Kasihan dia, karena sudah menghabiskan semua tabungannya untuk mempersolek semua lembar-lembar yang penuh dengan pengetahuan itu agar mereka dapat membacanya atau meminjamnya.
Tidak ada batang hidung yang nampak di tempat ini.Â
Andai saja dia biarkan Tikus tua itu mati terjepit perangkap yang dipasangnya kemarin malam, mungkin hari ini dia sedang tidur nyenyak malam ini.
Ingin kubunuh Tikus brengsek yang telah berani menipunya.
Memang patut kuakui, mulutnya pandai merangkai kata, membual, membuatku percaya begitu saja, hilang juga akal sehatku.
Atau mungkin sudah sama gilanya aku dengan Tikus tua itu, karena mempercayai ocehannya tentang manusia yang akan datang berbondong-bondong meminangku.
Bualan macam apa itu.
Barisan pengetahuan yang sudah lusuh dan berdebu itu kini bau kencing Tikus, mungkin Tikus tua itu meniru gaya si Tukimin kucing penjaga yang selalu berkeliaran di tempat ini.
Tukimin selalu mengencingi apa pun yang menjadi miliknya, untung saja Tukimin dan Tikus tua itu tidak pernah mengencingi tubuhku.
Kalau sampai mereka berdua melakukan itu, tamat sudah riwayatku. Seharusnya dia meletakkanku di dalam lemari kaca, jauh dari jangkauan Tikus tua yang selalu menggodaku. Setiap hari aku selalu dirayunya, bulu tubuhnya yang berwarna abu-abu itu selalu digesek-gesek ke wajahku yang menjadi sampul halaman depanku.
Dia pikir aku senang, tidak!