Sekarang aku tinggal bersamanya, dia---laki-laki itu meniduriku berkali-kali. Aku tidak ingat apakah kami sudah menikah atau belum.Â
Yang aku tahu, aku selalu menuruti kemauannya, aku tidak pernah keluar dari kamar ini. Aku pun bingung, aku tidak merasakan lapar, haus, mengantuk. Mataku tidak bisa terpejam, hari berlalu begitu cepat, rasanya baru pagi tapi tiba-tiba gelap menyergap tanpa permisi.
Rasanya sudah lama aku tidak mandi, tidak ada satu tetes pun keringat yang menetes melewati pori-poriku.Â
Dasim, laki-laki yang memiliki daun telinga yang agak runcing itu selalu menatapku tajam dengan matanya yang selalu bergurat merah, dia juga menyeringai dan menampakkan gigi taringnya yang agak runcing.Â
Bicaranya sangat sedikit semenjak aku tinggal di dalam ruangan ini, hanya memanggil namaku dengan suara yang serak parau.
Dia hanya mengunjungiku yang tinggal sendirian di ruangan ini ketika matahari sudah menggelincirkan tubuhnya di ufuk barat sana. Aku saja tidak tahu kapan dia datang dan kapan dia pergi, yang aku tahu setiap kali dia tiba seluruh tubuhku dingin, dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Suminah..." suaranya dalam, berat dan menggema.Â
Kalau namaku disebutnya berarti dia sudah tiba, hanya saja sosoknya belum nampak oleh mataku. Tubuhnya perlahan berwujud setelah bau anyir menyeruak di hidungku.
***
"Keluar... Iblis terkutuk!" teriak Pak Tukino, mulutnya komat-kamit membaca mantra, tangannya mencengkram kepala Sumiah. Pak Tukino bukan seorang ustad, tapi banyak penduduk desa yang meminta bantuannya untuk mengobati orang yang kesurupan.
"KURANG AJAR!!" teriak Suminah. Suaranya serak, parau persis seperti suara seorang laki-laki yang sudah sangat tua, manik matanya berputar hingga yang nampak hanya putihnya saja.