Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelukis Masa Lalu

27 Oktober 2022   11:45 Diperbarui: 27 Oktober 2022   11:54 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pelukis Masa Lalu, sumber foto: Vickyvsalazar dari Pinterest

Seorang teman berjanji akan membawaku hari ini. Kami akan pergi menemui seorang wanita bernama Mariah yang tinggal dekat Danau laba-laba di Hayward.

Sebenarnya aku bukanlah penikmat seni apalagi lukisan. Hanya selintas memperhatikan dan kadang tak paham benar maksud di dalamnya. Tapi Lana, temanku itu, menganggap pikiranku terlalu stres dengan urusan kantor. Aku perlu melakukan hal yang baru, katanya.

Tepat pukul sembilan, gadis itu muncul dengan senyum lebar. Dia menyodorkan paperbag yang ketika kuperiksa berisi dress pendek berwarna hijau ketimun.

"Kau tidak boleh dilukis memakai koleksimu yang tersimpan di lemari. Kau sudah mengenal keunikan pakaianmu sendiri dan itu tidak akan memancarkan apa pun..."

Aku diam saja.

*

Seperti biasa ada banyak orang yang pergi memancing untuk menikmati liburan ini. Penginapan di sekitar Danau laba-laba, penuh dengan turis lokal dan juga yang sengaja datang dari jauh.

Ketika kami sampai di sana, Lana tampak sangat bersemangat. Dia bahkan menyempatkan membeli beberapa makanan dari penjaja yang kupikir usianya masih remaja.

Aku memperhatikan sebuah bangunan yang tua dan kotor, hampir tidak layak untuk ditinggali seorang pelukis andal. Para tamunya pasti mengeluarkan komentar yang kurang menyenangkan meskipun mereka berkata apa adanya.

Seorang wanita dengan celemek apron dapur mempersilakan kami terus masuk lewat pintu berwarna coklat. Dia tak menawarkan kami duduk meski di ruangan itu terlihat sebuah sofa merah dengan banyak lukisan tersimpan di belakangnya.

Tidak jauh berbeda dengan kesan di luar rumah, ruang kerja wanita itu tampak sudah lama tidak diurus dan jauh dari kesan rapi. Tentu saja karena pelukis mungkin membutuhkan mood dari posisi natural benda-benda itu. Aku tak boleh banyak protes.

"Selamat pagi, Nyonya. Rupanya sudah menunggu kami. Ini dia temanku yang kuceritakan, Ryn."

Wanita yang tadi duduk di kursi, beranjak mendekati meja peralatannya. Tak sepatah pun kalimat keluar dari mulutnya, tetapi matanya memperhatikanku begitu rupa.

"Hei, ayo katakan sesuatu!" Lana berbisik sambil mencubit pahaku.

"Selamat siang, Nyonya Mariah, apa kabar..."

Aku menunggu. Dia tak menyahut. Mungkin dia sedang sariawan.

Sambil menyalakan sebatang rokok, wanita itu menunjuk sekat lipat dengan tangannya. Aku tak mengerti apa yang dia maksud.

"Ayo, berganti baju di sana!"

Aku memandang temanku dengan perasaan heran.

"Seharusnya kita bisa istirahat dulu, minum teh atau makan sesuatu untuk mengganjal perut, bukan?" desisku.

Lana menunjukkan rasa gemas. Tapi kenapa?

Baiklah. Mungkin sebaiknya aku melakukan apa yang dikatakan tuan rumah. Kami datang bukan karena sebuah undangan, jadi jangan mengharap semuanya akan luar biasa. Yeah.

Aku berjalan ke sudut itu. Lalu berganti baju di balik properti yang kutahu dari anyaman rotan di negara tropis. Biasanya partitur seperti ini ditemukan pada desain kantor atau lobi hotel.

"Iiih... kau lama sekali. Apa di sana banyak tikus?"

"Apa?"

"Berpose-lah seperti yang kau inginkan!" kata wanita itu.

"Good luck, Ryn!" Lana menunjukkan jempol kanannya, padahal tangan itu sedang memegang sepotong roti.

*

Aku memandangi karpet abu-abu di lantai. Sebuah lubang persegi di bagian atas, melemparkan cahaya matahari masuk ke dalam ruangan.

Model yang akan dilukis bisa berdiri, duduk di kursi, atau mungkin juga berbaring di atas meja yang tersedia. Setidaknya itu pemahamanku.

"Cepatlah, jangan ragu begitu!"

Aku merenggut botol minuman di tangan Lana sampai dia terkaget. Dasar tukang mengoceh!

Hmm, segar juga. Sayang aku tak punya cukup waktu mengunyah roti kismis di sebelahnya.

Sekarang saatnya. Mulai konsentrasi.

Pertama-tama, aku akan bergaya seperti apa? 

Apakah lukisan itu nanti akan terpampang di ruang duduk dan terlihat oleh orang lain? Atau aku bisa menggantungnya di kamar berhadapan dengan jendela apartemen?

"Buat saja senyaman mungkin. Kita akan memerlukan dua jam untuk hasil yang bagus. Keluarkan perasaanmu."

Tunggu. Dua jam? Pose seperti apa? 

Itu bisa membuatku dirawat di rumah sakit karena kelelahan. Tapi mereka akan menuduhku depresi.

Mungkin seperti ini.

Aku lebih suka berdiri. Sebagian laki-laki suka melihat paha yang besar dan berotot seperti Xena.

Buka bahumu, Ryn. Willi tak suka tulang bahu yang menonjol karena posisi yang ditarik ke depan.

Ingat, bibir tipismu harus terkatup rapat dengan dagu terangkat. Keraskan rahangmu seperti saat menahan emosi karena Willi berselingkuh dengan gadis lain.

*

Wajah nyonya Mariah berubah cerah, setidaknya dia sempat senyum sedikit sebelum mengeluarkan cat yang dipilihnya.

Kenapa dia mewarnai kanvasnya dengan cat hitam, dan bukannya hijau ketimun?

Ah ya, aku tak boleh mengkhawatirkan hasilnya. Wanita ini bukan pelukis sembarangan. Dia tahu apa yang dia inginkan.

Aku mulai menatapnya. Maksudku bukan bagaimana dia bekerja, tetapi keadaannya.

Berapa usianya?

Empat satu? Atau empat tujuh? Dia memang terlihat buruk dari penampilannya.

Kurasa rambutnya yang coklat kemerahan akan mempesona jika ditata ahlinya. Bukan sekedar dibentuk menyerupai gumpalan kertas yang salah ketik, apalagi dengan kuas kecil sebagai pengganjal, bukan?

Aneh sekali, nyonya Mariah memunggungiku sebagai modelnya. Apakah dia menciptakan imajinasi tertentu setelah beberapa menit sebelumnya menghapal pose yang kubuat?

Ah, aku tidak sempat memperhatikan dia mengambil warna apa selanjutnya. Sekarang wanita itu berkonsentrasi dengan kanvas kecil yang disandarkan ke suatu rangkaian besi usang.

Cukup lama dia fokus ke arah benda itu. Aku menunggu dia berbalik sambil menghitung jumlah otot di punggungnya.

Entah apakah dietnya terlalu ketat. Dia amat sensual dan menggairahkan karena punggungnya, bukan karena gaun hitam yang longgar di tubuhnya.

"Tidak ingin melihat hasilnya?" tiba-tiba Lana menarikku duduk. Secangkir teh dengan uap mengepul dan kue pie menggoda perutku.

"Lihat ini!"

Aku membelalak. Wanita itu melukisku sangat sempurna.

Dress hijau ketimun itu tampak serasi dengan kulitku. Aku juga tak terlihat kurus, meski sebenarnya hampir tak ada daging di lengan bagian atas.

Aku memperhatikan bibir tipisku dengan lipstik warna baby rose di atasnya. Willi berulangkali mengaguminya setiap kami pergi kencan.

Lalu belahan dadaku juga dibuat sangat sensual dan menggairahkan oleh pelukis itu. Willi juga bilang ini kelebihanku yang dia sukai.

Dengan bahu membuka, tulang bahuku terselamatkan dengan baik. Kecuali...

"Nyonya, mengapa Anda juga melukis kruk sialan ini? Tidakkah sebaiknya Anda sedikit berbohong kalau aku..."

Lana memelukku, dan aku menangis tanpa mempedulikan apapun lagi.

"Dia meninggalkanmu karena kruk ini. Tapi kita tidak bisa menyalahkan kecelakaan yang menimpamu. Kau harus menerimanya.

Sudahlah, ayo kita pulang."

***

Cerpen Ayra Amirah untuk Inspirasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun