Pengerajin minyak cengkeh dari daun memang kerap di datangkan dari tempat lain dari luar kabupaten Buleleng.
Jro Kayun, salah seorang penduduk di desa Gitgit hanya mampu memproduksi rata-rata 200-500 kg per hari destilasi minyak atsiri.
Kelompok pengerajin industri minyak cengkeh ini adalah salah satu model usaha yang masih memiliki banyak kendala, sehingga perlu dianalisis dan perlu dilakukan pembenahan.
Walaupun imbauan Pemda Buleleng untuk tidak mendestilasi daun cengkeh, imbauan itu tak di gubris. Banyak pengerajin tetap beroperasi dengan menyuling daun cengkeh dari kebunnya sendiri atau mendatangkan dari kabupaten lain di Bali.
Bupati Buleleng itu meminta masyarakat untuk tidak menyuling daun cengkeh itu, karena alasannya bila ketiadaan daun itu, pada areal tanaman cengkeh, memungkinkan berkembangnya jamur akar putih (JAP) yang membuat tanaman cengkeh yang sudah berbunga puluhan tahun bisa meranggas dan mati.
Sehingga, paling tidak, serangan jamur akar putih (JAP) masih menjadi momok mengerikan bagi petani cengkeh di Buleleng.
Sudah tercatat seluas 4.306 hektar lahan cengkeh yang tersebar di sembilan kecamatan di Buleleng, mengalami kerusakan ringan hingga berat akibat terserang JAP (bali.tribunnews.com/2019/06/17).
Dari data yang dihimpun di Dinas Pertanian Buleleng, jumlah lahan cengkeh yang ada di Bumi Panji Sakti (Buleleng) seluas 8.091 hektar. JAP pun dilaporkan telah merusak sebagian lahan tersebut hingga 53.22 persen.
![Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/06/07/penulis-di-salah-satu-tempat-isolasi-minyak-cengkeh-5edd1a5f097f361e2c429272.jpg?t=o&v=555)
Pertama(1), Aspek penggunaan sistem destilasi. Kelompok pengerajin/petani yang memproduksi minyak cengkeh masih menggunakan sistem destilasi yang konvensional, yaitu destilasi menggunakan uap air dan ekstraksi air (direbus)
Cara destilasi seperti ini sangat banyak membutuhkan air, sehingga limbahnya menimbulkan pencemaran sungai. Kondisi ini kerap menimbulkan keresahan masyarakat sekitarnya.