Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ada Tangis di Bukit Meringis

22 Juli 2024   05:20 Diperbarui: 22 Juli 2024   05:26 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua binatang bersorak sorai melihat tubuhku menghilang seketika. Mereka senang aku tidak menjadi pohon.

***

Kali ini aku seperti berada di dunia lain. Tak ada bentuk kehidupan seperti yang pernah kutinggali. Sekeliling kulihat makhluk yang  sangat kecil seukuranku. Aku tak berkaki, bertangan apalagi berkepala. Anehnya aku masih seperti diriku yang dulu, masih berpikir dan memiliki perasaan.

“Selamat datang, Pakis, di dunia virus,” ujar dua makhluk di depanku.

Aku mengenal suara itu. Ternyata, dua pemabuk yang kucari itu telah menjadi virus.

“Bersiap!” perintah mereka di hadapan jutaan makhluk lain yang seukuran dengan kami.

“Sebentar,” hardikku, “Kenapa kalian memohon bereinkarnasi menjadi virus?”

“Ah, kau kan tahu apa pekerjaan kami selama di dunia? Pemabuk. Apa bisa kami menjadi sapi, kerbau, kepiting dan yang lainnya? Makhluk yang jahat tetaplah jahat, Pakis. ”

Aku terdiam kesekian kali. Sikap rakusku membawa pengaruh buruk bagi warga lain. Karena pikirankulah, mereka telah merasakan derita.

“Pakis, ikuti perintah! Aku komandanmu sekarang,” ujar salah satu pemabuk itu, “Kita bersiap untuk menyerang manusia di seberang pulau.”

Aku tunduk dan pasrah mengikuti perintah di depanku. Virus-virus lain berlari cepat melewati bahkan menabrak virus yang berjalan lambat sepertiku. Mereka sangat berhasrat untuk membunuh. Aku ikuti mereka terbang melayang semakin menjauh dari Bukit Meringis sambil menangis (*).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun