Nayla duduk di tepi pantai, membiarkan kakinya menyentuh pasir yang dingin, matanya terbenam pada hamparan laut yang tiada berujung. Angin membawa serta kelamnya lautan, menggulung masa-masa indah yang telah hilang ditelan waktu.Â
Terngiang jelas dalam ingatannya, senyum lembut Radit saat ia berkata, "Aku akan selalu ada untukmu, Nayla. Aku akan selalu menjagamu, apapun yang terjadi." Kini, janji itu terdengar bagai gema nan jauh di lubuk hati, tak lebih dari sekedar bayangan yang redup.Â
Nayla tenggelam dalam kenangan yang perlahan karam di tengah samudera tak bernama, teringat tawa Radit, suaranya yang dulu menenangkan di setiap keresahannya, tatapan yang penuh cinta.
Mereka berdua pernah membuat dunia tak membutuhkan apapun lagi. Tapi kini, yang tersisa hanyalah kesunyian berbalut duka yang merambat seperti kabut.
Air mata turun perlahan, sama seperti embun yang jatuh dari daun di pagi yang dingin.Â
Nayla rindu dengan sentuhan lembut Radit, bisikan suaranya, kehangatan cintanya. Di relung hatinya, dia bertanya, mengapa takdir begitu kejam? Mengapa cintanya harus direnggut?Â
Radit, lelaki yang pernah menggenggam jantung hatinya, telah tiada.Â
Bukan karena perpisahan yang dibumbui kata-kata pahit, bukan pula karena amarah yang membara. Takdir, dalam diamnya yang dingin, merenggut Radit dengan kekejamamnya. Penyakit itu datang tiba-tiba, bak badai yang meluluhlantakkan segalanya, menyisakan kehampaan di hati Nayla.
Kata-kata terakhir Radit berputar di pikirannya, "Aku mencintaimu, Nayla. Aku akan selalu mencintaimu." Kalimat itu menjadi lentera yang redup, menggantung di dalam kegelapan hidupnya.
Meski tak lagi di sisinya, Nayla tahu cinta Radit akan selalu hidup dalam denyut nadinya, menyinari setiap langkahnya yang kini terasa berat. Kenangan tentang Radit menjadi cahaya kecil yang tak pernah padam, terukir abadi di hatinya.Â
Ia berdiri perlahan, menatap langit senja yang berpendar merah, nampaknya senja menangisi duka yang sama. Hidupnya tak akan lagi seperti dulu.Â