Bagi mereka siapa saja bisa mengungkapkan pendapatnya. Senior bisa mendengarkan dengan penuh apa yang disampaikan junior.
Jadi, hormat menghormati itu jauh lebih diutamakan dari senioritas, atau bahkan dasar dari komunikasi senior dan junior adalah komunikasi hormat menghormati, bukan karena lamanya waktu bekerja.
3. Terikat dengan budaya tertentu: Menikmati saat-saat pause bersama sebagai bukti peleburan tanpa batas tentang bayangan senioritas dan superioritas
Pengalaman saya membuktikan bahwa hampir tidak pernah melihat aroma senioritas dan superioritas di tempat kerja.Â
Hal ini terjadi karena setiap hari, selalu saja ada kesempatan rehat untuk menikmati sebatang rokok bersama teman-teman di area balkon di lantai dua.
Bos selalu menjadi penginisiatif yang baik, "ayo sekarang kita ngerokok dulu," kurang lebih seperti itu ajakannya dalam bahasa Indonesia.
Bersantai meski singkat, namun efektif guna menghilangkan rasa enggan dalam pergaulan, karena di sana ada yang senior, bos, sekretaris dan lain sebagainya.Â
Jadi, sebenarnya senioritas muncul lebih karena anggapan pribadi seseorang terkait dalamnya pengalaman kerja seseorang pada suatu perusahaan.
Coba bisa dibayangkan betapa arogan kesannya jika yang senior selalu mengatakan, "Hai kalian yang junior, setiap hari kamu harus tanya aku yang senior ini ya."
Hal seperti itu, tidak pernah saya lihat di Jerman. Di Indonesia mungkin praktek senioritas masih terasa lebih kental, ya mungkin karena tuntutan budaya.
Misalnya orang yang lebih dahulu ambil makan seharusnya orang yang lebih tua atau yang senior. Di Jerman tidak begitu, siapa saja punya hak untuk mengambil makan dan menikmati makanan yang sudah dihidangkan itu.Â