"Maaf ya, bapakku memang seperti itu. Dia tidak banyak bicara."
"Gak apa-apa. Oh, ya, perkenalkan namaku Wiro."
"Aku Misya."
Teriakan anak-anak dan ibunya yang berlari dari arah pantai membuyarkan percakapan kami. Sepertinya mereka sudah lapar. Bersama ibu-ibu yang lain, aku membuka satu per satu bungkusan nasi dan lauk yang sudah kujaga dari tadi.
"Maaf Mbak Misya saya ijin pergi, sampai ketemu lagi,"Â kata pemuda yang bernama Wiro itu padaku.
Aku pun hanya membalas dengan senyuman.
***
Hari telah sore, semua rombongan bergegas pulang. Mobil melaju meninggalkan Pantai Baru. Aku duduk di mobil paling depan di samping supir. Bapakku ada di mobil paling belakang. Pada saat akan berbelok ke jalan raya, kulihat pemuda yang bernama Wiro tadi masih mencari cincinnya yang hilang. Aku tak sempat menyapa karena mobil sudah berlalu dengan kencang.
Tiba-tiba supir yang merupakan paman, adik dari bapakku bertanya,"Kamu udah umur berapa, Misya? Kenapa belum nemu jodohmu?"Â
Jujur saja aku tak suka orang-orang bertanya tentang jodoh. Memang tidak ada gadis seusiaku di kampung yang belum menikah. Aku pun hanya bisa menjawab pamanku itu dengan senyum walau sebenarnya hatiku sedih.
Sesampai di rumah, kuganti pakaian. Saat membuka tas kecil yang tadi kubawa, ada sebuah cincin perak menyelip di saku tas paling depan. Aku bingung itu punya siapa. Aku tak pernah punya perhiasan apalagi membelinya. Kutaruh kemudian cincin itu di atas kasur. Â