Pertama-tama, jika meneliti fenomena gaya, akan menemukan bahwa suatu sistem bentuk, konvensi, dan kecenderungan telah diterima oleh seniman dari pelbagai jenis dan temperamen yang berbeda sebagai hukum yang dipilih untuk diatur secara bebas. Dengan demikian, elemen kolektif memasuki hasil karya seorang pelaku seni kolektif individu, dan meskipun karya individu mungkin sangat berbeda tergantung pada bakat atau orisinalitas seniman, faktor umum (yang sering kali sulit didefinisikan) tidak salah lagi.Â
Para ahli teori yang menyukai hal-hal metafisik menyimpulkan dari sini bahwa seni adalah sebuah "organisme hidup"yang misterius, sebuah "tubuh hidup" yang tidak bergantung pada kondisi sosial dan berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri, baik berkembang dari bentuk-bentuk yang sederhana ke bentuk-bentuk yang semakin kompleks (tanpa mempedulikan apakah hal ini bertentangan dengan perkembangan sosial), atau bahwa seni memiliki kehidupan yang tunduk pada hukum-hukum tertentu.
Siklus konstan berkesenian antara muda dan tua, kelahiran dan kematian, sehingga setiap 'siklus budaya' menghasilkan seni yang sama sekali baru yang khas tetapi yang tetap melalui semua tahap yang sama seperti seni dari "siklus budaya" masa lalu.Â
Menurut hipotesis tersebut, perkembangan dalam seni semata-mata merupakan pertanyaan tentang bentuk dan masalah internal seni itu sendiri, dan gaya bukanlah hasil dari perubahan sosial dan pencapaian individu tetapi kekuatan otonom yang mengatur semuanya. Oleh karena itu, seniman, pelindungnya, dan publik yang merupakan konsumen produknya, seolah-olah, adalah organ eksekutif seni; seni diciptakan dengan bantuan mereka tetapi juga memaksakan hukumnya sendiri pada mereka.Â
Jika pandangan ini benar, setiap zaman sejarah akan memiliki gaya yang sepenuhnya seragam, gaya menjadi substansi ilahi yang merupakan atribut karya seni kolektif individual. Tetapi jika mensurvei periode sejarah seni yang terpisah, akan menemukan bahwa meskipun perkembangan seni dalam periode tertentu cenderung ke arah gaya yang seragam, kecenderungan ini selalu ditentang oleh tren yang berlawanan.Â
Beberapa cabang seni berkembang sementara yang lain tertinggal; ada seniman dengan individualitas ekstrem yang menentang gaya umum yang berlaku; berbagai gerakan saling berbenturan dan bercampur, elemen-elemen heterogen saling bertarung atau saling menembus (misalnya realisme dan transendentalisme). Gambaran tersebut sebenarnya jauh lebih kompleks dan kontradiktif daripada yang dapat diizinkan oleh prinsip kesatuan gaya yang absolut.
Tidak seorang pun dapat menyangkal daya tahan bentuk dan konvensi lama. Seniman memiliki keinginan yang sah untuk tidak selalu memulai dari awal tetapi melanjutkan dari titik yang telah dicapai, untuk mengubah gaya yang ada menjadi sesuatu yang baru. Jika ingin memahami gaya suatu periode, tidak boleh mempertimbangkannya secara terpisah tetapi dalam konteks sejarah seni secara keseluruhan, sebagai momen dalam perkembangan sejarah -- tetapi ini berlaku tidak hanya untuk seni tetapi juga untuk semua fenomena sosial. Kemunculan tiba-tiba berbagai subjek baru dan metode artistik baru yang dihasilkan darinya (misalnya kemunculan pekerja dalam seni), atau pencapaian asli seniman seperti Affandi, Basoeki Abdullah, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Hardi Agus Djaya dan lain sebagainya yang tidak dapat dijelaskan oleh perkembangan seni yang 'organik' atau otonom. Dan selanjutnya teori tersebut runtuh ketika mencoba menjelaskannya.
-Kembang Angsana Gugur Menanggung Risau -
November 2024-jelang setengah abad, suasana Pasar Seni Ancol tampak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Di tiap sudut pelataran deret kios menguning. Jutaan kembang angsana yang awalnya jatuh satu-satu tersaput air yang turun dari atas.
Kembang angsana tumbuh di sekitaran Pasar Seni Ancol bukan tanpa alasan jelas. Angsana tumbuh, baik di era konvensional maupun digital sekalipun, angsana tumbuh bukan untuk menjadi kembang yang lain. Kembang angsana tidak tertarik menjadi bunga apapun. Dia percaya dengan keunikannya. Kembang angsana serupa sebiji jiwa yang datang dan ada di pasar Seni Ancol. Dia (kembang angsana) terus belajar meniti ke dalam, berusaha mengenali siapa dirinya dan bisa menerima seutuhnya-siapa dirinya. Tahun-tahun yang sudah dan tahun-tahun berikutnya, dia terus membangun untuk menemukan potensi terbesar dalam dirinya. Bahkan dia bisa membagikan berkah dan manfaat yang ada dalam dirinya untuk membuat hidupnya lebih bermakna. Dia telah mendengar kehendak semesta.
Angsana itu haus akan banyak hal. Dia tidak tertarik dengan pengetahuan pengetahuan lama. Pengetahuan pengetahuan usang yang sudah terbukti tidak meningkatkan kesadaran. Dia sangat lapar pada pengetahuan-pengetahuan baru khususnya dunia seni. Dia tidak pernah menyatakan dirinya sebagai kembang yang banyak tahu. Karena begitu mengatakan sebagai yang mengetahui segala, dia sadar akan tertutup dari semua pengetahuan baru.