Dari semua artikel yang telah saya baca di buku Apresiasi Seni itu, saya berkesimpulan: Semangat dan ekspektasi tiap generasi memiliki tujuan berbeda dalam proyek seni. Generasi tua (para pendahulu, senior seni rupa Indonesia) itu lebih fokus kepada sejarah seni, tehknik, kualitas, makna simbolik dan keaslian karya, kondisi tersebut jauh sebelum kehadiran pelbagai tehknologi dan tren baru dalam seni rupa.Â
Sebaliknya, generasi muda kini lebih cepat beradaptasi tetapi kurang menghargai proses yang lebih lambat dan mendalam. Menemukan keseimbangan antara adaptasi cepat dan penghargaan terhadap proses yang bisa menjadi tantangan. Lebih tertarik pada dampak sosial dan jangkauan audiens.
Meski dalam perkembangan seni rupa kontemporer yang semakin menghadirkan seni rupa yang tidak seni rupa. Dengan meleburnya batas-batas seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, musik, anarki, omong kosong hingga aksi politik. Menjadikan seni rupa kontemporer tidak ada sekat antara pelbagai disiplin seni. Seni rupa kontemporer yang diklaim memiliki gairah moralitas yang berkaitan dengan mantra sosial dan politik sebagai tesis. Seni yang cenderung diminati media massa untuk dijadikan komoditas pewacanaan sebagai bentuk aktualisasi berita yang fashionable belaka. Seni yang kurang diminati.
Adaptasi perubahan seni rupa klasik, kontemporer dari generasi terdahulu sebelum kehadiran pelbagai platform Media Sosial seperti Facebook, Instagram, Pinterest, Twitter, Tiktok dan lain sebagainya itu membawa perspektif dan nilai berkesenian. Menjadi alat baru dan dianggap penting bagi seniman era AI dalam mempromosikan karya, berinteraksi dengan penggemar, dan menjalin jaringan dengan seniman lain.Â
Kehadiran pelbagai platform itu juga terbukti efektif, membantu seniman mendapatkan umpan balik langsung dari audiens. Belum lagi menyoal ketersediaan platform NFT (Non-Fungible Tokens), teknologi blockchain dan NFT dan platform serupa lainnya yang telah pula membuka pasar baru bagi seniman untuk menjual karya secara digital.
Generasi seni rupa terdahulu dan generasi era AI memiliki perspektif dan nilai yang berbeda tentang pandangan seni. Generasi terdahulu lebih menghargai teknik tradisional dan proses kreatif yang panjang, sementara generasi muda era AI cenderung lebih terbuka terhadap eksperimen dan penggunaan teknologi baru.
Kondisi terkini dalam pelbagai proyek seni yang tampak adalah, beberapa seniman konvensional mulai menggunakan perangkat lunak dan alat digital seperti tablet grafis dan aplikasi desain untuk menciptakan karya seni. Alat-alat yang memungkinkan seniman bereksperimen dengan teknik baru tanpa batasan fisik dari media tradisional.
Karya seni dengan bantuan tekhnologi juga dapat membantu seniman berpameran secara online. Pameran online yang memberikan kesempatan bagi seniman untuk menampilkan karya tanpa batasan geografis yang memungkinkan teknologi digital kolaborasi antara seni lukis dengan elemen multimedia seperti video, animasi, dan suara yang dapat menciptakan pengalaman seni yang lebih interaktif dan imersif.Â
Selain itu seniman juga bisa mengeksplorasi penggunaan AR (Augmented Reality) dan VR (Virtual Reality) untuk menciptakan instalasi seni yang memungkinkan penikmat seni berinteraksi dengan karya seni dalam ruang virtual, menampilkan dimensi baru dalam pengalaman seni yang tidak mungkin dicapai dengan media konvensional. Dan banyak lagi yang bisa dilakukan-berkesenian di era AI.
Menjadi bahaya bagi sejarah seni, dan bahaya yang terus-menerus dihadapinya jika sejarah seni menjadi sekadar sejarah bentuk dan masalah.
Masalah dan tugas itu cukup nyata; dan bukan suatu penemuan atau fiksi metodologis, dan sejarah seni selektif apa pun harus melacaknya dan menyelesaikannya. Namun, karya seni tidak diciptakan untuk memecahkan masalah; masalah muncul dalam proses penciptaan karya untuk menjawab pertanyaan yang tidak banyak berhubungan dengan masalah formal dan teknis - pertanyaan tentang pandangan berkesenian, tentang perilaku hidup, tentang iman dan pengetahuan,