Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penjaga Taman Pustaka

22 September 2024   13:02 Diperbarui: 22 September 2024   13:09 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seharusnya tidak perlu aku dengarkan petuah orang tua itu. Bisa-bisanya dia mengaku sebagai penjaga pengetahuan, nyatanya, semua ucapannya membuatku menderita.

"BRAK!" 

"Apa salah meja ini, kau yang bodoh," protes Bonang dengan logat khas Sumatera Utara, jarinya yang panjang menunjuk wajahku.

"Akh..." kuhalau jarinya yang mengacung di depan wajahku.

"Eh, mau kemana kau?"

"Mati!" teriakku sambil berlalu.

***

Barisan pengetahuan yang lusuh dan berdebu itu tidak lagi dijamah oleh manusia, mereka lebih senang memainkan jari-jari lentiknya di atas layar yang halus ketimbang menjelentikkannya di atas kertas yang kumal, dekil, kucel, kusam dan usang ini.

mereka tidak lagi bangga menggandeng tubuh sintalku. memelukku mesra seharian, sudah bukan zamannya. 

Kemarin Tikus tua itu berkelakar, katanya mereka akan berbondong-bondong mencariku.

Kasihan dia, karena sudah menghabiskan semua tabungannya untuk mempersolek semua lembar-lembar yang penuh dengan pengetahuan itu agar mereka dapat membacanya atau meminjamnya.

Tidak ada batang hidung yang nampak di tempat ini. 

Andai saja dia biarkan Tikus tua itu mati terjepit perangkap yang dipasangnya kemarin malam, mungkin hari ini dia sedang tidur nyenyak malam ini.

Ingin kubunuh Tikus brengsek yang telah berani menipunya.

Memang patut kuakui, mulutnya pandai merangkai kata, membual, membuatku percaya begitu saja, hilang juga akal sehatku.

Atau mungkin sudah sama gilanya aku dengan Tikus tua itu, karena mempercayai ocehannya tentang manusia yang akan datang berbondong-bondong meminangku.

Bualan macam apa itu.

Barisan pengetahuan yang sudah lusuh dan berdebu itu kini bau kencing Tikus, mungkin Tikus tua itu meniru gaya si Tukimin kucing penjaga yang selalu berkeliaran di tempat ini.

Tukimin selalu mengencingi apa pun yang menjadi miliknya, untung saja Tukimin dan Tikus tua itu tidak pernah mengencingi tubuhku.

Kalau sampai mereka berdua melakukan itu, tamat sudah riwayatku. Seharusnya dia meletakkanku di dalam lemari kaca, jauh dari jangkauan Tikus tua yang selalu menggodaku. Setiap hari aku selalu dirayunya, bulu tubuhnya yang berwarna abu-abu itu selalu digesek-gesek ke wajahku yang menjadi sampul halaman depanku.

Dia pikir aku senang, tidak!

Aku benar-benar jijik dengan perbuatannya, aku lebih senang tubuh sintalku yang sudah tidak cantik ini dipeluk mesra oleh manusia. bukan oleh binatang laknat ini.

Aku takut, aku kuatir, Tikus tua ini jadi pintar, karena setiap malam dia berusaha merayuku. Dia berusaha melepas bajuku, membukanya lembar demi lembar. Tapi, aku tetap setia pada manusia.

Tidak, tidak akan kubiarkan Tikus tua itu menjamah tubuhku dengan seenaknya. Aku akan buat perhitungan dengannya.

***

"Entah kapan Tuhan akan menyuruh malaikat maut untuk mencabut nyawa kau, Tikus tua." Ngadimin mengutuk seseorang yang dilihatnya di dalam layar datar yang sedang digenggamnya. Orang itu baru saja mengumumkan sesuatu.

Negara ini sudah tidak lagi pantas disebut remaja, tapi kebijakannya lebih konyol dari pada remaja. Rakyatnya dibiarkan buta dan menjadi tunanetra, mereka tidak memikirkan masa depan bangsanya yang semakin hari semakin lupa cara membaca.

"Diam kau, Min!" ujar Bonang kesal, "sini kau, lebih baik kau bantu aku bereskan semua buku-buku yang bau kencing tikus ini."

"Hei Bonang," colek Ngadimin, "aku bingung sama Pak Sujud," ucapnya sambil celingukkan, matanya seperti sedang mencari seseorang, "kenapa ya dia masih aja mau ngurusin perpustakaan yang sudah bangkrut ini?"

"Asal kau tau aja, buku-buku di sini itu, bukan buku sembarangan," sanggah Bonar, "buku-buku di sini kebanyakan buku koleksi anaknya, tau kau?"

"Percuma Bonang, kamu lihat itu, buku-buku memenuhi ruangan yang besar ini, mereka baris berjajar rapi... tapi ndak ada yang mau membacanya!"

"Berisik, kau."

"Bonang, hidung kamu mengendus bau bangkai tikus apa ndak?" tanya Ngadimin. Hidungnya kembang-kempis karena bau tak sedap yang singgah di bulu moncongnya. 

"Mulut kau yang terlalu dekat dengan hidung," jawabnya sambil tertawa.

Ngadimin kesal, dia pergi meninggalkan Bonar yang sedang sibuk membersihkan debu-debu serta bau pesing tikus dari tumpukan buku-buku di perpustakaan milik pak Sujud yang menjadi satu-satunya perpustakaan di daerah ini.

***

Lalat sudah mulai berdatangan, aku berhasil menyingkirkan Tikus tua yang bejat itu. Dia pikir bisa seenaknya saja menggerogoti tubuhku. Biar pun lembar-lembaran tubuhku sudah lusuh, tua dan compang-camping, aku masih dikaruniai pengetahuan yang tidak akan pernah habis dimakan zaman.

Aku sangat berterima kasih kepada Tuhan yang telah menciptakanku, dia memang layak dipanggil Tuhan. Berkatnya aku memiliki pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia.

Sayangnya, manusia di zaman ini enggan untuk membolak-balik tubuhku. Bercumbu mesra dengan lembar-lembar yang menguning juga bau. Hanya si Tikus tua itu saja yang mau meraba-raba tubuhku yang sudah tidak muda lagi.

Tapi, Tuhanku tidak pernah putus asa. 

Kemarin lusa, sebelum Tikus tua bejat itu menghembuskan nafas terakhirnya dia sempat bercerita, dia melihat Tuhanku sedang menciptakan makhluk yang sama dengan diriku.

Harapanku hanya satu ketika si tua bejat itu bercerita,semoga saja dia tidak bernasib sama denganku, berakhir di perpustakaan yang kumuh, berdebu yang bau pesing air kencing tikus.

Terkadang, aku iri dengan mereka yang berbaris di rak fiksi ini, tubuh mereka benar-benar padat, gempal dan semok, jumlah halaman tubuh mereka bisa mencapai ribuan lembar. Kalau mendengar mereka bercerita, indah sekali. Tuhan mereka pasti sangat senang dengan khayalan, fantasi atau karena terlalu sering melamun.

Aku juga iri dengan mereka yang duduk rapi di dalam rak lemari kaca itu, sungguh sangat anggun sekali penampilannya serupa ratu yang duduk di kursi singgasananya.Mereka berbaris dengan pakaian yang sama, dengan nama yang sama, lalu berderet sesuai urutannya.

Tuhan yang menciptakannya benar-benar sangat telaten.

Lalat sudah banyak yang datang, sebentar lagi pesta akan dimulai, aku kenal dekat dengan salah satu dari mereka. Lalat itu punya pengetahuan yang luas, dia sering singgah di tubuhku yang sintal.

Aku lebih menyukai lalat ketimbang tikus. 

Meskipun indra penciuman mereka buruk, tapi mereka adalah makhluk yang paling jujur di atas muka bumi ini. Tatkala semua makhluk memuja bunga, mereka, lalat itu tetap saja memilih bangkai.

Dengan bekal 4000 lensa mata, lalat dengan mudah menyerap pengetahuan dari tubuhku juga tubuh teman-temanku yang berbaris rapi di rak-rak itu. Kehadirannya pun tidak mengganggu keberadaanku dan teman-temanku.

Tidak seperti tikus mesum itu.

***

"Psst... Bonar... Bonar," panggil Ngadimin dari kejauhan. Dia sedang berdiri di antara rak buku-buku Fiksi. Wajahnya agak pucat, air mukanya tampak takut.

Bonar menoleh, "Apaan?" balasnya sambil berteriak.

"Sini." Ngadimin melambai-lambaikan tangannya memanggil Bonar untuk beranjak mendekatinya.

"IIIHHHH..." Bonar bergidik ngeri, sorot matanya ciut, "pantas saja kau bilang bau bangkai tadi, Min. Hidung kau itu persis seperti anjing penjinak bom," ucapnya sambil merinding.

"Masih hidup apa udah mati, Nar?" Ngadimin berbisik di telinga Bonar.

"Coba kau tengok," Bonar mendorong Ngadimin.

"Kamu ajalah, Bonar. Aku ndak kuat," Ngadimin berbalik mendorong Bonar.

"Kita lihat bareng aja. Tapi, kau di depan." Bonar bersembunyi di balik punggung Ngadimin.

Mereka berdua berjalan perlahan menyusuri lorong yang dipenuhi buku-buku fiksi yang berbaris rapi menunggu tangan-tangan manusia yang ingin menyetubuhinya. Mereka sudah bersolek dengan eloknya, tidak serupa seperti teman-temannya di rak lain.

Debu pun tidak nampak di barisan rak ini, "Min, kapan kau bersihkan lorong ini?" tanya Bonar penasaran.

"Lorong ini tugas kamu, Bonar!" protes Ngadimin, "kenapa?" 

"Aku tak pernah bersihkan lorong ini, Ngadimin..." Mereka berdua saling tatap, langkah mereka terhenti, "lantas, siapa?" 

"Dia."

***

Salah satu lalat singgah di tubuh sintalku, sementara teman-temanya sedang sibuk mengerubungi bangkai si Tikus tua itu, nampaknya, dia lebih senang mengepakkan sayapnya yang kumuh di antara barisan teman-temanku yang sering dijamah oleh Tikus tua yang sudah tergeletak mati.

Dia perhatikan satu per satu wajah teman-temanku yang anggun, molek dan menawan sebelum akhirnya menghempaskan raganya yang bau itu ke badanku. Pertanyaan aneh dia lontarkan, dia ingin tahu kenapa Tikus tua itu mati?

Lalat yang sinting, atau mungkin malang. Apa pedulinya? Habiskan saja bangkai itu dengan pasukan belatung yang siap mengurai pengetahuan yang ada di otak si Tikus tua. 

Tanpa berbasa-basi aku katakan padanya, dialah pemilik perpustakaan ini.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun