"Ya, Rivai silahkan bercerita, Nak."
"Aku tidak kenal orang ini. Tapi dia membuat masalah dalam pikiranku," pungkasku.
"Siapa dia? Apakah ada di kelas ini?" tanya Bu Ningsih penasaran.
"Mungkin, Bu."
Semuanya saling pandang dan menuduh teman yang di sampingnya.
"Kamu itu pelit, gak kasih jajan ama Rivai," kata seorang anak perempuan yang juga adalah putri kandung Bu Ningsih pada anak lelaki di barisan meja kedua.
"Kamu ya, jangan-jangan. Suka narik-narik baju Rivai," balas anak laki itu sambil tertawa lepas.
Suara di dalam kelas semakin berisik. Guru kemudian membanting penggaris kayunya ke papan tulis hitam. Sontak semua murid kaget termasuk aku sendiri. Jantungku selalu berpacu kencang setiap guru itu mengajar. Tidak hanya bu Ningsih, hampir semua guru berperilaku yang sama. Malah ada guru lain yang suka mencubit betis kami kalau datang terlambat dan tidak mengerjakan PR. Tapi kami mencintai guru-guru kami itu. Ada pesan yang membekas di hatiku di balik kerasnya mereka.
"Ayo, Rivai, kasih tahu siapa orangnya," teriak teman-temanku.
"Balai Pustaka," ucapku dengan tegas.
Semua melongo termasuk Bu Ningsih.