Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ini Budi dan Ani

3 Mei 2024   06:46 Diperbarui: 3 Mei 2024   08:05 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar www. goodnewsfromindonesia.id

"I-ni Bu-di."

"I-ni Ba-pak Bu-di."

"I-ni I-bu Bu-di."

Terdengar beriringan suara murid-murid berseragam merah putih di dalam ruang kelas berdinding kayu. Salah satunya berada di depan. Dia menggenggam kayu penggaris panjang dan menunjuk tiap kata yang telah ditulis ulang oleh guru dari buku. Murid yang lain mengikuti sampai selesai.

"Bu guru, Budi itu siapa?" tanyaku.

Guru wanita separoh baya itu sontak kaget kemudian menyuruh murid lain diam karena tertawa akan pertanyaanku.

"Diam semua, ayo ikuti!" kata beliau sambil menggeprak meja.

Orang-orang di dalam kelas menganggap pertanyaanku itu candaan padahal tidak. Aku ingin tahu kenapa harus Budi yang dibicarakan. Siapa Budi itu sebenarnya. Aku pun penasaran.

Aku belajar membaca tapi tidak tahu apa yang kubaca. Tak ada yang bisa memberiku jawaban memuaskan.

"Sudah ndak usah nanya macam-macam, yang penting kamu bisa baca dulu," kata guru setiap aku bertanya hal itu.

"A-ni,"

"A-ni Ka-kak Bu-di," lanjut temanku di depan dan kami ikuti lagi.

Otakku makin panas mendengarnya.

"Siapa lagi Ani ini sedangkan Budi masih misteri," pikirku.

Kubawa buku belajar membaca itu ke rumah. Aku tak bisa tidur kalau apa yang membuat pikiranku belum tuntas. Kucari nama penulis di bagian bawah sampul buku tapi tak ada satu pun. Disitu hanya tertulis nama Balai Pustaka dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

"Sepertinya penulis buku ini adalah  Balai Pustaka. Tapi dia laki-laki atau perempuan, ya?" bingungku bertambah.

Keesokan pagi, ibu guruku yang cerewet tapi baik hati masuk ke kelas kami. Beliau memeriksa apakah semua murid sudah mengerjakan PR atau belum. Kami ditugaskan untuk menulis kembali apa yang sudah dibaca di pertemuan sebelumnya.

Syukurnya semua murid telah selesai mengerjakan tugas. Kami memang takut dengan penggaris kayu guru. Konon katanya, penggaris itu sudah melegenda turun temurun dari kakek beliau yang juga seorang guru.

"Ayo anak-anak, satu per satu bercerita ya...,"  perintah Bu Ningsih, nama guru kami itu.

"Sebut satu nama orang. Bisa teman kalian atau siapapun yang suka membuat masalah pada kalian," lanjut beliau.  

Semuanya terdiam tak ada yang menanggapi. Ada yang merasa tidak enakan pada kawan-kawan di kelas. Ada yang malu-malu tapi pengen ditemani kawan sebangkunya. Tapi tidak bagiku. Aku tunjuk tangan dan maju dengan berani. Semua terdiam sejenak. Kawan sekelasku khawatir kalau nama mereka kusebut sebagai orang yang membuat masalah.

"Ya, Rivai silahkan bercerita, Nak."

"Aku tidak kenal orang ini. Tapi dia membuat masalah dalam pikiranku," pungkasku.

"Siapa dia? Apakah ada di kelas ini?" tanya Bu Ningsih penasaran.

"Mungkin, Bu."

Semuanya saling pandang dan menuduh teman yang di sampingnya.

"Kamu itu pelit, gak kasih jajan ama Rivai," kata seorang anak perempuan yang juga adalah putri kandung Bu Ningsih pada anak lelaki di barisan meja kedua.

"Kamu ya, jangan-jangan. Suka narik-narik baju Rivai," balas anak laki itu sambil tertawa lepas.

Suara di dalam kelas semakin berisik. Guru kemudian membanting penggaris kayunya ke papan tulis hitam. Sontak semua murid kaget termasuk aku sendiri. Jantungku selalu berpacu kencang setiap guru itu mengajar. Tidak hanya bu Ningsih, hampir semua guru berperilaku yang sama. Malah ada guru lain yang suka mencubit betis kami kalau datang terlambat dan tidak mengerjakan PR. Tapi kami mencintai guru-guru kami itu. Ada pesan yang membekas di hatiku di balik kerasnya mereka.

"Ayo, Rivai, kasih tahu siapa orangnya," teriak teman-temanku.

"Balai Pustaka," ucapku dengan tegas.

Semua melongo termasuk Bu Ningsih.

"Siapa itu?"

"Dia menuliskan buku yang sering kita baca, Bu," jawabku.

"Kenapa memangnya, Rivai?" tanya Bu Ningsih.

"Sampai saat ini aku tak tahu siapa Budi dan Ani dalam buku yang ditulisnya, Bu."

Tumben semua teman sekelasku terdiam. Biasanya kalau aku bertanya tentang dua nama itu mereka selalu mengejek pertanyaanku.

"Emangnya kenapa kamu harus kenal mereka, Vai?" tanya ibu guru itu lagi.

"Ayah dan ibu selalu mengajarkan kami arti nama dalam keluarga, Bu. Namaku  Rivai artinya tinggi dan mulia."

"Kalo Budi dan Ani artinya apa, Bu?" tanyaku balik.

Bu Ningsih terlihat gagap ditanya tiba-tiba.

"Anu..., Budi itu orang yang berbuat baik sedangkan Ani itu perempuan yang cantik."

"Kenapa harus si Budi dan Ani, Bu? Apakah Rivai itu bukan orang yang baik?"

Kali ini kening bu Ningsih berkernyit.

"Ya, itu hanya contoh yang mudah dipahami anak-anak, Rivai," jawab beliau meyakinkanku.

Aku tetap belum puas dengan jawabannya. Ingin sekali bertanya langsung pada penulis buku itu, Balai Pustaka. Tapi aku tak tahu harus menemuinya dimana.

***

Di tahun 2016, saat aku berstudi magister di Jakarta, Bu Ningsih menelponku dari kampung.

"Rivai, penulis buku yang kamu cari sudah ada di daerah Karet Bivak, Jakarta. Maaf ya, Nak. Ibu juga baru tahu," tegas beliau.

Namun saat melanjutkan bicaranya,  "Lagi ada acara___,"suara terputus tiba-tiba.

"Setahuku Karet Bivak adalah lokasi pemakaman. Apa nanti aku tidak mengganggu orang yang sedang ada acara? Penulis itu ada acara apa ya di pemakaman?"ujarku dalam hati.

Kupacu sepeda motor menuju lokasi yang tak jauh dari tempat kuliahku. Sesampai disana, kulihat ada rombongan berkerumun. Tidak terlalu ramai. Namun aku baru sadar apakah orang yang kucari adalah pria atau wanita. Kutanya kembali lewat pesan singkat pada Bu Ningsih. Tak lama langsung dibalasnya.

 "Oh berarti dia wanita," sadarku dalam hati setelah membaca.

Kulirik kiri kanan untuk menanyakan nama penulis wanita yang kucari. Namun aku kaget saat kubaca sebuah nama di batu nisan yang baru ditancapkan oleh orang-orang disana. Kucocokkan nama yang dikirim lewat pesan tadi. Ternyata orang yang baru saja dikebumikan itu adalah orang yang selama ini kucari.  

Siti Rahmani Rauf berusia 97 tahun saat meninggal. Aku duduk termenung sambil memikirkan kenapa nama beliau tidak pernah dikenalkan pada kami yang membaca bukunya. Bagaimana generasi muda bisa menghargai suatu karya jika buku lebih terkenal dari penulisnya.

Jutaan murid sekolah dasar dulu pasti pernah bernostalgia dengan buku sederhana itu. Buku yang sakti sehebat penggaris pusakanya Bu Ningsih. Namun kudengar buku itu sudah tidak dipakai lagi di sekolah-sekolah.

Kulihat ada koran bekas dudukan pengunjung di sampingku. Kubaca ada kasus penipuan bermodus masuk pegawai negeri sipil yang dilakukan oleh Rani Ani. Di kolom sampingnya tertulis kasus korupsi proyek di sebuah departemen oleh Budi Cakra. Tiba-tiba kuingat dua nama dulu yang membuatku penasaran, Budi dan Ani. Aku pun senyum-senyum saja.

"Ini pasti bukan Budi dan Ani yang diajarkan di buku dulu," ujarku dalam hati.

Kuberdoa dan memberi penghormatan di depan batu nisan itu sebelum meninggalkan pemakaman.

"Oh Budi, oh Ani, arti namamu sudah tak lagi indah," ucapku sambil berlalu dengan senyum.

Bu Ningsih tiba-tiba menelpon. Beliau mengabarkan kalau istriku baru saja melahirkan anak kembar laki dan perempuan. Aku melompat kegirangan. Kupacu lagi motor menuju klinik bersalin tempat istriku berada. Setiba disana, kusalami Bu Ningsih terlebih dahulu.

"Itulah Budi dan Ani yang kamu cari," ujar beliau sambil menunjuk kedua anakku yang ada di dalam tabung inkubator.

Aku tersenyum bahagia. Kukecup kening istriku yang sedang terbujur lemas.

 "I-ni ba-pak Bu-di," ucapku sambil mengarahkan telunjuk ke dadaku.

"I-ni i-bu Bu-di," ucapku lagi sambil menyentuh ujung hidung istriku.

"I-tu ne-nek Bu-di dan A-ni," sahut istriku sambil menunjuk Bu Ningsih. 

Ya, Bu Ningsih adalah mertuaku sekarang yang juga mantan guru SDku dulu.

Kami pun tertawa terbahak-bahak. Semua orang di sekitar kaget mendengarnya. Ruangan yang hening menjadi ramai. Hanya kami yang tahu kenapa kami tertawa. Bidan dan perawat hanya terheran-heran saja. Dua bayi kecilku juga melotot ke arahku sepertinya mereka setuju kuberi  nama Budi dan Ani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun