka berlari mengelilingi tabung.
Pengunjung masih sibuk menikmati kopi yang disuguhkan. Mata mereka sesekali melihat pertunjukan yang sedang ditampilkan.
Tak berselang lama, keran dari wadah kopi pun diputar. Uap kopi mengalir melalui pipa kecil. Tangan si wanita sesekali meremas balon di area pipa. Uap terdorong masuk ke dalam tabung transparan. Dalam hitungan menit, semua hamster itu pun lemas dan kemudian mati.
Semua kaget dan panik. Sebagian pengunjung menjatuhkan gelas yang sedang mereka pegang. Sebagian lagi berusaha memuntahkan isi perutnya.
"Tenang saja Bapak dan Ibu semua, air kopinya tidak berbahaya,"Â tutur si wanita.
Panik pengunjung sementara reda dan mereka menarik napas dengan lega.
"Harga senjata kimia kami ada dalam barcode di gelas yang kalian sedang pegang. Setiap pembelian 1 unit kami sediakan penawar uap beracun,"Â lanjut wanita itu.
Semua kembali panik dan tampak resah. Mereka seperti ditipu oleh wanita itu.
"Ini namanya penipuan. Kenapa kalian tidak mengatakan bahwa kopi itu beracun?" protes Rakushi.
Tiba-tiba dari balik stan, keluar seorang lelaki berbadan besar dengan kaos militernya.
"Tidak ada yang menipu kalian. Kami menawarkan gratis kopi untuk diminum bukan menyediakan aroma untuk dihirup," ungkap pria militer itu.
"Itu sama saja dengan menipu. Harusnya kami diberitahukan kalau uapnya berbahaya," timpal salah satu pengunjung yang matanya sudah mulai membengkak karena reaksi kimia.
Lelaki yang ternyata juga seorang jenderal itu pun berdiri dan membentak, "Hei, apakah pabrik dan pengendara motor harus menginformasikan bahaya asap mereka sebelum kalian hirup?"
Semua terdiam termasuk Rakushi. Tak ada jalan lain, pengunjung yang sempat menghirup aroma kopi akhirnya mentransfer uang mereka untuk membeli senjata kimia itu. Bukan senjata yang lebih mereka harapkan melainkan penawarnya. Mereka pun duduk menunggu proses transaksi selesai.
Pengunjung yang langsung meneguk kopi merasa bersyukur. Efek kimia senjata tidak terlalu mereka rasakan. Mereka buru-buru meninggalkan stan yang ternyata lebih menyeramkan dari sebelumnya.
Tibalah beberapa pengunjung yang tersisa di stan terakhir. Tempatnya paling sepi dan penjaganya pun tak terlihat. Mereka mendekati sebuah meja kecil. Hanya ada selembar brosur tersisa di atasnya. Bergantian mereka mengambil dan kemudian membacanya. Tak menarik perhatian, mereka kembalikan brosur itu ke tempat semula dan kembali duduk di seberang stan. Mereka memutuskan tidak membeli apa-apa.
Rakushi yang selalu penasaran kemudian mengambil brosur itu. Namun belum sempat membaca, dia terpancing melihat label diskon sebesar 50 % di sisi kanan atas brosur. Produk senjata yang ditawarkan pun siap pakai.
Karena khawatir orang lain akan mendahuluinya, ia segera mengakses sebuah link yang ada di brosur. Seketika namanya terdaftar. Di situs yang dia buka, sejarah penggunaan senjata itu dalam perang, sangat apik dijabarkan. Jenis virus yang dikandung pun dijelaskan dengan rinci.
Rakushi selanjutnya mentransfer uang sesuai nominal yang tertera. Hatinya senang karena telah berhasil membeli rudal berisi virus berbahaya untuk dikirim ke negaranya.
***
Setelah 40 tahun berlalu, perang terjadi di seluruh dunia. Masing-masing membanggakan senjata pemusnah massal yang mereka miliki. Negara yang tidak punya senjata memilih bersekutu.
Satu bom dijatuhkan oleh negara produsen senjata ke negara lain yang pernah menjadi pelanggannya. Puluhan ribu menjadi korban keganasan nuklir. Mereka terbakar hidup-hidup dan sebagian besar terpapar radiasi.
Tak ingin kalah, negara yang diserang, kembali meluncurkan rudal balasan. Jumlah korban berbalas karena dendam. Namun masih banyak yang selamat karena mereka sembunyi di bunker-bunker bawah tanah.
Ada negara lain yang meluncurkan senjata kimia. Setiap yang menghirup gas mati mengering. Namun, negara yang diserang ternyata lebih sigap. Alat pelindung pernapasan dipasangkan di badan setiap warga. Jumlah korban keganasan senjata massal pun dapat ditekan.
Di negaranya, Rakushi ikut wajib militer. Pasukan militer negaranya sudah disiapkan untuk menyerang.
Dari liputan berita dunia, terpotret kemiskinan di negara Rakushi selama puluhan tahun. Ternyata, sumber dana pembelian senjata biologi yang telah digunakan oleh Rakushi adalah hutang negara kepada musuh. Ketidakmampuan membayar hutang membuat rakyat menderita dan menyebabkan negaranya hampir bangkrut. Tentara dan warga sipil di negara itu pun tampak kurus kurang gizi.
Negara-negara musuh tidak jadi menyerang negara Rakushi karena investasi mereka sudah ada di negara itu, yaitu hutang.
Namun demi harga diri di depan warganya, komandan perang negara Rakushi memerintahkan peluncuran senjata biologi yang sudah lama terpendam dalam gudang. Dengan dalih nasionalisme, mereka pun memutuskan menyerang terlebih dahulu.
Semburan api dari ekor rudal menuju target mendapat tepuk tangan meriah dari warga yang menonton lewat televisi. Sang komandan perang mendapat pujian dari warga. Tak henti-hentinya mereka gembira. Hal itu dikarenakan kehidupan yang sudah mereka korbankan demi hutang, akhirnya tak sia-sia dipakai sebagai alat pertahanan negara.
Dari pagi sampai sore semua menunggu berita akibat penyerangan itu. Memang santer terdengar ada sebuah rudal meledak di salah satu perbukitan di negara yang pasukan militer negara Rakushi targetkan. Namun tidak terjadi apa-apa kepada warga yang menjadi target.
Rakushi mondar-mandir di lokasi peluncuran rudal. Dia penasaran kenapa belum ada korban yang berjatuhan. Tanpa sengaja dia menginjak lempengan besi bagian rudal yang terlepas. Di lempengan itu tertempel sebuah stiker dengan aksara asing yang tak dia kenal.
Karena penasaran, dia membuka HP dan mencoba menggunakan aplikasi kecerdasan buatan untuk mencari terjemahan teks itu.
Tiba-tiba sang komandan perang memanggil Rakushi untuk segera menghadapnya memberikan penjelasan. Karena panik, HP Rakushi jatuh di lokasi. Walau demikian, dia tetap berlari menuju sumber suara.
Proses penterjemahan masih berjalan sampai selesai. Kalimat demi kalimat terpampang jelas di layar HP Rakushi:
Kadaluarsa setelah 40 tahun
Virus sudah tidak aktif bekerja.
Silahkan mengupdate kembali dengan menghubungi nomor kontak yang tersedia.Â
Namun sayangnya, tidak ada yang sempat membaca. Salah satu tentara yang berlari kemudian tak sengaja menginjak HP itu sehingga layar pecah dan bagian mesinnya penyok rusak parah.
Di ujung sana, sang komandan perang dan Rakushi sedang rapat membicarakan kegagalan. Ada yang menyalahkan prajurit yang tidak patuh perintah. Ada pula yang menyalahkan teknisi yang tidak becus merawat senjata (*).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI