Mohon tunggu...
Ipon Semesta
Ipon Semesta Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Seniman. Melukis dan Menulis. Mantan Jurnalis Seni dan Budaya. Ketua PERSEGI (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kontemplatif: 50 Tahun Pasar Seni Ancol

10 November 2024   16:20 Diperbarui: 12 November 2024   17:47 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi koleksi pribadi karya seniman Pasar Seni Ancol Input sumber gambar

Kontemplatif: 50 Tahun Pasar Seni Ancol (Catatan/ Ulasan akhir buku Apresiasi Seni )

Mengingat kembali masa kejayaan Pasar Seni Ancol, 50 tahun sebelumnya. Merekontruksi ulang ingatan perjalanan panjang keberadaan awal kegiatan berkesenian di Pasar Seni Ancol tahun 1975. 

Menyoal deret peristiwa 50 tahun silam, tentu tidak lepas dari jasa nama-nama besar seniman senior terdahulu. Kontribusi dan rekam jejak para seniman pendahulu telah tercatat. Dan suatu kelaziman yang harus dilakukan para seniman Pasar Seni Ancol setelahnya, menghadirkan kembali semangat, visi dan kebersamaan--merekontruksi ulang, membangun kembali ekosistem berkesenian yang berkelanjutan di Pasar Seni Ancol yang telah ada dan mencapai tahun emas. Kiranya perlu dilakukan suatu ide dan gagasan menyambut sekaligus merayakannya. Rasa saya, tindakan itu sebagai suatu bentuk apresiasi dari generasi penyambung kehidupan berkesenian di Pasar Seni Ancol. 

Para seniman pendahulu telah memberi warna berbeda untuk Taman Impian Jaya Ancol dan dunia seni rupa Indonesia. Para seniman senior seperti Affandi, Basoeki Abdullah, S. Sudjojono, Agus Djaya, Danarto, Hendra Gunawan, Hardi, Abbas Alibasjah, GM. Sudarta, Sudarmadji, Kusnadi dan banyak lagi para pelukis, pematung, sastrawan, budayawan, dan kritikus seni seperti Jim Supangkat, Agus Dermawan T, Sri Warso Wahono. Sastrawan Sitor Sitomorang, N.H. Dini. Seniman Teater dan film seperti Soekarno M. Noor, Drs. Asrul Sani, Ami Priyono dll.

Para Tetua, Tua-tua, Penatua (seniman senior) gembala seni rupa ketika itu bersepakat, pentingnya membangun Pasar Seni Ancol sebagai sarana berkesenian yang berkelanjutan. Ir. Ciputra menyebut secara khusus di lembar pengantar, laman pertama di buku Apresiasi Seni yang diterbitkan oleh Pasar Seni (Badan Pelaksana Pembangunan Proyek Ancol -- PT. Pembangunan Jaya) pada tahun 1985 itu yang bertepatan pada malam Apresiasi Seni-Anniversary 10 tahun Pasar Seni Ancol. 

Nama-nama besar seniman yang disebut Ir . Ciputra di atas tidak melulu para tokoh seniman perupa saja tetapi juga berkat jalinan, gabungan, kolaborasi antar tokoh dari pelbagai disiplin ilmu seni yang telah berkontribusi membangun Pasar Seni Ancol.

-Seni Konvensional di Era AI --

Setiap masa punya cerita, setiap cerita ada masanya. Begitu kira-kira gambaran kondisi dan situasi keberadaan, khususnya kondisi Pasar Seni Ancol. Seusai perayaannya yang ke 10 tahun Pasar Seni Ancol, kondisi dan situasi Pasar Seni Ancol mengalami banyak perubahan dan pergeseran makna dan perspektif berkesenian. Begitu juga dinamika pemikiran para pelaku seni (warga Pasar Seni Ancol). Tercatat telah banyak seniman yang datang dan pulang dari Pasar Seni Ancol.

Mereka yang datang dan pergi itu, telah berperan positif dalam membangun jejaring komunikasi. Pastinya, terdapat banyak kisah menarik dan unik dari para pelaku seni di tahun-tahun sebelumnya. Mereka membangun jejaring dalam peningkatan apresiasi seni budaya sebagai sarana wahana komunikasi antar seniman, perajin dan masyarakat pecinta seni (ketika itu). 

Kini, di tahun keemasannya, adakah suryakanta yang dapat merefleksikan kembali momen-momen kontemplatif sebagai suatu semangat, kebersamaan dan dedikasi para pendahulu yang telah membangun Pasar Seni Ancol, apakah kini warga Pasar Seni Ancol mewarisi semangat perjuangan serta pengorbanan mereka?

Dari semua artikel yang telah saya baca di buku Apresiasi Seni itu, saya berkesimpulan: Semangat dan ekspektasi tiap generasi memiliki tujuan berbeda dalam proyek seni. Generasi tua (para pendahulu, senior seni rupa Indonesia) itu lebih fokus kepada sejarah seni, tehknik, kualitas, makna simbolik dan keaslian karya, kondisi tersebut jauh sebelum kehadiran pelbagai tehknologi dan tren baru dalam seni rupa. 

Sebaliknya, generasi muda kini lebih cepat beradaptasi tetapi kurang menghargai proses yang lebih lambat dan mendalam. Menemukan keseimbangan antara adaptasi cepat dan penghargaan terhadap proses yang bisa menjadi tantangan. Lebih tertarik pada dampak sosial dan jangkauan audiens.

Meski dalam perkembangan seni rupa kontemporer yang semakin menghadirkan seni rupa yang tidak seni rupa. Dengan meleburnya batas-batas seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, musik, anarki, omong kosong hingga aksi politik. Menjadikan seni rupa kontemporer tidak ada sekat antara pelbagai disiplin seni. Seni rupa kontemporer yang diklaim memiliki gairah moralitas yang berkaitan dengan mantra sosial dan politik sebagai tesis. Seni yang cenderung diminati media massa untuk dijadikan komoditas pewacanaan sebagai bentuk aktualisasi berita yang fashionable belaka. Seni yang kurang diminati.

Adaptasi perubahan seni rupa klasik, kontemporer dari generasi terdahulu sebelum kehadiran pelbagai platform Media Sosial seperti Facebook, Instagram, Pinterest, Twitter, Tiktok dan lain sebagainya itu membawa perspektif dan nilai berkesenian. Menjadi alat baru dan dianggap penting bagi seniman era AI dalam mempromosikan karya, berinteraksi dengan penggemar, dan menjalin jaringan dengan seniman lain. 

Kehadiran pelbagai platform itu juga terbukti efektif, membantu seniman mendapatkan umpan balik langsung dari audiens. Belum lagi menyoal ketersediaan platform NFT (Non-Fungible Tokens), teknologi blockchain dan NFT dan platform serupa lainnya yang telah pula membuka pasar baru bagi seniman untuk menjual karya secara digital.

Generasi seni rupa terdahulu dan generasi era AI memiliki perspektif dan nilai yang berbeda tentang pandangan seni. Generasi terdahulu lebih menghargai teknik tradisional dan proses kreatif yang panjang, sementara generasi muda era AI cenderung lebih terbuka terhadap eksperimen dan penggunaan teknologi baru.

Kondisi terkini dalam pelbagai proyek seni yang tampak adalah, beberapa seniman konvensional mulai menggunakan perangkat lunak dan alat digital seperti tablet grafis dan aplikasi desain untuk menciptakan karya seni. Alat-alat yang memungkinkan seniman bereksperimen dengan teknik baru tanpa batasan fisik dari media tradisional.

Karya seni dengan bantuan tekhnologi juga dapat membantu seniman berpameran secara online. Pameran online yang memberikan kesempatan bagi seniman untuk menampilkan karya tanpa batasan geografis yang memungkinkan teknologi digital kolaborasi antara seni lukis dengan elemen multimedia seperti video, animasi, dan suara yang dapat menciptakan pengalaman seni yang lebih interaktif dan imersif. 

Selain itu seniman juga bisa mengeksplorasi penggunaan AR (Augmented Reality) dan VR (Virtual Reality) untuk menciptakan instalasi seni yang memungkinkan penikmat seni berinteraksi dengan karya seni dalam ruang virtual, menampilkan dimensi baru dalam pengalaman seni yang tidak mungkin dicapai dengan media konvensional. Dan banyak lagi yang bisa dilakukan-berkesenian di era AI.

Menjadi bahaya bagi sejarah seni, dan bahaya yang terus-menerus dihadapinya jika sejarah seni menjadi sekadar sejarah bentuk dan masalah.

Masalah dan tugas itu cukup nyata; dan bukan suatu penemuan atau fiksi metodologis, dan sejarah seni selektif apa pun harus melacaknya dan menyelesaikannya. Namun, karya seni tidak diciptakan untuk memecahkan masalah; masalah muncul dalam proses penciptaan karya untuk menjawab pertanyaan yang tidak banyak berhubungan dengan masalah formal dan teknis - pertanyaan tentang pandangan berkesenian, tentang perilaku hidup, tentang iman dan pengetahuan,

Jadi, jika menganalisis pencapaian artistik pada suatu zaman tertentu, harus pula memperhitungkan masalah gaya dan formal serta gaya yang dominan, tetapi juga harus mempertimbangkan penyimpangan dari gaya tersebut; dalam mensurvei sejarah seni, tidak serta merta menganggap seni sebagai keseluruhan yang anonim, tetapi sebagai karya seniman kolektif, individu dengan bakat dan aspirasi spesifik mereka sendiri. 

Di atas segalanya, harus dipelajari juga tentang kondisi sosial, gerakan, dan konflik pada masa itu, hubungan dan perjuangan para pendahulu seni, serta ide-ide yang dihasilkan, baik religius, filosofis, maupun politis - untuk melihat seni pada masa itu dalam konteks yang nyata, bukan imajiner.

 Berhati-hati pula untuk tidak menafsirkan setiap karya seni, atau elemen gaya, sebagai ekspresi langsung dan tidak ambigu dari suatu kelas seniman atau situasi sosial. Berhati-hati untuk tidak menilai karya seorang penulis, seniman, atau musisi hanya berdasarkan apakah karya itu 'progresif' atau 'reaksioner' (karena keduanya dapat bercampur.

Mencari jawaban dari penelitian spesialis dan bahkan para ilmuwan terbaik pun terkadang kesulitan memberikan jawaban yang benar-benar tepat, karena penyebabnya banyak dan saling terkait erat, dan sulit untuk menilai pada titik mana perubahan kuantitatif berkembang menjadi perubahan kualitatif.

Keberatan terhadap sejarah sosial seni sebagai metode interpretasi sebagian besar berasal dari anggapan bahwa seni tidak dapat dan tidak akan mencapai tujuannya. Hanya jenis sejarah sosial yang paling kasar yang akan berusaha merepresentasikan jenis seni tertentu sebagai ekspresi homogen, konklusif, dan langsung dari bentuk masyarakat tertentu. 

Seni pada zaman yang kompleks secara historis tidak akan pernah homogen, jika hanya karena masyarakat pada zaman tersebut tidak homogen; seni tidak akan pernah lebih dari sekadar ekspresi strata sosial, sekelompok orang dengan beberapa kepentingan yang sama; seni akan menunjukkan kecenderungan gaya yang berbeda secara bersamaan sebanyak tingkat budaya yang berbeda dalam masyarakat yang relevan.

Namun karena pergeseran makna berkesenian "kelompok orang dengan kepentingan bersama" yang paling bertahan lama dan paling efektif, kebutuhan dan cara berekspresi dalam seni dikondisikan oleh kelas (meskipun harus memperhitungkan fakta bahwa kelas sosial bukanlah benteng tanpa jendela, bahwa bahkan kelas yang saling bertentangan pun memengaruhi satu sama lain, bentuk dan konvensi yang dikembangkan oleh kelas seniman terdahulu dapat memengaruhi perspektif baru yang sedang bangkit, dan bahwa perubahan dan perkembangan terjadi bahkan dalam satu pandangan.

Sejarah sosial seni hanya menegaskan -- dan ini adalah satu-satunya bentuk pernyataan yang dapat dibuktikan -- bahwa bentuk-bentuk seni bukan hanya bentuk-bentuk kesadaran kolektif individual, yang dikondisikan secara optik atau lisan, tetapi juga ekspresi dari pandangan yang dikondisikan secara sosial.

Bentuk-bentuk pengalaman individu yang "dikondisikan secara optik atau lisan" tidak berevolusi secara independen dari perkembangan sosial. Cara-cara baru untuk melihat atau mendengar bukan hanya hasil dari persepsi sensorik yang lebih baik atau lebih halus, tetapi juga dari realitas sosial yang baru. 

Misalnya, irama, kebisingan, dan tempo kota-kota besar merangsang jenis-jenis penglihatan dan pendengaran yang baru, seorang petani melihat pemandangan alam secara berbeda dari pengamatan seniman, dan seterusnya. Namun, intinya adalah bahwa kondisi-kondisi sosial jarang menemukan refleksi langsung dalam seni, dan bentuk-bentuk serta gagasan-gagasan artistik yang baru tidak sepenuhnya sesuai dengan konten sosial yang baru.

Namun, bukankah yang disebut 'gaya' merupakan ekspresi seragam dari suatu zaman, era sosial, dalam seni? Bukankah 'gaya' yang sama dapat dikenali dalam sikap umum yang mencakup pakaian dan politik, moral dan tata krama yang membentuk gaya?. Bukankah 'gaya' merupakan ekspresi masyarakat yang paling tegas? 

Pertama-tama, jika meneliti fenomena gaya, akan menemukan bahwa suatu sistem bentuk, konvensi, dan kecenderungan telah diterima oleh seniman dari pelbagai jenis dan temperamen yang berbeda sebagai hukum yang dipilih untuk diatur secara bebas. Dengan demikian, elemen kolektif memasuki hasil karya seorang pelaku seni kolektif individu, dan meskipun karya individu mungkin sangat berbeda tergantung pada bakat atau orisinalitas seniman, faktor umum (yang sering kali sulit didefinisikan) tidak salah lagi. 

Para ahli teori yang menyukai hal-hal metafisik menyimpulkan dari sini bahwa seni adalah sebuah "organisme hidup"yang misterius, sebuah "tubuh hidup" yang tidak bergantung pada kondisi sosial dan berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri, baik berkembang dari bentuk-bentuk yang sederhana ke bentuk-bentuk yang semakin kompleks (tanpa mempedulikan apakah hal ini bertentangan dengan perkembangan sosial), atau bahwa seni memiliki kehidupan yang tunduk pada hukum-hukum tertentu.

Siklus konstan berkesenian antara muda dan tua, kelahiran dan kematian, sehingga setiap 'siklus budaya' menghasilkan seni yang sama sekali baru yang khas tetapi yang tetap melalui semua tahap yang sama seperti seni dari "siklus budaya" masa lalu. 

Menurut hipotesis tersebut, perkembangan dalam seni semata-mata merupakan pertanyaan tentang bentuk dan masalah internal seni itu sendiri, dan gaya bukanlah hasil dari perubahan sosial dan pencapaian individu tetapi kekuatan otonom yang mengatur semuanya. Oleh karena itu, seniman, pelindungnya, dan publik yang merupakan konsumen produknya, seolah-olah, adalah organ eksekutif seni; seni diciptakan dengan bantuan mereka tetapi juga memaksakan hukumnya sendiri pada mereka. 

Jika pandangan ini benar, setiap zaman sejarah akan memiliki gaya yang sepenuhnya seragam, gaya menjadi substansi ilahi yang merupakan atribut karya seni kolektif individual. Tetapi jika mensurvei periode sejarah seni yang terpisah, akan menemukan bahwa meskipun perkembangan seni dalam periode tertentu cenderung ke arah gaya yang seragam, kecenderungan ini selalu ditentang oleh tren yang berlawanan. 

Beberapa cabang seni berkembang sementara yang lain tertinggal; ada seniman dengan individualitas ekstrem yang menentang gaya umum yang berlaku; berbagai gerakan saling berbenturan dan bercampur, elemen-elemen heterogen saling bertarung atau saling menembus (misalnya realisme dan transendentalisme). Gambaran tersebut sebenarnya jauh lebih kompleks dan kontradiktif daripada yang dapat diizinkan oleh prinsip kesatuan gaya yang absolut.

Tidak seorang pun dapat menyangkal daya tahan bentuk dan konvensi lama. Seniman memiliki keinginan yang sah untuk tidak selalu memulai dari awal tetapi melanjutkan dari titik yang telah dicapai, untuk mengubah gaya yang ada menjadi sesuatu yang baru. Jika ingin memahami gaya suatu periode, tidak boleh mempertimbangkannya secara terpisah tetapi dalam konteks sejarah seni secara keseluruhan, sebagai momen dalam perkembangan sejarah -- tetapi ini berlaku tidak hanya untuk seni tetapi juga untuk semua fenomena sosial. Kemunculan tiba-tiba berbagai subjek baru dan metode artistik baru yang dihasilkan darinya (misalnya kemunculan pekerja dalam seni), atau pencapaian asli seniman seperti Affandi, Basoeki Abdullah, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Hardi Agus Djaya dan lain sebagainya yang tidak dapat dijelaskan oleh perkembangan seni yang 'organik' atau otonom. Dan selanjutnya teori tersebut runtuh ketika mencoba menjelaskannya.

-Kembang Angsana Gugur Menanggung Risau -

November 2024-jelang setengah abad, suasana Pasar Seni Ancol tampak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Di tiap sudut pelataran deret kios menguning. Jutaan kembang angsana yang awalnya jatuh satu-satu tersaput air yang turun dari atas.

Kembang angsana tumbuh di sekitaran Pasar Seni Ancol bukan tanpa alasan jelas. Angsana tumbuh, baik di era konvensional maupun digital sekalipun, angsana tumbuh bukan untuk menjadi kembang yang lain. Kembang angsana tidak tertarik menjadi bunga apapun. Dia percaya dengan keunikannya. Kembang angsana serupa sebiji jiwa yang datang dan ada di pasar Seni Ancol. Dia (kembang angsana) terus belajar meniti ke dalam, berusaha mengenali siapa dirinya dan bisa menerima seutuhnya-siapa dirinya. Tahun-tahun yang sudah dan tahun-tahun berikutnya, dia terus membangun untuk menemukan potensi terbesar dalam dirinya. Bahkan dia bisa membagikan berkah dan manfaat yang ada dalam dirinya untuk membuat hidupnya lebih bermakna. Dia telah mendengar kehendak semesta.

Angsana itu haus akan banyak hal. Dia tidak tertarik dengan pengetahuan pengetahuan lama. Pengetahuan pengetahuan usang yang sudah terbukti tidak meningkatkan kesadaran. Dia sangat lapar pada pengetahuan-pengetahuan baru khususnya dunia seni. Dia tidak pernah menyatakan dirinya sebagai kembang yang banyak tahu. Karena begitu mengatakan sebagai yang mengetahui segala, dia sadar akan tertutup dari semua pengetahuan baru.

Ya, dia telah mendengar panggilan semesta. Dia selalu mengosongkan dirinya untuk menjadi gelas kosong. Gelas itu tidak ada tutupnya. Gelas itu selalu ditempatkan di tempat yang rendah. Dia membiarkan semesta mengisi gelas itu.

Dia telah tertempa oleh cahaya. Cahaya itu membentuk kepribadian dengan prinsip yang kuat. Dia tidak tertarik untuk menjalankan aktivitas rutin dan berkompetisi untuk menjadi juara seperti kebanyakan kembang dengan aktivitasnya yang tidak memberikan dampak apa apa. Dia terus berinovasi berkreasi untuk mengembangkan diri karena dia percaya semesta tanpa batas. Dia berbeda dengan kebanyakan kembang-bunga yang tumbuh di Pasar Seni Ancol sekadar untuk melihat potret kehidupan, aksen berkesenian dan menjalani proses bernapas dan mengikuti arus. Dia telah mengetahui arus kehidupan. Dia tahu kehidupan ini tidak jelas mau membawanya ke mana. Dia selalu rakus akan pengetahuan baru, dia tidak pernah mengizinkan terbawa arus kehidupan yang tidak jelas. Laiknya seekor ikan, dia berenang melawan arus. Dia mengembangkan berpikir kritisnya, berpikir kreatifnya, berkolaborasi dengan banyak kembang-bunga, mengembangkan cinta kasih. Dia terbuka pada semua kembang-bunga. Terbuka pada pelbagai perspektif kembang-bunga di taman impian.

Angsana tidak pernah damai dengan dirinya sebelum punya tidur berkualitas, sebelum menemukan kebenaran sebagai kembang sejati, harumnya menguar hingga jauh. Dia tahu, kebenaran sejati itu tidak ada di luar diri dan kendalinya. Maka dia mencari kebenaran pun tidak pernah keluar dari dirinya. Dia terus berfokus ke dalam dirinya karena dia percaya bahwa dia ada di Pasar Seni Ancol ini tidak sia-sia. Dia sadar-sang pengutus semesta telah membekali bekal yang utuh. Tuhan menjamin segala kebutuhan ciptaannya dan telah menitipkan kepada semua mahluknya agar tidak kekurangan, tidak menderita. Dia memiliki kehidupan yang menakjubkan. Dia tidak menderita karenanya. Dia tidak pernah imsomnia dengan bekal yang diberikan sang Pencipta dan bekal itu masih tersimpan rapi dalam dirinya. Dia adalah ruang-ruang keilmuan. Dia adalah perpustakaan terlengkap. Dia adalah lapis-lapis langit yang tanpa batas. Dia adalah sumber cinta kasih yang berkembang baik. Dia adalah sihir yang terpendam dalam diri yang hingga kini telah dia buka karena dia tahu mantra kunci rahasia untuk membukanya dan mantra kunci itu memang tidak diberikan kepada kembang sembarangan. Mantra kunci itu dititipkan kepada bunga-bunga yang terpilih, yang memiliki tujuan ke tanah impian. Jika mantra kunci itu diberi ke bunga sembarangan bisa jadi seluruh potensi yang luar biasa dalam diri bunga yang manuvernya tidak jelas akan digunakan untuk menebarkan kebencian. Bukan cinta kasih yang berkembang baik.

Karena dia telah mendengar seruan semesta, dia tetap menjadi kembang baik. Sekalipun lingkungan memperlakukan tidak baik. Dia tidak peduli dengan apa kata kembang-bunga tentang dirinya. Karena dia percaya bahwa kebaikan sifatnya alami. Cinta itu lingkaran yang alami. Dia tidak bisa melawan kebencian dengan kebencian. Dia tidak bisa melawan kelam dengan gelap, tidak bisa melawan kekejaman dengan kejahatan. Dia percaya hanya terang yang bisa melawan kegelapan. Hanya cinta yang bisa melawan kebencian. Hanya kelembutan yang bisa membebaskan segala kejahatan. Dia percaya itu dan dia tidak tergoda oleh lingkungannya seburuk apapun itu, dia tetap menjadi sumber kebaikan.

Dia telah memiliki pemahaman batin yang lebih jauh berbeda dari kebanyakan bunga dan dia tidak takut untuk diam. Pemahaman batin yang lebih jauh berbeda dari kebanyakan bunga dan dia tidak takut untuk ditebang, diasingkan dari lingkungannya sekalipun. Pemahaman dia melampaui kebanyakan bunga. Karena kembang yang terpilih adalah satu yang baik diantara semua yang tidak terpilih. Bagaimana dia bisa menjadi yang terpilih jika menjadi seperti kebanyakan bunga? Dia tidak marah ketika kembang lain murka. Dia justru semakin sayang kepada kembang-bunga yang pamer ego. Karena itu mengapa semesta memilihnya. Dan dia tidak melawan kejahatan dengan siasat dendam. Dia kembang yang punya pemahaman batin yang dalam. Dia tetap saja fokus jauh ke dalam batin seperti danau-danau bagian dalam yang tetap tenang walaupun di permukaan ada badai, kabut, terik, ada gelombang dia tetap saja di dalam. Dia telah mencapai pemahaman batin yang dalam dia tidak pernah terganggu dengan situasi yang di luar. Dia tidak reaksioner. Dia tidak mengalami turbulensi ketika di luar. Dia telah berada di kedalaman batin.

Dia tahu dan percaya dari sejarah semua pembaharu. Semua kembang-bunga yang melakukan pembaruan terhadap semua aspek kehidupan, konsekuensinya pasti diasingkan oleh lingkungan. Tidak disukai. Betapa dahsyatnya penolakan dan perlawanan dari tradisi di mana sang pembaharu tumbuh. Karena tradisi itu banyak sekali kembang-bunga yang ketakutan tersingkir oleh pemahaman baru. Oleh pembaharuan. Dan itu sudah merupakan hukum alam setiap mahkluk. Ada ketakutan terselubung-kuatir tersingkir, tersaingi terutama kembang-bunga yang belum memahami pemahaman batin yang dalam. Dia adalah kembang yang sudah terpanggil. Dia mendengarkan suara panggilan semesta untuk waktu yang lama. Dia tetap sebagai kembang angsana sekalipun banyak bunga yang tidak menyukai***

Ipon Semesta -- Ketua PERSEGI (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

10 November 2024, Jelang 50 tahun Pasar Seni Ancol.

*Artikel akhir dalam buku Apresiasi Seni dapat dibaca dalam postingan saya berjudul: "Akar Seni Indonesia"

https://www.kompasiana.com/ipondk3828/6730693334777c6c8e06e912/akar-seni-indonesia 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun