Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Untuk Selamanya

15 September 2024   14:39 Diperbarui: 15 September 2024   14:40 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar oleh Min An dari pexel.com

Cinta pertama, layaknya bisikan angin di penghujung senja, datang tanpa tanda, menyentuh palung jiwa. Dia hadir bagai embun yang menetes di pagi hening, menelusup perlahan ke dalam hati yang masih perawan oleh rasa. Setiap tatap, setiap sentuh, menjadi puisi tanpa notasi, kidung yang tak terdengar, namun gemanya menggaung dalam relung terdalam, mengisi ruang-ruang sunyi yang penuh dengan harapan .

Di hadapannya, dunia tampak lebih cerah, waktu melambat, ada asa menggantung di udara bak aroma yang baru mekar. Cinta pertama bukanlah tentang kesempurnaan, melainkan tentang kebesaran hati yang mampu menerima segala kegamangan berbalut ketidakpastian, karena dia hadir tanpa syarat, murni seperti hujan yang turun di musim kemarau. Meski mungkin kelak dia akan pudar, tapaknya akan selalu tinggal, menyelinap dalam kenangan, menjadi cerita indah yang tak pernah lekang dan terus terbisik di dalam hati.

Hari-hariku terasa seperti putaran piringan hitam, berputar dan berputar dan terus berputar tanpa henti. Bangun, bekerja, makan, tidur, begitu seterusnya. Aku, terjebak dalam rutinitas yang membosankan, tak bernyawa.  

Hingga suatu hari, dia muncul.  

Cinta. 

Tapi, ini bukan cinta yang biasa. Ini adalah cinta yang berbeda. Cinta yang membuatku merasa hidup. Cinta yang membuatku ingin terbang.  

Cinta yang membuatku ingin menari di bawah hujan. Cinta yang membuatku ingin berteriak ke seluruh penjuru dunia, "Aku mencintainya!"

Apa mungkin cinta hadir setelah berkali-kali patah hati?  

Aku tidak tahu. Yang aku tahu, jantungku berdebar kencang tiap kali mataku bertemu dengan matanya. Sorot itu dengan mudah mencairkan es yang selama ini membeku di hatiku. 

Aku ingin tahu lebih banyak tentangnya, siapa dia sebenarnya? laki-laki di balik senyum menawan itu. Meskipun kami sering berjumpa karena mengajar di universitas yang sama, kami jarang bertegur sapa. 

Dia benar-benar menjiawai perannya sebagai dosen Filsafat, sangat pendiam hanya tersenyum.

Aku nekat. Suatu sore, aku memberanikan diri. Kutarik napas dalam-dalam lalu berkata, "Aku mau tahu lebih banyak tentang kamu."

Dia tersenyum, matanya berbinar. "Tentang apa?" tanyanya, suaranya lembut bagai bisikan angin di antara dedaunan.

"Semua tentang kamu," jawabku kikuk.

Dia terdiam sejenak, matanya merenungkan pertanyaan itu. "Aku senang menulis," balasnya, "aku menulis cerita, puisi, juga lagu. Aku menciptakan dunia baru, negeri yang penuh imajinasi yang sarat emosi."

Tiba-tiba jantungku berdebar kencang. Menulis? "Aku juga suka menulis,," kataku, "tapi, aku tidak pernah serius, aku takut dengan penilaian orang terhadap tulisanku."

Dia tersenyum, "Kenapa harus takut? Setiap orang punya ceritanya sendiri untuk diceritakan."

Kata-katanya meresap hingga ke relung terdalam, mengetuk lembut pintu hatiku, membungkus kami dalam keheningan, menciptakan ikatan yang tak kasat mata, sebuah simpul pemahaman yang tak perlu diucapkan, namun terasa sangat nyata. 

Bagai aliran sungai yang tenang, kata-kata mengalir begitu alami, membangun jembatan antar jiwa yang saling meraba dalam diam, menghubungkan rasa yang baru saja tumbuh dalam keheningan. 

Aku senang. Mungkin, aku telah menemukan seseorang yang bisa mengerti keinginanku, seseorang yang bisa membantuku menemukan kembali mimpi-mimpi yang telah lama aku lupakan. 

Mungkinkah ini cinta pertama yang kembali hadir setelah berkali-kali patah hati?

Aku masih belum tahu jawabannya, aku hanya tahu satu hal --- aku ingin terus mengenal laki-laki ini, dia yang telah menyentuh hatiku dengan cara yang berbeda.

Hari-hari setelah percakapan itu terasa seperti serpihan mimpi yang enggan pudar saat fajar tiba. Kami menyusuri waktu bersama, bercengkerama tentang segala hal yang bisa dituturkan, berbagi cerita lama bersama  mimpi-mimpi yang terpendam di dalam raga. 

Radit, yang pada mulanya tampak diam, ternyata sama lembut dan romantisnya dengan kisah-kisah dalam buku-buku yang pernah kucintai. 

Dia bukan hanya pendengar, tapi pelukis tawa dengan lelucon-leluconnya yang jenaka, menggiringku masuk ke dalam dunianya yang penuh warna dengan khayalan tanpa batas.

Di antara percakapan yang semakin akrab, aku mulai membuka lembaran luka yang selama ini kututup rapat, perlahan namun pasti, menceritakan kepedihan masa lalu yang tak pernah kubiarkan tersentuh oleh siapa pun. 

Mimpi-mimpi yang pernah kulupakan kini kubagikan padanya. 

Radit mendengarkannya dengan sabar, tidak pernah kutemui pada siapapun di sepanjang hidupku, dunianya terhenti hanya untuk mendengarkan kisahku. Sorot matanya teduh tanpa ada sedikit pun tatap menghakimi.

Aku yakin dia lah cinta pertamaku, meskipun aku takut untuk jatuh cinta lagi..

***

Sore itu, hujan membasahi halte kecil tempat kami berteduh, membungkus kami dalam sunyi. Radit tiba-tiba memecah keheningan, "Nayla, ada sesuatu yang kurasakan di antara kita." 

Aku menatapnya, terperangkap dalam sorot matanya yang menenangkan. "Aku juga merasakannya, Dit," bisikku pelan, "tapi aku takut."

"Takut apa?" tanyanya, suara Radit tersapu angin sepoi-sepoi yang menyelusuusup ke dalam hatiku.

"Takut jatuh cinta lagi," jawabku, nadaku getir. "Aku takut terluka, takut terperosok dalam rasa sakit  yang sama."

Dia meraih tanganku, jemarinya hangat di tengah dinginnya hujan, "Aku mengerti ketakutanmu," katanya pelan, "tapi aku mau kamu tahu, aku tidak akan menyakitimu. Aku ingin mencintaimu, menjaga, juga membahagiakanmu."

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, ada seseorang yang benar-benar ingin memeluk hatiku yang rapuh ini, seseorang yang ingin mencintaiku tanpa syarat, tanpa pamrih. "Aku..." kataku, suaraku nyaris tak terdengar, "a... aku butuh waktu."

Radit tersenyum, nampak begitu tulus hingga menghangatkan dinginnya sore itu. "Aku akan menunggu," katanya. "Aku akan menunggu sampai kamu siap membuka hatimu sepenuhnya."

Dalam hening yang ditingkahi rintik hujan bersama suara kendaraan yang berlalu-lalang, kami diam. 

Dalam keheningan itu, ada sesuatu yang perlahan tumbuh di antara kami, sebuah benih cinta yang perlahan mengakar. 

Apakah mungkin cinta kembali hadir setelah berkali-kali patah hati? Aku tak tahu jawabannya, mungkin tak akan pernah tahu. Tapi satu hal yang pasti : aku ingin memberi kesempatan pada Radit. 

Aku ingin merasakan cinta yang selama ini kucari---cinta yang murni, tanpa bayang-bayang luka masa lalu. 

Cinta pertama setelah luka dan akan menjadi yang terakhir.

***

Nayla duduk di tepi pantai, membiarkan kakinya menyentuh pasir yang dingin, matanya terbenam pada hamparan laut yang tiada berujung. Angin membawa serta kelamnya lautan, menggulung masa-masa indah yang telah hilang ditelan waktu. 

Terngiang jelas dalam ingatannya, senyum lembut Radit saat ia berkata, "Aku akan selalu ada untukmu, Nayla. Aku akan selalu menjagamu, apapun yang terjadi." Kini, janji itu terdengar bagai gema nan jauh di lubuk hati, tak lebih dari sekedar bayangan yang redup. 

Nayla tenggelam dalam kenangan yang perlahan karam di tengah samudera tak bernama, teringat tawa Radit, suaranya yang dulu menenangkan di setiap keresahannya, tatapan yang penuh cinta.

Mereka berdua pernah membuat dunia tak membutuhkan apapun lagi. Tapi kini, yang tersisa hanyalah kesunyian berbalut duka yang merambat seperti kabut.

Air mata turun perlahan, sama seperti embun yang jatuh dari daun di pagi yang dingin. 

Nayla rindu dengan sentuhan lembut Radit, bisikan suaranya, kehangatan cintanya. Di relung hatinya, dia bertanya, mengapa takdir begitu kejam? Mengapa cintanya harus direnggut? 

Radit, lelaki yang pernah menggenggam jantung hatinya, telah tiada. 

Bukan karena perpisahan yang dibumbui kata-kata pahit, bukan pula karena amarah yang membara. Takdir, dalam diamnya yang dingin, merenggut Radit dengan kekejamamnya. Penyakit itu datang tiba-tiba, bak badai yang meluluhlantakkan segalanya, menyisakan kehampaan di hati Nayla.

Kata-kata terakhir Radit berputar di pikirannya, "Aku mencintaimu, Nayla. Aku akan selalu mencintaimu." Kalimat itu menjadi lentera yang redup, menggantung di dalam kegelapan hidupnya.

Meski tak lagi di sisinya, Nayla tahu cinta Radit akan selalu hidup dalam denyut nadinya, menyinari setiap langkahnya yang kini terasa berat. Kenangan tentang Radit menjadi cahaya kecil yang tak pernah padam, terukir abadi di hatinya. 

Ia berdiri perlahan, menatap langit senja yang berpendar merah, nampaknya senja menangisi duka yang sama. Hidupnya tak akan lagi seperti dulu. 

Dengan kenangan yang terpatri dalam kalbu, Nayla terus melangkah maju.  Nayla meyakini satu hal yang pasti, akan ada pertemuan kembali, di suatu tempat di mana cinta mereka akan menemukan keabadian yang tak lagi terganggu oleh waktu.

Cinta pertama untuk selamanya.

-Tamat

Iqbal Muchtar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun