Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ki Dasim

16 Agustus 2024   17:23 Diperbarui: 16 Agustus 2024   19:10 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar oleh pixabay

Dalam sapuan sinar rembulan jiwamu menggelinjang, menggelepar, matamu membelalak tajam bersama embun yang menyeruak masuk menembus celah-celah jendela, dinginnya menembus pelupuk matamu yang terngiang-ngiang seonggok hati yang ternganga, berlumuran darah dan juga nanah. 

Hidupnya penuh dengan duri yang menyusup tajam kedalam pori-pori di sekujur tubuhnya, duri itu tidak nampak, namun sangat pedih. Semua itu karena ulah Katmijo.

Dia seorang gadis desa yang anggun, lembut, tinggi semampai, sayangnya dia tidak tergolong kedalam ketegori kembang desa. Katmijo pemuda di desa Bulak Rubuh yang mengagumi Suminah sejak dia masih ingusan selalu mengejarnya.

Suminah tidak pernah terganggu dengan kegigihan Katmijo yang selalu mengejarnya setiap waktu, hingga hari itu tiba.

Entah dari mana datangnya angin cinta yang membuat Winarno memberanikan dirinya melamar Suminah, dan entah mengapa Suminah melupakan semua jerih payah Katmijo yang berusaha mendapatkan hatinya sejak dia masih ingusan.

Mendegar kabar Winarno baru saja pulang dari rumah Sumiah, membuat hati Katmijo terbakar api cemburu. Dia tidak mau kalah barang selangkah dari Winarno, dia segera memboyong orang tuanya pergi pergi melamar Suminah. 

Katmijo pulang dari rumah Suminah dengan perasaan kecewa, Suminah sudah memilih laki-laki lain. Katmijo sakit hati.

***

Aku tidak tahu di mana, sore itu sepulang mencuci dan membersihkan diri di kali aku bertemu seorang laki-laki, dia menyebut namanya Dasim. Aku tidak mengerti kenapa aku tidak menolak ketika dia mengajakku pergi bersamanya, bahkan aku saja tidak tahu dia akan mengajakku kemana.

Persis seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, dia menarik tanganku. Aku tidak menolak. 

Sekarang aku tinggal bersamanya, dia---laki-laki itu meniduriku berkali-kali. Aku tidak ingat apakah kami sudah menikah atau belum. 

Yang aku tahu, aku selalu menuruti kemauannya, aku tidak pernah keluar dari kamar ini. Aku pun bingung, aku tidak merasakan lapar, haus, mengantuk. Mataku tidak bisa terpejam, hari berlalu begitu cepat, rasanya baru pagi tapi tiba-tiba gelap menyergap tanpa permisi.

Rasanya sudah lama aku tidak mandi, tidak ada satu tetes pun keringat yang menetes melewati pori-poriku. 

Dasim, laki-laki yang memiliki daun telinga yang agak runcing itu selalu menatapku tajam dengan matanya yang selalu bergurat merah, dia juga menyeringai dan menampakkan gigi taringnya yang agak runcing. 

Bicaranya sangat sedikit semenjak aku tinggal di dalam ruangan ini, hanya memanggil namaku dengan suara yang serak parau.

Dia hanya mengunjungiku yang tinggal sendirian di ruangan ini ketika matahari sudah menggelincirkan tubuhnya di ufuk barat sana. Aku saja tidak tahu kapan dia datang dan kapan dia pergi, yang aku tahu setiap kali dia tiba seluruh tubuhku dingin, dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Suminah..." suaranya dalam, berat dan menggema. 

Kalau namaku disebutnya berarti dia sudah tiba, hanya saja sosoknya belum nampak oleh mataku. Tubuhnya perlahan berwujud setelah bau anyir menyeruak di hidungku.

***

"Keluar... Iblis terkutuk!" teriak Pak Tukino, mulutnya komat-kamit membaca mantra, tangannya mencengkram kepala Sumiah. Pak Tukino bukan seorang ustad, tapi banyak penduduk desa yang meminta bantuannya untuk mengobati orang yang kesurupan.

"KURANG AJAR!!" teriak Suminah. Suaranya serak, parau persis seperti suara seorang laki-laki yang sudah sangat tua, manik matanya berputar hingga yang nampak hanya putihnya saja.

"Siapa kamu?" tanya pak Tukino tegas.

"AAAAKKHH..." teriak Suminah kesakitan karena Pak Tukino menekan kuku ibu jari tangan kiri Suminah kuat-kuat. "Lepas... lepas..." Suminah berusaha menarik tangannya, dia berontak.

"Keluar , kamu iblis!" 

"Saya tidak mau keluar, saya suka gadis ini," desis Iblis yang merasuki Suminah.

"TEMPAT KAMU BUKAN DI SINI, IBLIS!" teriak Pak Tukino pada Suminah.

"AAAKKHH..." teriak Suminah semakin kencang. Setelah teriakkan itu Suminah tidak sadarkan diri.

***

"Suminah," ucap laki-laki itu sambil menatapku dengan wajah garang.

"I-Iya.. Ki," balasku pelan sambil menundukkan kepala. Aku tidak berani menatap wajahnya yang terlihat sangat murka, aku tidak mengerti mengapa dia sangat marah padaku.

"Kamu harus tinggal di sini." Jari telunjuknya menunjuk tanah, taringnya terlihat mengerikan ketika mengatakan kalimat itu.

"I-Iya, Ki Dasim," anggukku pelan.

"Kamu betah tinggal sama saya, Suminah?" Dasim menghampiriku, membelai rambutku lembut.

Aku merasa nyaman ketika tangan dengan kuku panjang itu menyentuh tengkorak kepalaku, tangannya dingin ketika telapaknya menyentuh ubun-ubunku, hawa dingin itu menyelusup keseluruh tubuhku.

***

Katmijo pergi menemui seorang dukun di desa sebelah, dia ingin menggagalkan pernikahan Suminah dengan Winarno. Berbekal sehelai rambut dengan sebuah foto berukuran 4x6. Dia mendapatkan foto itu dari Tugimin yang kebetulan satu kelas dengan Suminah ketika di SD dulu.

Tugimin diminta untuk mencuri foto Suminah yang terpajang di ruang guru. Saat itu Katmijo kelas enam SD. Suminah sudah membutakan matanya ketika Katmijo sedang dihukum oleh Pak Soleh, dia disuruh hormat pada bendera, saat itu lah Suminah lewat dihadapannya.

Murid-murid lain tertawa melihat Katmijo yang kepanasan melihat bendera, Suminah malah memberikan topinya agar Katmijo tidak kepanasan. Sejak saat itulah Katmijo menaruh hati pada Suminah. 

Segala macam upaya dilakukan Katmijo untuk mendapatkan hati Suminah, sayangnya Suminah tidak pernah menanggapinya, hingga mereka berdua beranjak dewasa Katmijo tidak pernah menyerah.

"Mbah... saya sakit hati mbah, wanita ini mau menikah dengan laki-laki lain," ucap Katmijo pada Mbah Surip, dia menyodorkan foto yang berukuran 4x6 itu. 

"Mau kamu apaain orang ini?" tanya Mbah Surip, suaranya sangat menyeramkan. Sorot matanya pun menakutkan.

"Jangan sampai mereka kawin, Mbah."

Mbah Surip manggut-manggut, dia menatap wajah Suminah dalam-dalam. Mbah Surip kemudian memindahkan tempat pembakaran menyan yang berada di sampingnya ke hadapannya, mulutnya kemudian komat-kamit. Foto lusuh dengan ukuran 4x6 itu diasapi menyan.

Bulu kuduk Katmijo berdiri ketika melihat Mbah Surip yang tiba-tiba mengeluarkan suara-suara aneh, kalau saja bukan karena dendamnya, mungkin Katmijo sudah lari terbirit-birit, pasalnya raut wajah Mbah Surip tiba-tiba berubah menjelma seperti iblis.

"Kamu mau dia tidak kawin?" Suara yang keluar dari mulut Mbah Surip menunjuk Katmijo.

"I-Iy-Iya Mbah," balas Katmijo ragu-ragu.

"Hahahaha..." 

***

"Suminah... Suminah..." teriak Winarno sambil menggoyang-goyangkan tubuh Suminah yang lemah tak berdaya.

"Sabar, Pak Winarno," Pak Tukino berusaha menenangkan hati Winarno, "istri bapak sedang dibawa oleh jin jahat saat ini, dia sedang hidup di alam lain, percuma saja bapak panggil namanya, dia tidak akan dengar."

"Saya harus bagaimana, Pak?" 

"Untuk malam ini, biarkan saja dulu Suminah tidur, pastikan dia tidak keluar rumah." Pak Tukino menepuk pundak Winarno, "ada jimat yang harus saya buat di rumah, besok pagi saya akan kesini lagi."

***

"Kamu harus membayarnya dengan seekor ayam hitam dengan darah hitam." Suara yang menyeramkan itu menyuruh Katmijo mencari yang diinginkan suara yang merasuki Mbah Surip.

"Iya, Mbah... saya akan bawa besok," ucap Katmijo.

"SEKARANG!!!" jari telunjuk Mbah Surip menekan seonggok menyan yang mengepul memenuhi ruangan sempit dan remang-remang itu.

Katmijo segera berlari keluar, ia meninggalkan beberapa helai rambut yang ingin diberikannya pada Mbah Surip. Katmijo lari pontang-panting. Mbah Surip melihat helaian rambut itu, ia segera mengambilnya, mengendus-endus rambut itu.

"Jangan Ki Dasim," perintah Mbah Surip.

"Bau rambut ini enak!"

"Mau kau apakan perempuan ini?"

"Aku nikahi, lalu aku ajak dia tinggal di alam lain."

"Terserah kau saja Dasim, tugas kau masih banyak, jangan terlena dengan perempuan itu." 

***

"Suminah" Suara Ki Dasim memanggilku. Aku segera menyiapkan diriku. "Aku akan membawamu pergi ke istanaku, kamu mau ikut, Suminah?"

"I-Iya, Ki," hanya itu kata yang aku tahu, entah mengapa lidahku kelu, aku tidak bisa menolak.

"Suminah..."

***

Keesokkan harinya desa Bulak Rubuh digegerkan oleh mayat seorang perempuan yang terjebak di antara batang-batang bambu di tepi sungai. Sumarni sudah tidak bernyawa dengan kondisi yang mengenaskan.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun