Siti Rahmani Rauf berusia 97 tahun saat meninggal. Aku duduk termenung sambil memikirkan kenapa nama beliau tidak pernah dikenalkan pada kami yang membaca bukunya. Bagaimana generasi muda bisa menghargai suatu karya jika buku lebih terkenal dari penulisnya.
Jutaan murid sekolah dasar dulu pasti pernah bernostalgia dengan buku sederhana itu. Buku yang sakti sehebat penggaris pusakanya Bu Ningsih. Namun kudengar buku itu sudah tidak dipakai lagi di sekolah-sekolah.
Kulihat ada koran bekas dudukan pengunjung di sampingku. Kubaca ada kasus penipuan bermodus masuk pegawai negeri sipil yang dilakukan oleh Rani Ani. Di kolom sampingnya tertulis kasus korupsi proyek di sebuah departemen oleh Budi Cakra. Tiba-tiba kuingat dua nama dulu yang membuatku penasaran, Budi dan Ani. Aku pun senyum-senyum saja.
"Ini pasti bukan Budi dan Ani yang diajarkan di buku dulu," ujarku dalam hati.
Kuberdoa dan memberi penghormatan di depan batu nisan itu sebelum meninggalkan pemakaman.
"Oh Budi, oh Ani, arti namamu sudah tak lagi indah," ucapku sambil berlalu dengan senyum.
Bu Ningsih tiba-tiba menelpon. Beliau mengabarkan kalau istriku baru saja melahirkan anak kembar laki dan perempuan. Aku melompat kegirangan. Kupacu lagi motor menuju klinik bersalin tempat istriku berada. Setiba disana, kusalami Bu Ningsih terlebih dahulu.
"Itulah Budi dan Ani yang kamu cari," ujar beliau sambil menunjuk kedua anakku yang ada di dalam tabung inkubator.
Aku tersenyum bahagia. Kukecup kening istriku yang sedang terbujur lemas.
 "I-ni ba-pak Bu-di," ucapku sambil mengarahkan telunjuk ke dadaku.
"I-ni i-bu Bu-di," ucapku lagi sambil menyentuh ujung hidung istriku.