"IIIHHHH..." Bonar bergidik ngeri, sorot matanya ciut, "pantas saja kau bilang bau bangkai tadi, Min. Hidung kau itu persis seperti anjing penjinak bom," ucapnya sambil merinding.
"Masih hidup apa udah mati, Nar?" Ngadimin berbisik di telinga Bonar.
"Coba kau tengok," Bonar mendorong Ngadimin.
"Kamu ajalah, Bonar. Aku ndak kuat," Ngadimin berbalik mendorong Bonar.
"Kita lihat bareng aja. Tapi, kau di depan." Bonar bersembunyi di balik punggung Ngadimin.
Mereka berdua berjalan perlahan menyusuri lorong yang dipenuhi buku-buku fiksi yang berbaris rapi menunggu tangan-tangan manusia yang ingin menyetubuhinya. Mereka sudah bersolek dengan eloknya, tidak serupa seperti teman-temannya di rak lain.
Debu pun tidak nampak di barisan rak ini, "Min, kapan kau bersihkan lorong ini?" tanya Bonar penasaran.
"Lorong ini tugas kamu, Bonar!" protes Ngadimin, "kenapa?"Â
"Aku tak pernah bersihkan lorong ini, Ngadimin..." Mereka berdua saling tatap, langkah mereka terhenti, "lantas, siapa?"Â
"Dia."
***