Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cincin tak Dipanggil, Hilang tanpa Pamit

11 Mei 2024   20:46 Diperbarui: 12 Mei 2024   04:28 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar Pixabay.com

Aku Misya. Seorang gadis lajang berusia tak remaja lagi.  Lulus sarjana sudah 3 tahun tapi aku belum juga bekerja. Aku tinggal bersama ayahku yang seorang petani sekaligus sandro di sebuah kampung di pelosok Sumbawa. Ibu sudah lama meninggalkan kami karena lebih memilih hidup dengan  lelaki lain dan sekarang tinggal di Mataram.

Panen jagung melimpah tahun ini. Beberapa warga desa kami sepakat berwisata ke pantai. Sudah lama orang-orang di kampung itu tidak ke kota. Maklumlah kami dari desa di atas bukit yang cukup jauh letaknya dari kota Sumbawa.

Tiga mobil pick up membawa rombongan dari kampung menuju Pantai Baru. Sebuah pantai yang biasa saja tapi bagi kami, tempat itu menjadi surga bagi orang-orang yang jarang melihat air laut.

"Turin, turin..., kam dapat," ucap supir di depan menyuruh turun karena telah sampai di tujuan.

Kami tiba pukul 10.00 Wita. Semua berhamburan dan berlari menuju tepi pantai.

"Na, do do, anak e...," teriak seorang ibu pada anaknya untuk tidak pergi terlalu jauh.

Aku kebagian tugas menjaga bekal dan perlengkapan makanan. Kududuk sambil merenung. Sepi kurasa tanpa pendamping hidup.

Seorang pemuda terlihat sedang bolak balik di depan mataku. Kelihatan wajahnya murung dan cemas mencari sesuatu di atas tanah. Aku penasaran dan ingin tahu apa yang sedang dicarinya.

"Lagi cari apa?"

Pria itu tak menghiraukan pertanyaanku. Dia terus mencari sesuatu sambil menepiskan dedaunan kering di sekitar akar pohon besar.

Merasa putus asa dan lelah mencari, dia duduk di tangga taman. Dia melepas topinya dan membentangkan kedua tangan ke belakang. Kulihat sepertinya dia haus. Namun saat kutawarkan minum air kelapa muda yang kupesan, dia menolak.

"Aku sudah mencari dari tadi, Dik,"

"Cari apa?" tanyaku.

"Sebuah cincin."

Aku berdiri dan mencoba membantunya mencari di sekitar tempatku berada. Sudah bolak balik namun tak ketemu juga.

"Wanita yang ingin kulamar tadi melemparkan cincin itu," ujarnya sambil tertunduk lesu.

"Dia menolak nikah denganku," lanjutnya.

Bapakku tiba-tiba datang menghampiri. Aku bercerita dan berharap dia membantu mencari karena dia adalah seorang sandro, orang yang dianggap sakti.

"Percuma dicari, cincin itu belum dibuang," kata bapakku.

"Dia buang, Pak, aku melihatnya dibuang," kilah pemuda itu.

Seperti biasa, bapak tak banyak omong.  Dia pergi meninggalkan kami.

"Maaf ya, bapakku memang seperti itu. Dia tidak banyak bicara."

"Gak apa-apa. Oh, ya, perkenalkan namaku Wiro."

"Aku Misya."

Teriakan anak-anak dan ibunya yang berlari dari arah pantai membuyarkan percakapan kami. Sepertinya mereka sudah lapar. Bersama ibu-ibu yang lain, aku membuka satu per satu bungkusan nasi dan lauk yang sudah kujaga dari tadi.

"Maaf Mbak Misya saya ijin pergi, sampai ketemu lagi," kata pemuda yang bernama Wiro itu padaku.

Aku pun hanya membalas dengan senyuman.

***

Hari telah sore, semua rombongan bergegas pulang. Mobil melaju meninggalkan Pantai Baru. Aku duduk di mobil paling depan di samping supir. Bapakku ada di mobil paling belakang. Pada saat akan berbelok ke jalan raya, kulihat pemuda yang bernama Wiro tadi masih mencari cincinnya yang hilang. Aku tak sempat menyapa karena mobil sudah berlalu dengan kencang.

Tiba-tiba supir yang merupakan paman, adik dari bapakku bertanya,"Kamu udah umur berapa, Misya? Kenapa belum nemu jodohmu?" 

Jujur saja aku tak suka orang-orang bertanya tentang jodoh. Memang tidak ada gadis seusiaku di kampung yang belum menikah. Aku pun hanya bisa menjawab pamanku itu dengan senyum walau sebenarnya hatiku sedih.

Sesampai di rumah, kuganti pakaian. Saat membuka tas kecil yang tadi kubawa, ada sebuah cincin perak menyelip di saku tas paling depan. Aku bingung itu punya siapa. Aku tak pernah punya perhiasan apalagi membelinya. Kutaruh kemudian cincin itu di atas kasur.  

Selesai maghrib, kurebahkan badan di kasur. Suara cincin terpelanting ke lantai yang belum berkeramik membuatku cepat-cepat beranjak bangun dan mengambilnya.

Kupandangi cincin itu agak lama. Di bagian dalam lingkarnya tertulis nama Wiro & Misya. Aku baru ingat sepertinya itu adalah cincin yang dicari pemuda yang kutemui tadi pagi. Aku agak tersipu malu namaku tertulis di cincin itu. Ternyata perempuan yang mau dilamar tapi malah menolaknya sama dengan namaku.

Saat mencuci piring di kamar mandi, kusampaikan pada bapak niat untuk mengembalikan cincin itu besok namun dilarangnya.

"Kapan-kapan kau bisa kembalikan cincin itu, Nak, tapi bukan sekarang. Kau juga tidak tahu kan dimana alamatnya?"

Ucapan bapak ada benarnya juga. Aku mengurungkan niat untuk pergi besok.

"Pak, Bapak kok tahu kalau cincin itu tidak dibuang? Dan kenapa bisa ada di tas?" tanyaku dengan penuh penasaran.

"Menurut mata batin Bapak, ada seorang wanita yang menyelipkan cincin itu ke tasmu. Dia habis cekcok dan meninggalkan pasangannya."

"Tapi, kenapa bapak tidak memberitahu kalau cincin itu ada di dalam tas? Kan orangnya kasihan, Pak, terus-terusan mencari."

"Misya, ada hal yang tak bisa kita lampaui dari kerjanya Tuhan," pungkasnya.

"Maksudnya, Pak?"

"Tuhan sudah merancang jalan takdir seseorang mengenai jodohnya. Bertengkarnya pasangan tadi adalah jalan yang harus mereka lalui.  Semua ada jalannya masing-masing. Ditolaknya lelaki itu mungkin saat itu saja, tapi besok kita tak tahu, mereka bisa saja bersama kembali."

Bapak mengambil satu piring di antara piring-piring lain yang sedang kucuci. Piring itu masih berlumur busa sabun.

"Ih, Bapak mengganggu saja," keluhku.

 "Nah, kamu marah kan diganggu lagi kerja? Begitu juga Bapak, tak mau mencampuri apa yang sedang dikerjakan Tuhan."

"Tapi lelaki itu kasihan, Pak, mencari terus," protesku.

"Itulah jalan dia mencari jodoh, Nak. Sama seperti kamu yang lagi jomblo. Kamu lagi nyari juga kan? Apa kamu lelah? Kamu sedang menjalani hidup. Apakah kamu lelah menghirup udara ini? Tidak kan? Begitu juga mencari jodoh. Kamu tak akan bisa lelah karena itu adalah bagian perjalanan hidupmu."

Aku mencermati setiap ucapan bapak. Kubasuh tangan setelah menyelesaikan cucian. Kemudian, kupeluk lengan kanannya sambil menyandarkan kepala di bahunya.

"Pak, Bapak kan sandro, kenapa gak bisa baca siapa jodohku?" bujukku dengan manja.

"Bapak memang sandro, Nak. Tapi masalah jodoh, bukan pekerjaanku. Coba perhatikan, banyak orang yang patah hati lantas bunuh diri. Berarti dia mencampuri pekerjaan Tuhan. Dia ragu akan kerjaNya. Kira-kira Tuhan marah gak?"

Aku terdiam.

Saat asyik ngobrol, tiba-tiba notifikasi emailku berbunyi.

Misya, lamaran kerjamu diterima di perusahaan tambang di Sumbawa. Minggu depan anda sudah bisa bekerja.

Kubaca berulangkali isi pesan itu di depan bapak.

Aku girang sekali karena sudah lama menganggur. Bapak juga sangat senang karena malu dengan tetangga yang anak-anaknya tidak berkuliah tapi sudah bekerja di luar negeri.

***

Hari yang ditunggu pun tiba. Informasi selanjutnya di email disebutkan bahwa aku akan dijemput dari desa pukul 08.00 Wita oleh supir perusahaan.

Hatiku sangat senang sekali di pagi ini. Sayangnya, bapak sudah pergi duluan ke ladang untuk bertanam kacang hijau.

Tak lama menunggu, suara klakson mobil terdengar,"Tet, tet...,"

Kulihat supir keluar dari mobil. Alangkah terkejutnya aku melihat lelaki yang cincinnya kusimpan ternyata sudah berada di depan rumah.

Aku buru-buru ke kamar dan mencari cincin itu.

"Maaf, Mbak, bisa kita berangkat sekarang?" suara lelaki itu terdengar dari luar sambil menelpon seseorang.

Aku sudah berusaha mencari namun cincin itu entah kemana perginya. Bapak pun tak ada di rumah. Tak ada yang bisa kutanya tentang keberadaan cincin itu. Aku pun panik.

"Lho, Mbak Misya ya?" tanya pemuda itu kaget.

"Eh, ternyata Mas Wiro," sapaku dengan gugup padahal aku sudah tahu siapa dia dari tadi.

"Ayo, Mbak kita langsung berangkat saja."

Aku mengangguk dan langsung menuju mobil.

Di perjalanan, Mas Wiro lebih banyak bercerita. Dia membahas keindahan Lombok, tempat lahirnya. Musik nostalgia tahun 90-an pun menemani perjalanan kami.

Sepertinya cincin itu sudah dia lupakan tapi bagiku tidak. Sekilas kuberhayal kalau Mas Wiro melamarku dengan cincinnya seperti yang dia lakukan dulu pada wanita pujaannya. 

Entahlah, jodoh memang rahasia Ilahi. Aku harus tetap menjalankan hidup dengan bahagia walau jodohku belum kelihatan. Ya, seperti perjalanan mobil kami menuju lokasi tujuan. Biar jauh, aku tetap senang dan menikmati indahnya perjalanan.

Yang pasti, cincin itu telah datang memberi tanda. Tapi sayang, dia hilang tanpa pamit memberitahu Wiro mana yang akan menjadi jodohku. Apakah Wiro yang di samping ataukah ada Wiro yang lain.

Sandro : adalah sebutan untuk orang-orang sakti dengan ilmu supranatural ala sumbawa 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun