Mohon tunggu...
Ipan Yefta
Ipan Yefta Mohon Tunggu... -

Simple ...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

PERMINTAAN "ADAM"

28 Agustus 2010   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:38 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ya, dia ingin sekali bisa bersekolah seperti anak-anak yang lainnya. Disamping keinginannya untuk bersekolah, tentu saja Adam ingin membantu pekerjaan orang tuanya. Dia sebagai anak satu-satunya, bukannya membantu malahan membaca buku, dan menghabiskan waktu memperhatikan benda-benda indah yang tertata rapi di angkasa.

Berunutnglah Adam. Orang tuanya sama sekali tidak keberatan akan ‘kesukaannya’ dalam belajar. Mungkin malah mendukung. Lagipula, ada satu hal lagi yang selalu mengganjal hatinya, yaitu penyakit yang dideritanya. Penyakit kanker darah atau yang biasanya dikenal dengan sebutan, leukemia.

Aneh ya? Terkadang, dia merasa hidup ini sangat tidak adil bagi dirinya. Orang tuanya tidak mendapatkan pekerjaan yang bisa menghasilkan upah yang berlimpah, dan yang paling membuatnya sedih, tak terlebih lagi adalah dia tidak dapat bersekolah. Untuk saat ini, dia sama sekali tidak memikirkan penyakit yang kian lama kian menggerogoti tubuhnya itu. Walaupun terkadang, dia merasakan sakit nyeri yang luar biasa di punggungnya—dan tentu saja susah sekali untuk menahan rasa sakit itu–ya, Adam sudah berusaha semaksimal mungkin untuk merasa benar-benar ‘hidup’.

Dia merasakan euphoria yang benar-benar luar biasa saat dirinya sekarang berada di padang rumput yang amat luas. Anak laki-laki itu sengaja menjatuhkan tubuhnya di hamparan rerumputan yang tumbuh di lapangan itu. Tubuhnya mungkin hanya terlihat berupa titik kecil berwarna hitam di tengah pada rumput, jika dilihat dari kejauhan di sana. Adam menghirup aroma rerumputan yang sekarang menggelitik wajahnya. Dengan posisi yang terlentang, dia meletakkan kedua lengan di bawah kepalanya. Pakaian yang ia kenakan sangat kotor sekali, dan mungkin robek-robek. Semua buku yang ada di dalam tasnya, beserta alat tulis, semuanya tergeletak berantakkan di atas rerumputan itu.

Tinggal beberapa detik lagi, langit senja itu akan berubah menjadi kegelapan malam yang dapat membutakan hati manapun yang sedang gelisah menanti esok hari. Dia memejamkan matanya, dan saat dia membuka kedua matanya, bibirnya membentuk sebuah senyuman datar yang mengisyaratkan bahwa dia sangat menikmati hari ini. Sang Rembulan pun sekarang sirna, menggantikan Sang Matahari untuk menghiasi langit. Bintang-bintang juga mulai menampakkan wujud mereka di langit pada malam hari itu. Indah sekali … Langit yang tadinya gelap gulita, seketika berubah menjadi langit yang sangat pantas untuk ditonton setiap pasang mata di bumi ini. Semilir angin mulai menampar pipinya, membangunkan Adam dari lamunannya.

Kepulauan Seribu. Pulau dan tempat lahir Adam berada. Beberapa pulau di Kepulauan Seribu sudah tenggelam oleh air laut. Dan hal ini terjadi karena sesuatu yang mereka sebut sebagai efek rumah kaca. Setahunya, terdapat tiga ratus empat puluh dua pulau di Kepulauan Seribu. Jumlah yang cukup banyak bukan? Dia senang tinggal di kepulauan seperti ini. Betapa indahnya lautan yang membentang tanpa akhir, dengan jernihnya warna air di lautan yang terdapat di Kepulauan Seribu. Semua ekosistem makhluk laut dapat berkembang biak dengan sangat baik, bahkan ada cagar alam. Terumbu karang dan juga ikan-ikan laut dijaga agar mereka tidak punah, begitu juga dengan penyu hijau yang begitu berbeda dari yang lainnya. Sayang sekali mereka harus punah hanya karena tindakkan manusia yang bodoh.

Kedua matanya masih menerawang langit pada malam hari itu, sementara itu di dalam benaknya, muncul beberapa memori semasa kecil. Mengapa orang tuanya menamakan dirinya Adamus? Entahlah. Kalau tidak salah, nama Adam diambil dari salah satu pulau yang terdapat di Kepulauan Seribu. Pulau Edam alias Pulau Monyet. Hahaha, walaupun namanya diambil dari Pulau yang disebut sebagai pulau monyet, Adam tetap menghargai nama yang diberikan orang tuanya. Sejelek apapun.

Beberapa orang menganggapnya sebagai anak sok suci, yang haus akan ilmu, terlalu menghargai namanya sendiri, menghormati orang tuanya berlebihan, tidak mengenal kata lelah, dan lain-lainnya. Tetapi, Adam bisa seperti ini karena dia tidak ingin seperti dirinya yang dulu. Sesosok anak kecil yang bisa-bisanya melawan orang tuanya tanpa henti. Dan semenjak dia mengetahui bahwa tubuhnya itu digerogoti virus leukemia, entah mengapa, hatinya berkata bahwa inilah saatnya untuk berubah. Merubah semua hidupnya.

Lamunannya terbuyar untuk kesekian kalinya. Wajahnya pucat pasi. Dan selamanya dia akan pucat seperti ini. Walaupun ada seseorang yang ingin menyekolahkannya di sekolah, tetap saja wajahnya akan terus pucat. Hanya ada satu yang mungkin dapat melukiskan wajahnya yang pucat menjadi cerah, yaitu ilmu. Bukan hanya ilmu yang diajarkan orang-orang tanpa tanda jasa itu di sekolah, tetapi ilmu yang lain. Entah itu ilmu menerbangkan benda, melayang, memasak, bahkan lebih dari itu! Adam beranjak bangun dari posisi terlentangnya, dihirupnya udara pada malam hari, dan dirasakan sesuatu yang baru ada pada dirinya. Sudah berapa lama dia tidak merasakan dirinya benar-benar hidup di dunia ini?

Ya, untuk kali ini, benaknya sejernih kedua bola matanya yang berwarna hitam. Anak laki-laki itu menghela napasnya berat, dan sekarang sosok Adam tepat berada di bawah bayangan Sang Rembulan. Kedua lengannya sekarang tersembunyi di balik tubuhnya yang tegap itu, kaki kanannya sesekali digeseknya di atas rerumputan. Dia berharap sesuatu, dan semoga semua harapannya terkabulkan.

Adam membuka mulutnya untuk mulai berbicara, “Oh, Bintang. Turunlah dekat dengan diriku. Biarkanlah aku meminta satu permohonan yang sekiranya dapat kau kabulkan—tapi, tunggu! Aku lupa dengan permohonanku. Kumohon jangan pergi, oh Bintang. Aku mengingatnya, aku mengingat bahwa baru saja aku memikirkan apa permohonanku. Tetapi apakah itu? Kumohon kau jangan menjauh, biarlah tetap di sini sampai aku mengingatnya. Argh,”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun