“Inilah pohon-pohon yang kutanam,”ujarku sambil berdiri menunjuk sekeliling area dengan jari telunjukku.
Semua orang melihat ke kiri dan ke kanan. Mereka tak melihat apa-apa. Hanya ada pohon asam satu-satunya di tengah kuburan massal. Karena menganggap aneh, sebagian besar warga beranggapan kalau aku sudah gila.
Setiap hari aku terus menggali dan menggali. Setumpuk demi setumpuk koran baru kukumpulkan dan menjejerkannya di lahan galian. Tidak terasa sudah menggunung koran selama 6 bulan. Menjelang senja baru aku kembali ke perkampungan.
Suatu malam, aku tidak pulang. Aku kelelahan dan tertidur di bawah pohon. Saat bangun, kulihat dua pemuda sedang asyik bercengkerama di lokasi pekuburan massal yang tak jauh dariku.
“Mungkin saja bibit pohon itu sudah dia tanam tapi tidak terlihat oleh mata orang biasa,” ujar salah satu pemuda yang sedang mabuk tuak sambil bernyanyi diiringi gitar oleh rekannya.
Malam itu hening dibaluti suara jangkrik bersahutan. Dingin menusuk kulit pemuda mabuk yang keduanya berkain sarung. Suara gitar pun perlahan menghilang. Mereka sudah rebahan tidak sadarkan diri di atas kuburan.
Karena kasihan dan merasa tidak pantas tidur di atas kuburan, satu per satu mereka kuangkat dan kubaringkan di atas tumpukan koran. Kurapikan botol-botol minuman di dekat tubuh-tubuh yang sudah lunglai itu. Kubuatkan api unggun dari ranting-ranting pohon asam yang kering agar mereka tak kedinginan. Setelah itu baru aku pulang ke perkampungan.
***
Suara mencicit burung kutilang terdengar di saat fajar mulai menampakkan wajahnya. Teriakan warga membangunkan tidurku dari atas dipan gubuk di tengah sawah.
“Api menjalar, lari mengungsi, ayo semua lari___!” teriak salah satu warga.
Mataku masih mengantuk namun aku berusaha menegakkan leher untuk melihat apa yang sedang terjadi.