Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ada Tangis di Bukit Meringis

22 Juli 2024   05:20 Diperbarui: 23 Juli 2024   20:44 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku selalu berjalan kaki menuju sebuah bukit gersang di sebuah desa. Tangan kananku menggenggam setumpuk koran baru dan tangan kiri memanggul cangkul. Langkahku tergesa-gesa dengan telanjang kaki. Warga yang melihat pun menjadi penasaran. Setiap ditanya apa yang kulakukan di sana jawabku adalah ingin menanam pohon.

Orang-orang memanggilku Pakis. Dulu aku ditemukan di hutan di dekat air terjun di atas tumpukan tanaman yang bernama latin Polipodiophyta. Sampai saat ini tak kuketahui siapa orang tua kandungku sebenarnya.

Di atas bukit yang sering disebut warga desa sebagai Bukit Meringis, ada sebuah pohon asam  yang besar. Di bawah pohon itulah, korban massal bencana pandemi virus mematikan dikubur. Tak ada yang tahu darimana asalnya datang. Warga desa menganggap itu adalah bentuk kutukan karena ada yang telah melanggar aturan adat.

Di desa itu, ada pantangan menebang pohon-pohon besar yang sudah berusia puluhan sampai ratusan tahun. Jika ada petani yang akan membuka lahan untuk pertanian, ritual adat harus dilakukan oleh seluruh warga. Satu pohon besar yang ditebang senilai dengan menyembelih 2 ekor kerbau yang kepalanya ditanamkan di sekitar pohon yang tumbang. Kerbau yang satu, dagingnya dibagikan kepada warga yang menghadiri acara sedangkan kerbau yang lain harus diserahkan kepada kepala adat sebagai orang yang menentukan keputusan di desa.

Pernah suatu ketika ada salah satu warga yang menebang sebuah pohon sengon besar di balik Bukit Meringis tanpa ada pemberitahuan kepada kepala adat. Akar pohon yang menjalar ke mana-mana membuat petani itu kesulitan bertanam padi. Pohon itu pun ditebangnya. Karena miskin, dia tidak punya biaya untuk membayar sanksi adat. Setelah pohon tumbang, keesokan harinya, sekeluarga petani itu ditemukan mati tersambar petir.

Aku duduk sambil mengipas-ngipas wajah dengan telapak tangan. Kuambil cangkul kemudian melanjutkan penggalian. Area yang sudah kugali hampir 4x5 meter persegi, tidak terlalu dalam hanya sekitar 30 cm. 

“Mana pohon yang sudah kau tanam, Tuan Pakis?” tanya warga kepadaku yang masih terus menggali.

Mata para warga melihat sekeliling area yang berlubang sebatas lutut orang dewasa. Namun, tidak terlihat oleh mereka pohon-pohon yang kutanam. Karena puluhan warga lain semakin ramai berkumpul penasaran dengan apa yang kukerjakan, aku pun berhenti sejenak.

“Inilah pohon-pohon yang kutanam,”ujarku sambil berdiri mengarahkan jari telunjukku ke sekeliling.

Semua orang melihat ke kiri dan ke kanan. Mereka tak melihat apa-apa. Hanya ada pohon asam satu-satunya di tengah kuburan massal. Karena menganggap aneh, mereka mengatakan aku gila.

Setiap hari aku menggali dan terus menggali. Setumpuk demi setumpuk koran baru kukumpulkan dan menjejerkannya di lahan galian. Tidak terasa sudah menggunung koran selama 6 bulan. Menjelang senja, baru aku kembali ke perkampungan.

Suatu malam, aku tidak pulang. Aku kelelahan dan tertidur di bawah pohon. Saat bangun, kulihat dua pemuda sedang asyik bercengkerama di lokasi pekuburan massal yang tak jauh dariku.

“Mungkin saja bibit pohon itu sudah dia tanam tapi tidak terlihat oleh mata orang biasa,” ujar salah satunya yang sedang mabuk tuak sambil bernyanyi diiringi gitar oleh rekannya.

Malam itu hening dibaluti suara jangkrik bersahutan. Dingin menusuk kulit pemuda mabuk yang keduanya berkain sarung. Suara gitar pun perlahan menghilang. Mereka sudah rebahan tidak sadarkan diri di atas kuburan.

Karena kasihan dan merasa tidak pantas tidur di atas kuburan, satu per satu mereka kuangkat dan kubaringkan di atas tumpukan koran. Kurapikan botol-botol minuman di dekat tubuh-tubuh yang sudah lunglai itu. Kubuatkan api unggun dari ranting-ranting pohon asam yang kering agar mereka tak kedinginan. Setelah itu baru aku pulang ke perkampungan.

***

Suara mencicit burung kutilang terdengar di saat fajar mulai menampakkan wajahnya. Teriakan warga membangunkan tidurku dari atas dipan gubuk di tengah sawah.

“Api menjalar, lari mengungsi, ayo semua lari___!” teriak warga.

Mataku masih mengantuk namun aku berusaha menegakkan leher untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Kobaran api sedang menjilat hampir semua bagian Bukit Meringis. Aku segera berdiri dan menjejakkan kakiku ke tanah. Namun sayangnya, kakiku tak bertapak. Aku melayang di udara.  

Gerakan badanku pun melesat sangat cepat. Dalam sekejap aku sudah berada di lokasi kebakaran. Semua menjadi arang hitam di sekitar area termasuk pohon asam satu-satunya. Kusingkap abu koran yang masih bercampur dengan bara api dan kemudian menemukan 2 pemuda yang kubaringkan tadi malam mati mengenaskan.

Kobaran api semakin menjalar ke perkampungan. Semua rumah habis dilahap oleh lidah si merah yang ganas. Anehnya, warga-warga pun ikut beterbangan seperti diriku. Mereka melayang dan hanya bisa memperhatikan tiang rumah roboh karena telah menjadi arang.

Semakin lama semakin banyak warga yang melayang di atas pulau kecil yang terpencil itu. Semakin aneh saja karena wajah-wajah orang yang sudah lama meninggal pun kembali terlihat. Mereka berduyun-duyun melesat mengikutiku yang menuju ke tepi pantai.

“Bagaimana Tuan kepala adat? Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” tanya semua tubuh-tubuh yang gentayangan itu padaku.

Aku tak tahu harus menjawab apa. Keadaan yang kualami saja pun masih membingungkan. Aku hanya bisa terdiam.

“Kebakaran besar di pulau ini karena ada yang membakar pohon asam di atas bukit. Bukankah kau yang melakukannya, Tuan? Aku melihatmu di malam kebakaran,” ujar Pak Sopyan, lelaki yang baru saja meninggal 2 minggu lalu, dengan mengarahkan telunjuknya padaku.

“Aku memang ada di sana tapi bukan aku yang membakar pohon itu,” pungkasku membela diri. Memang bukan aku kan yang melakukannya?

Semua mata menatap tajam padaku. Wajah mereka berubah mengerikan. Mata merah dengan sorotan buas tampak seperti ingin melahapku. Saat mereka bergerombol berjalan mengepung, satu per satu tubuh mereka berjatuhan dan berubah menjadi beragam binatang. Ada yang menjadi kura-kura, kepiting, burung dan kerang.

Kepungan berhenti karena semua sedang memanjatkan doa bermohon untuk reinkarnasi menjadi makhluk lain. Ada yang seketika berubah menjadi kucing, anjing, dan bahkan sapi. Semua binatang itu pun berkumpul membentuk lingkaran.

“Sekarang kita harus memilih siapa kepala adat yang baru,” tegas Pak Sopyan yang telah berubah menjadi sapi jantan.

“Jangan pilih Pakis lagi!” teriak sekumpulan kura-kura.

Aku masih melayang di udara dan bingung mau berubah menjadi apa. Roh kedua pemuda yang mabuk itu pun belum kujumpai. Aku penasaran apakah mereka ada pada salah satu kelompok binatang yang sedang berkumpul itu. Mataku sambil mencari-cari.

Reinkarnasi hanya bisa menjadi makhluk yang ada di pulau itu. Aku sudah bermohon untuk menjadi singa namun sepertinya permohonanku ditolak. Aku juga berdoa menjadi lumba-lumba dan lagi-lagi ditolak.

Pikiranku masih saja tertuju pada siapa yang membakar pohon itu sebenarnya. Apakah mungkin api unggun yang kubuat membakar semua lahan? Perlahan aku pun mulai merasa berdosa.

Seketika tubuhku jatuh dari udara dan berubah menjadi pohon asam. Semua panik berteriak dan berharap agar aku tak menjadi pohon.

“Kita sudah sering terkutuk gara-gara merusak pohon, kenapa kau berubah lagi menjadi momok yang sama?” keluh mereka sambil  berdoa agar aku dirubah menjadi makhluk selain pohon.

Aku masih ingat bagaimana kejadian sebelum bencana pandemi virus terjadi. Beberapa pengusaha dari pulau seberang membayar mahal untuk kayu-kayu besar yang bisa mereka tebang. Sebagai manusia, aku pun tergiur tawarannya.

Karena menjadi kepala adat yang sekaligus menjadi pemimpin di kampungku, aku mengatur rencana agar warga tidak mengeluhkan kebijakan yang kuputuskan. Mengumpulkan koran baru adalah ritual yang harus dilakukan. Kertas koran berasal dari pohon yang ditebang maka harus ditanam kembali ke tanah untuk tumbuh menjadi tunas baru. Itu hanyalah akal-akalanku saja. Kulakukan demikian agar berita di koran mengenai penebangan pohon besar-besaran yang dikritik masyarakat luar pulau, tidak sampai diketahui oleh warga.

Mujarabnya, strategiku ini dipercaya oleh mereka. Pesta besar kugelar. Ratusan kerbau disembelih untuk dibagikan kepada warga dan seperti biasa separuhnya untukku.

Namun sayangnya, pesta adat sepertinya dimurkai. Bencana virus pun melanda dan menewaskan hampir separuh penghuni pulau.

Aku masih diberikan kesempatan kedua kali untuk memilih media reinkarnasiku. Aku penasaran pada kedua roh pemabuk yang masih menghilang. Aku pun kemudian berdoa agar bisa bertemu dengan mereka.

Semua binatang bersorak sorai melihat tubuhku menghilang seketika. Mereka senang aku tidak menjadi pohon.

***

Kali ini aku seperti berada di dunia lain. Tak ada bentuk kehidupan seperti yang pernah kutinggali. Sekeliling kulihat makhluk yang  sangat kecil hampir seukuranku. Aku tak berkaki, bertangan apalagi berkepala. Anehnya aku masih seperti diriku yang dulu, masih bisa berpikir dan memiliki perasaan.

“Selamat datang, Pakis, di dunia virus,” ujar dua makhluk di depanku.

Aku mengenal suara itu. Ternyata, dua pemabuk yang kucari itu telah menjadi virus.

“Bersiap!” perintah mereka di hadapan jutaan makhluk lain yang seukuran dengan kami.

“Sebentar,” hardikku, “Kenapa kalian memohon bereinkarnasi menjadi virus?”

“Ah, kau kan tahu apa pekerjaan kami selama menjadi manusia? Pemabuk. Apa bisa kami menjadi sapi, kerbau, kepiting dan yang lainnya? Makhluk yang jahat tetaplah jahat, Pakis. ”

Aku terdiam kesekian kali. Sikap rakusku membawa pengaruh buruk bagi warga lain. Karena pikirankulah, mereka telah merasakan derita.

“Pakis, ikuti perintah! Aku komandanmu sekarang,” ujar salah satu pemabuk itu, “Kita bersiap untuk menyerang manusia di seberang pulau.”

Aku tunduk dan pasrah mengikuti perintah di depanku. Virus-virus lain berlari cepat melewati bahkan menabrak virus yang berjalan lambat sepertiku. Mereka sangat berhasrat untuk membunuh. Aku ikuti mereka terbang melayang semakin menjauh dari Bukit Meringis sambil menangis (*).

(Oleh: Irfan HT)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun