Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

4 Dimensi Senioritas dalam Dunia Kerja

4 Agustus 2021   23:13 Diperbarui: 6 Agustus 2021   05:11 1278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tentang 4 dimensi senioritas dalam dunia kerja | Sumber: Pexels/Canva Studio

Senioritas mesti dibuktikan dengan pengalaman dan tanggung jawab; tentu bukan dengan menggunakan otoritas yang superior, yang mudah mengabaikan hormat, namun menghormati kesetaraan.

Pengalaman di tempat kerja bersama orang-orang yang sudah lama bekerja lebih dari 5 sampai 30 tahun pada tempat yang sama, menjadikan kata senioritas adalah kata penting yang bisa mendatangkan decak kagum dari sudut pengalaman seseorang dalam suatu tugas.

Decak kagum sebagai bentuk apresiasi kepada teman kerja yang senior itu bukan untuk senioritas mereka berubah menjadi superioritas yang harus diakui, tetapi lebih karena pengalaman-pengalaman konkret mereka yang perlu ditiru dan dihayati.

Pengalaman-pengalaman istimewa yang mendatangkan kekaguman itu, tentu berkaitan dengan tanggung jawab praktis mereka setiap hari.

Karena itu, konsep tentang senioritas itu bukan terletak pada lamanya waktu bekerja di sebuah perusahan, tetapi juga tidak terlepas dari tanggung jawab dan loyalitas kerja mereka.

Pengalaman di tempat kerja saya di Jerman menunjukkan terdapat 4 dimensi penting terkait senioritas yang anti superioritas, antara lain:

1. Memotivasi: Lakukan segala sesuatu setahap demi setahap (schritt fuer Schritt)

Kata-kata "lakukan segala sesuatu setahap demi setahap" itu datang dari para senior. 

Artinya bahwa teman kerja yang senior tidak menunjukkan diri mereka sebagai seorang senior yang super dalam segala hal, tetapi juga pribadi yang membiarkan orang lain belajar mengambil langkah sendiri.

Schritt fuer Schritt di sini mengandung pengertian bahwa seorang senior memberikan kepercayaan tanpa menuntut bahwa sebagai orang baru harus belajar dari yang senior.

Belajar dari senior itu memang benar dan baik, tetapi lebih baik jika kesadaran itu tumbuh sendiri dari orang baru atau junior dan bukan karena paksaan dari para senior.

Dari konsep seperti itu, sebenarnya terlihat jelas sekali bahwa teman kerja yang senior tidak berlagak angkuh dan mengandalkan senioritasnya, tetapi memberi ruang kebebasan berkreasi sendiri sebagai orang baru atau junior.

Bahkan bagi senior, jika junior tidak bertanya pun, bagi mereka itu berarti tidak masalah. Dan jika yang junior berkreasi, maka hal itu sebaiknya didukung dan dianggap baik.

Nah, tentu berbeda dengan mentalitas pekerja senior di tempat lain, yang mana sering ditemukan bahwa para junior tidak boleh melakukan sesuatu yang baru tanpa konfirmasi dan restu dari para senior.

Ya, jika seperti itu, maka senioritas itu dipakai sebagai instrumen untuk menegaskan superioritas tertentu. 

Supremasi kekuasaan di tempat kerja seperti itu, tentu bukanlah hal yang sehat dan baik.

2. Inisiatif membangun komunikasi: Dialog dan perjumpaan (Dialog und Begegnung)

Senior mengajak junior untuk berbicara bersama dan mendengarkan pendapat masing-masing, sehingga yang junior tidak menemukan kesan bahwa para seniornya menggurui.

Mentalitas positif seperti suka berdiskusi dan saling memberikan pendapat merupakan merupakan cara terbaik, agar senioritas dan superioritas itu tidak mendapat tempat dalam lingkup kerja sampai orang melupakan prinsip keteladanan dan tanggung jawab.

Komunikasi kesetaraan itu sangat terlihat dalam dialog, bahkan perlakuan senior mengikuti tata krama formal dengan panggilan formal (Sie dan bukan du). Sedangkan yang sudah lama saling mengenal, disapa dengan akrab menggunakan nama masing-masing.

Jelas, terlihat bahwa senioritas tidak menjadi hal yang utama terkait kelayakan mengungkapkan pendapat. 

Bagi mereka siapa saja bisa mengungkapkan pendapatnya. Senior bisa mendengarkan dengan penuh apa yang disampaikan junior.

Jadi, hormat menghormati itu jauh lebih diutamakan dari senioritas, atau bahkan dasar dari komunikasi senior dan junior adalah komunikasi hormat menghormati, bukan karena lamanya waktu bekerja.

3. Terikat dengan budaya tertentu: Menikmati saat-saat pause bersama sebagai bukti peleburan tanpa batas tentang bayangan senioritas dan superioritas

Pengalaman saya membuktikan bahwa hampir tidak pernah melihat aroma senioritas dan superioritas di tempat kerja. 

Hal ini terjadi karena setiap hari, selalu saja ada kesempatan rehat untuk menikmati sebatang rokok bersama teman-teman di area balkon di lantai dua.

Bos selalu menjadi penginisiatif yang baik, "ayo sekarang kita ngerokok dulu," kurang lebih seperti itu ajakannya dalam bahasa Indonesia.

Bersantai meski singkat, namun efektif guna menghilangkan rasa enggan dalam pergaulan, karena di sana ada yang senior, bos, sekretaris dan lain sebagainya. 

Jadi, sebenarnya senioritas muncul lebih karena anggapan pribadi seseorang terkait dalamnya pengalaman kerja seseorang pada suatu perusahaan.

Coba bisa dibayangkan betapa arogan kesannya jika yang senior selalu mengatakan, "Hai kalian yang junior, setiap hari kamu harus tanya aku yang senior ini ya."

Hal seperti itu, tidak pernah saya lihat di Jerman. Di Indonesia mungkin praktek senioritas masih terasa lebih kental, ya mungkin karena tuntutan budaya.

Misalnya orang yang lebih dahulu ambil makan seharusnya orang yang lebih tua atau yang senior. Di Jerman tidak begitu, siapa saja punya hak untuk mengambil makan dan menikmati makanan yang sudah dihidangkan itu. 

Tentu senioritas bisa punya makna berbeda sesuai kultur seseorang. Kata pepatah, "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Karena itu konteks senioritas pada tempat kerja di Jerman sebenarnya tidak terlalu mencolok ditunjukkan.

Meskipun demikian para junior sudah pasti tahu dan menghargai yang senior sebagai orang yang sudah makan garam dalam dunia kerja.

4. Keteladanan: Senioritas yang dihormati karena loyalitas kerja

Suatu hari saya melakukan kunjungan kerja di lantai 6 tempat kerja saya. Pada waktu itu saya melihat seorang teman kerja yang sedang menolong orang-orang yang secara fisik sudah tidak sanggup makan sendiri. 

Ia duduk begitu akrab di samping ibu tua berusia 90 tahun itu dan menyuap makanan sambil memeluknya. 

Saya berhenti sejenak dan melihat betapa pemandangan itu sungguh merupakan hal yang istimewa.

Rasa haru dan kagum luar biasa meliputi hati saya waktu itu. Saya terdiam di situ sambil ingin punya waktu bertemu secara khusus teman itu dan mengajaknya bercerita.

Keesokan harinya kami berjumpa di lorong depan kantor. Saya bertanya tentang keadaan dan hal-hal lainnya. Hal yang paling penting, yang mau saya tanyakan adalah sudah berapa lama kerja di tempat itu.

Ia menjawab sederhana dan begitu santai, "Saya di sini sudah 30 tahun dan kerja saya seperti itu." 

Dalam hati kecil saya langsung muncul kata-kata ini, "Oh seniorku yang hebat. Ia begitu setia ramah dan penuh perhatian pada orang-orang sakit di sini."

Bagi saya, senioritas yang saya hargai itu melekat juga dengan kenyataan kualitas dan loyalitas kerja sehari-harinya.

Jika seperti dia, tidak perlu katakan bahwa dia adalah seorang senior, saya tetap akan sangat menghormati dan kagum serta bangga terhadapnya.

Nah, pengalaman seperti itu tentu menjadi sebuah kritik pada kenyataan di tempat lain yang justru sebaliknya. Kerja tidak berkualitas, tapi ia selalu menuntut dihargai dan dihormati sebagai seorang senior.

Bahkan kesehariannya, ia tidak menunjukkan rasa tanggung jawab, namun selalu ingin diperlakukan sebagai senior. 

Baginya senioritas itu sesuatu yang otomatis karena usia dan waktu lamanya kerja seseorang.

Saya bersyukur karena bekerja pada suatu perusahaan yang tidak mengagungkan senioritas, tetapi lebih dialogal dan komunikatif, bahkan bisa dikatakan anti superioritas dalam kenyataan kerja sehari. 

Dari 4 hal terkait pemahaman tentang senioritas yang anti superioritas dapat disimpulkan beberapa hal penting, antara lain:

  1. Senior yang baik tidak selalu mengandalkan senioritas, tetapi mereka memberikan kepercayaan kepada junior sambil terus membangun komunikasi yang dialogis.
  2. Keterbukaan dalam mengungkapkan pendapat dalam forum diskusi diberikan secara sama kepada semua.
  3. Momen kebersamaan pada saat santai menjadi momen peleburan tanpa batas untuk menikmati kesetaraan dalam semuanya.
  4. Loyalitas kerja yang jujur dan penuh perhatian pada orang yang dilayani selalu menjadi hal terpenting daripada senioritas yang dipahami secara dangkal karena usia tua dan lama waktu kerja.

Demikian ulasan terkait tema senioritas dengan empat dimensinya. 

Ya, senioritas yang tidak dipahami secara dangkal saja, tetapi sebaliknya bisa dibuktikan melalui pengalaman dan loyalitas kerja. 

Senioritas tidak menopang supremasi kekuasaan semata-mata, melainkan lebih pada menempatkan kerja nyata, hormat, dan menghargai yang lainnya. 

Salam berbagi, ino, 4.08.2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun