Aku benar-benar jijik dengan perbuatannya, aku lebih senang tubuh sintalku yang sudah tidak cantik ini dipeluk mesra oleh manusia. bukan oleh binatang laknat ini.
Aku takut, aku kuatir, Tikus tua ini jadi pintar, karena setiap malam dia berusaha merayuku. Dia berusaha melepas bajuku, membukanya lembar demi lembar. Tapi, aku tetap setia pada manusia.
Tidak, tidak akan kubiarkan Tikus tua itu menjamah tubuhku dengan seenaknya. Aku akan buat perhitungan dengannya.
***
"Entah kapan Tuhan akan menyuruh malaikat maut untuk mencabut nyawa kau, Tikus tua." Ngadimin mengutuk seseorang yang dilihatnya di dalam layar datar yang sedang digenggamnya. Orang itu baru saja mengumumkan sesuatu.
Negara ini sudah tidak lagi pantas disebut remaja, tapi kebijakannya lebih konyol dari pada remaja. Rakyatnya dibiarkan buta dan menjadi tunanetra, mereka tidak memikirkan masa depan bangsanya yang semakin hari semakin lupa cara membaca.
"Diam kau, Min!" ujar Bonang kesal, "sini kau, lebih baik kau bantu aku bereskan semua buku-buku yang bau kencing tikus ini."
"Hei Bonang," colek Ngadimin, "aku bingung sama Pak Sujud," ucapnya sambil celingukkan, matanya seperti sedang mencari seseorang, "kenapa ya dia masih aja mau ngurusin perpustakaan yang sudah bangkrut ini?"
"Asal kau tau aja, buku-buku di sini itu, bukan buku sembarangan," sanggah Bonar, "buku-buku di sini kebanyakan buku koleksi anaknya, tau kau?"
"Percuma Bonang, kamu lihat itu, buku-buku memenuhi ruangan yang besar ini, mereka baris berjajar rapi... tapi ndak ada yang mau membacanya!"
"Berisik, kau."