Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ada Tangis di Bukit Meringis

22 Juli 2024   05:20 Diperbarui: 22 Juli 2024   05:26 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kobaran api sedang menjilat hampir semua bagian Bukit Meringis. Aku segera berdiri dan menjejakkan kakiku ke tanah. Namun sayangnya, kakiku tak bertapak. Aku melayang di udara.  

Gerakan badanku pun melesat sangat cepat. Dalam sekejap aku sudah berada di lokasi kebakaran. Semua menjadi arang hitam di sekitar area termasuk pohon asam satu-satunya. Kusingkap abu koran yang masih bercampur dengan bara api dan kemudian menemukan 2 pemuda yang kubaringkan tadi malam mati mengenaskan.

Kobaran api semakin menjalar ke semua perkampungan. Semua dilahap lidah si merah yang menjalar ganas. Anehnya, warga-warga pun ikut beterbangan seperti diriku. Mereka melayang dan hanya bisa memperhatikan tiang rumah roboh karena telah menjadi arang.

Semakin lama semakin banyak warga yang melayang di atas pulau kecil yang terpencil itu. Semakin aneh saja karena wajah-wajah orang yang sudah lama meninggal pun kembali terlihat. Mereka berduyun-duyun melesat mengikutiku yang menuju ke tepi pantai.

“Bagaimana Tuan kepala adat? Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” tanya semua tubuh-tubuh yang gentayangan itu padaku.

Aku tak tahu harus menjawab apa. Keadaan yang kualami saja pun masih membingungkan. Aku hanya bisa terdiam.

“Kebakaran besar di pulau ini karena ada yang membakar pohon asam di atas bukit. Bukankah kau yang melakukannya, Tuan? Aku melihatmu di malam kebakaran,” ujar Pak Sopyan, lelaki yang baru saja meninggal 2 minggu lalu, dengan mengarahkan telunjuknya padaku.

“Aku memang ada di sana tapi bukan aku yang membakar pohon itu,” pungkasku membela diri. Memang bukan aku kan yang melakukannya?

Semua mata menatap tajam padaku. Wajah mereka berubah mengerikan. Mata merah dengan sorotan buas tampak seperti ingin melahapku. Saat mereka bergerombol berjalan mengepung, satu per satu tubuh mereka berjatuhan dan berubah menjadi beragam binatang. Ada yang menjadi kura-kura, kepiting, burung dan kerang.

Kepungan berhenti karena semua sedang memanjatkan doa bermohon untuk reinkarnasi menjadi makhluk lain. Ada yang seketika berubah menjadi kucing, anjing, dan bahkan sapi. Semua binatang itu pun berkumpul membentuk lingkaran.

“Sekarang kita harus memilih siapa kepala adat yang baru,” tegas Pak Sopyan yang telah berubah menjadi sapi jantan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun