"Takut apa?" tanyanya, suara Radit tersapu angin sepoi-sepoi yang menyelusuusup ke dalam hatiku.
"Takut jatuh cinta lagi," jawabku, nadaku getir. "Aku takut terluka, takut terperosok dalam rasa sakit  yang sama."
Dia meraih tanganku, jemarinya hangat di tengah dinginnya hujan, "Aku mengerti ketakutanmu," katanya pelan, "tapi aku mau kamu tahu, aku tidak akan menyakitimu. Aku ingin mencintaimu, menjaga, juga membahagiakanmu."
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, ada seseorang yang benar-benar ingin memeluk hatiku yang rapuh ini, seseorang yang ingin mencintaiku tanpa syarat, tanpa pamrih. "Aku..." kataku, suaraku nyaris tak terdengar, "a... aku butuh waktu."
Radit tersenyum, nampak begitu tulus hingga menghangatkan dinginnya sore itu. "Aku akan menunggu," katanya. "Aku akan menunggu sampai kamu siap membuka hatimu sepenuhnya."
Dalam hening yang ditingkahi rintik hujan bersama suara kendaraan yang berlalu-lalang, kami diam.Â
Dalam keheningan itu, ada sesuatu yang perlahan tumbuh di antara kami, sebuah benih cinta yang perlahan mengakar.Â
Apakah mungkin cinta kembali hadir setelah berkali-kali patah hati? Aku tak tahu jawabannya, mungkin tak akan pernah tahu. Tapi satu hal yang pasti : aku ingin memberi kesempatan pada Radit.Â
Aku ingin merasakan cinta yang selama ini kucari---cinta yang murni, tanpa bayang-bayang luka masa lalu.Â
Cinta pertama setelah luka dan akan menjadi yang terakhir.
***